Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Nyanyian Sungai Kuning

Kantata yang sarat unsur melodi tradisional, menggambarkan simbol perlawanan rakyat Cina terhadap penyerangan Jepang.

26 September 2011 | 00.00 WIB

Nyanyian Sungai Kuning
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Chew Jun Ru, pemain erhu asal Singapura, menyuguhkan The Story of Lan Hua Hua. Sebuah karya Guan Ming yang ditulis pada 1981. The Story of Lan Hua Hua menceritakan dua kepribadian berbeda seorang gadis desa yang cantik tapi berani melawan kekuasaan feodal tatkala jatuh cinta. Ditulis dalam bentuk sonata, ritme dan melodinya berwarna. Kadang lembut, terkadang cepat.

Penampilan Chew malam itu menjadi sajian pembuka Huang He Cantata and Piano Concerto. Kantata ini didasari Yellow River Cantata karya komposer Cina, Xian Xinghai, pada 1939, masa perang Cina-Jepang pada 1937-1945.

Penonton di Gedung Kesenian Jakarta pekan lalu seolah digiring ke negeri Cina lewat gesekan erhu diiringi tiupan flute dan klarinet, petikan harpa, gesekan biola, serta ketukan perkusi. Sesekali terdengar riang, bersemangat dengan tempo cepat, tapi seketika berubah menjadi lambat, seolah menggambarkan sebuah kesedihan, kegelisahan saat penyerbuan Jepang.

Tibalah sajian utama malam itu, Huang He Cantata and Piano Concerto. Semua mata menuju ke arah pianis Stephen Kurniawan Tamadji. Melodi nan apik terdengar ketika jemari Stephen menari lincah di atas tuts piano. Terlebih saat dentingan piano beradu dengan pukulan timpani dan gesekan biola serta cello dengan warna suara yang dalam. Juga tiupan flute dan klarinet yang mendayu.

Malam itu, Jakarta Philharmonic Orchestra memang belum menampilkan seluruh bagian dari Huang He Cantata and Piano Concerto. Pengarah musik dan konduktor Yudianto mengatakan inilah pertama kalinya kantata Huang He and Piano Concerto dimainkan di Tanah Air. Baik di Cina maupun di komunitas Cina di penjuru dunia, kantata ini sangat dikenal sejak pertunjukan perdananya saat revolusi kebudayaan 1969.

Kantata Huang He terinspirasi oleh sebuah puisi karya Guang Weiran. Puisi tersebut menggambarkan penindas­an terhadap orang-orang Cina di bawah penjajah, dan menyerukan angkat senjata untuk membela Cina.

Kantata Huang He terdiri atas delapan bagian yang sarat melodi-melodi tradisional. Sebuah melodi tentang Sungai Kuning sebagai simbol perlawanan terhadap penyerbuan Jepang.

Kantata ini sempat mengalami revisi hingga empat kali. Sang komponis, Xian Xinghai, pernah tinggal di Rusia. Selama di sana, dia terus mengedit dan menyusun kembali kantata. Karena masih kurangnya alat musik pada waktu itu, orkestra terdiri atas hanya biola, suling Cina, harmonika, sanxian, erhu, dahu, serta beberapa instrumen perkusi. Kantata ini akhirnya dimodifikasi oleh Li Huanzhi, Qu Wei, dan Yan Liangkun.

Kantata baru mengalami revisi kembali 30 tahun kemudian oleh Xian Xinghai bersama Nie Er (pencipta lagu March of the Volunteers). Meski diminati komunitas Cina, kantata ini sempat tak boleh dipentaskan di Cina. Sejumlah musisi dari Central Philharmonic Society, yakni Yin Chengzong, Liu Chuang, Chu Wanghua, Shen Shuceng, dan Xu Feixing, menyusun kembali kantata tersebut dalam empat bagian concerto piano.

Bagian pertama, yakni prelude, menceritakan Nyanyian Orang-orang Kapal di Sungai Kuning. Menggambarkan gelombang di Sungai Kuning. Musik di sini dengan irama lebih cepat. Crescendo dan pukulan timpani seakan membangkitkan semangat masa itu.

Bagian kedua Pujaan kepada Sungai Kuning. Suara cello terdengar kental. Warna suara cello yang dalam menggambarkan sikap nasionalis, yang telah mendepak keturunan Kaisar Yan Dan Huang. Bagian ketiga Kemurkaan Sungai Kuning. Petikan harpa dan dentingan piano nan lembut seolah menggambarkan ratapan rakyat Cina di Sungai Kuning. Dan terakhir Mempertahankan Sungai Kuning.

Dentingan piano jari Stephen berhasil menarik perhatian penonton malam itu. Sayang, kehadiran Xiao Yuan Choir Groups dan London School of Public Relations, yang menyanyikan beberapa lagu pada pengujung pementasan, cukup mengganggu dengan tingkat kematangan vokal yang sangat minim. "Jadi antiklimaks," ujar Nirmala, penonton.

Suryani Ika Sari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus