Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maaf, ya, saya sedang sibuk sekali." Hanan Ashrawi hanya berbicara pendek dan langsung menutup panggilan telepon dari Tempo. Seperti anggota delegasi Palestina lainnya, bekas perunding perdamaian dengan Israel ini tengah berada di New York, Amerika Serikat, dan dijepit jadwal superketat. Mereka sedang berjuang agar Palestina diterima menjadi anggota penuh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Tak hanya anggota delegasi Palestina, Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa pun sibuk bukan kepalang. Kendati dikepung berbagai urusan lain, Marty senantiasa berkomunikasi dengan pihak Palestina untuk mengetahui posisi mereka. Maklum, dalam pertemuan dengan Presiden Palestina Mahmud Abbas, Presiden Amerika Serikat Barack Obama berjanji akan memveto langkah Palestina melamar menjadi anggota penuh PBB.
"Bagi Indonesia, sudah jelas," kata Marty saat dihubungi lewat sambungan telepon Kamis pekan lalu. "Apa yang diinginkan dan diperjuangkan Palestina juga merupakan pilihan kita."
Beberapa negara Eropa, menurut Marty, mengupayakan langkah kompromi. Palestina diminta tak langsung menjadi anggota penuh PBB, tapi statusnya ditingkatkan dari entitas peninjau menjadi negara peninjau. "Namun, dalam pembicaraan saya dengan Menteri Luar Negeri Palestina (Riyad al-Maliki), Palestina mengatakan itu bukan langkah yang akan mereka lakukan," kata Marty. Dia sempat berbicara dengan Riyad al-Maliki sekitar 40 menit. "Palestina akan mengambil langkah maksimal, keanggotaan penuh PBB dan negara."
Marty pun ikut membantu melobi untuk kepentingan Palestina. "Kita menggalang anggota-anggota Gerakan Nonblok untuk bersatu," katanya. Negara-negara bukan anggota Gerakan Nonblok juga dilobi untuk mendapatkan titik temu. "Tapi sangat sulit digolkan saat ini," ujarnya.
Ketika para pemimpin Palestina tengah berjuang di medan diplomasi di New York, di tanah pendudukan di Tepi Barat, warga Palestina setiap hari turun ke jalan. Mereka menunjukkan dukungan kepada para tokoh Otoritas Palestina yang berencana menyerahkan permintaan menjadi anggota penuh PBB.
Di Ramallah, Rabu pekan lalu, ribuan orang memenuhi Lapangan Al-Manara dan Lapangan Jam (Clock Square). Aksi dukungan itu diisi dengan pidato, nyanyian, dan tarian. Murid-murid sekolah dasar sengaja diliburkan. Sedangkan siswa sekolah menengah dipulangkan pukul 10 pagi.
Banyak dari siswa itu kemudian bergabung dengan aksi. Dengan penuh semangat, mereka mengibarkan bendera Palestina. Banyak pula yang menggambari wajah dengan bendera Palestina atau angka 194, mengacu pada keinginan Palestina menjadi anggota PBB nomor 194.
"Kami meminta hal paling sederhana, sebuah negara seperti bangsa lainnya," kata Sabrina Hussein kepada Jerusalem Post. Warga meneriakkan kerinduan akan kebebasan dalam orasi-orasinya. "Kami hanya menginginkan kebebasan untuk negeri kami," kata salah seorang orator.
Tuntutan itu tidak mengada-ada. Bersama kepergian Presiden Mahmud Abbas menuju New York, buldoser Israel membersihkan tanah warga Palestina untuk didirikan tembok yang akan mengelilingi Desa Walaja, dekat Bethlehem. Nantinya, warga yang akan keluar-masuk desa harus melewati terowongan yang menghubungkan desanya dengan desa tetangga di Beit Jala.
"Satu tentara Israel akan bisa mengontrol hidup 2.300 orang," kata penasihat kota, Sheerin al-Araj, kepada The Irish Times. Dia menambahkan bahwa tembok tersebut merupakan alat pengusiran tak langsung. Para pekerja, siswa, pengusaha, dan pegawai negeri akan berpindah karena tak tahan dengan siksaan emosional saat pasukan Israel melakukan pengecekan keamanan di terowongan. "Walaja akan menjadi desa yang berisi perempuan dan anak-anak kecil... sampai mereka semua pergi."
Seorang warga desa, Taghrid al-Atrash, menitikkan air mata saat bercerita tentang anaknya yang berumur 19 tahun yang ditangkap saat menuju Yerusalem pekan sebelumnya. "Dia sedang berusaha mencari kerja," katanya.
Badan PBB untuk Bantuan Pengungsi Palestina, UNRWA, mencatat, hingga kini, hampir 5 juta dari 12 juta orang Palestina di semua tempat adalah pengungsi. Dari jumlah itu, 1,45 juta orang tersebar di 58 tempat penampungan resmi di Tepi Barat, Gaza, Suriah, Libanon, dan Yordania.
"Ini adalah tangisan keputusasaan," kata Amina Abdel Jabbar al-Kiswani, yang menghadiri aksi di Ramallah. Menurut dia, perjuangan diplomasi di PBB bukanlah solusi untuk konflik Palestina-Israel, melainkan hanya sebuah langkah untuk berdirinya sebuah negara.
Tak hanya rakyat Palestina yang mendukung pengakuan kemerdekaan. Jajak pendapat yang dilakukan BBC-GlobeScanmenunjukkan sokongan besar untuk pengakuan PBB terhadap Palestina. Hasil jajak pendapat yang dilakukan di 19 negara itu mencatat 49 persen responden menyatakan dukungan terhadap negara Palestina. Hanya sekitar 21 persen responden yang menyatakan pemerintah mereka seharusnya menentang berdirinya negara Palestina.
Bahkan, di Amerika, 45 persen responden menyatakan dukungan untuk pengakuan negara Palestina, dan cuma 36 persen yang menentang. Dukungan tertinggi tercatat di Mesir, 90 persen. Sedangkan dukungan terendah muncul di India, yaitu 32 persen. Namun yang menentang pun hanya 25 persen.
Di tiga negara besar Eropa, dukungan terhadap negara Palestina juga terlihat tinggi. Di Prancis, 54 persen responden mendukung, hanya 20 persen menentang. Di Jerman, 53 persen mendukung, 28 persen menentang. Adapun di Inggris, 53 persen mendukung, dan cuma 26 persen menentang.
Ironisnya, nada tak bersemangat justru terdengar dari Hamas. Menurut Kepala Hubungan Internasional Hamas, yang berkantor di Beirut, Usamah Hamdan, pihaknya khawatir karena Fatah tak membicarakan soal lamaran ke PBB kepada pihak lain di Palestina, termasuk Hamas. "Yang kami khawatirkan adalah konsekuensi negatif bagi rakyat Palestina," katanya saat dihubungi Tempo.
Namun Hamdan menegaskan Hamas tak menentang tindakan anggota delegasi Palestina ke PBB. "Tak seorang pun rakyat Palestina menentang upaya memiliki negara yang berkedaulatan," ujarnya. "Rakyat Palestina menunggu dan memperhatikan," dia menambahkan.
Purwani Diyah Prabandari (Jerusalem Post, BBC, The Irish Time, JMCC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo