Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=arial size=1 color=#FF990>Libya</font><br />Api Dendam Brigade Misrata

Sentimen rasial merebak di Libya. Warga kulit hitam dari Tawarga diburu karena dituduh sebagai antek Muammar Qadhafi.

26 September 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ahad petang pekan lalu, blok-blok apartemen itu tampak lengang, gelap, dan sepi. Makhluk yang terlihat bergerak hanyalah kawanan domba. Kota basis pendukung Muammar Qadhafi ini sudah ditinggalkan penghuninya; sebagian gedung dan rumah dihancurkan pasukan pemberontak. Padahal sebulan lalu Tawarga adalah rumah bagi 10 ribu warga sipil.

"Kami beri waktu tiga puluh hari untuk pergi," kata Abdul el-Mutalib Fatateth, kepala pasukan pemberontak di Tawarga. Dia sedang bermain sepak bola di halaman salah satu blok apartemen yang kosong saat ditemui The Sunday Telegraph. "Kalau tidak pergi, mereka akan ditangkap dan dipenjara. Kami tidak akan mengizinkan mereka kembali."

Sentimen rasial kini merebak di Libya. Banyak warga Tawarga, baik imigran maupun tentara bayaran Qadhafi, adalah keturunan budak dan berkulit lebih gelap dari sebagian besar warga Libya. Sukarelawan sipil Tawarga diduga terlibat saat pasukan Qadhafi menyerbu Misrata pada Maret lalu. Ada juga klaim, meski mustahil dibuktikan, mereka memperkosa dan menculik simpatisan pemberontak. Dua kota yang hanya terpisah 25 kilometer itu pun jadi musuh bebuyutan.

Ketegangan rasial muncul karena rezim Qadhafi menggunakan tentara bayaran Afrika untuk melumpuhkan demonstran dalam pemberontakan di Libya pada Februari lalu. Wilayah selatan Libya, yang dihuni warga kulit hitam, diyakini menjadi basis pendukung Qadhafi dan melindungi tentara bayaran. Setelah kekuatan Qadhafi melemah, warga sipil kulit hitam menjadi sasaran.

Warga Tawarga cepat-cepat melarikan diri, meninggalkan rumah-rumah yang masih berbendera hijau, bendera rezim Qadhafi. Fatateth mengatakan, Tawarga sudah diambil alih oleh milisi pro-Qadhafi setelah warga sipil melarikan diri. Setelah itu terjadi pertempuran sengit selama dua hari dengan pasukan pemberontak pada 10 dan 11 Agustus lalu. 

"Kami telah bertemu dengan seorang dari Tawarga dalam tahanan. Mereka diculik dari rumah hanya karena mereka warga Tawarga," kata Diana Eltahawy, seorang peneliti Amnesty International di Libya. "Mereka mengatakan telah dipaksa berlutut dan dipukuli dengan tongkat."

Bahkan melarikan diri pun tidak menjamin warga Tawarga luput dari pengejaran. Mereka ditangkap di pos pemeriksaan jalan, kemudian ditahan. "Mereka takut dan tidak punya tempat untuk pergi," kata Eltahawy.

Pada 29 Agustus, Amnesty menyatakan telah melihat seorang pasien asal Tawarga yang dirawat di rumah sakit Tripoli sedang diinterogasi oleh tiga pria. Salah satu dari mereka bersenjata dan bertanya tentang Misrata. Amnesty juga menemukan setidaknya dua laki-laki Tawarga lain menghilang ketika dirawat. Seorang operator penerbangan berusia 45 tahun ditangkap bersama pamannya tatkala sedang berbelanja di Al-Firnaj, Tripoli, sehari sebelumnya.

Mereka dibawa ke markas dewan militer di Bandara Mitiga, sebelah timur ibu kota. Para pria ini mengatakan kepada Amnesty, mereka dipukuli dengan popor senapan dan diancam dibunuh. Keduanya ditahan selama beberapa hari di Mitiga sebelum dipindah ke Tripoli.

Banyak warga Tawarga berlindung di kamp darurat di sekitar Tripoli. Tapi di sana mereka tetap tidak aman. Di salah satu kamp, sekelompok orang bersenjata menangkap belasan pria Tawarga. Nasib mereka masih belum diketahui. Wanita lain di kamp mengatakan suaminya meninggalkan kamp ke Tripoli sekitar seminggu yang lalu. Sejak itu, dia menghilang.

Ini bukan pertama kalinya warga sipil pendukung Qadhafi harus menjadi sasaran balas dendam. Pada Juli lalu, pemberontak menyapu Pegunungan Nafusa, Desa Qawalish. Nasib penduduk di sana serupa dengan penduduk Tawarga. Padahal mereka adalah pensiunan dan anak-anak yang bukan bagian dari pasukan militer Qadhafi.

Adapun di Misrata, kebencian warga terhadap tetangga mereka juga meluap. Coretan umpatan untuk penduduk Tawarga memenuhi tembok kota. "Pengkhianat, keluar!" Sebelum pengepungan, empat perlima warga Ghoushi di Misrata adalah komunitas asal Tawarga. Tersiar kabar, siapa pun yang berhasil menangkap seorang Tawarga akan mendapat hadiah.

Ninin Damayanti (Telegraph, Wall Street Journal, AP)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus