Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kursi-kursi itu kecil, tapi dibikin dengan sangat halus dan hampir sempurna. Itulah yang tampak dari kursi-kursi miniatur terkenal dari berbagai era dalam pameran 100 Chairs di Galeri Kemang 89, Jalan Kemang Nomor 89, Jakarta Selatan, pekan lalu. Kursi-kursi mungil buatan Vitra Design Museum, Jerman, itu sebelumnya dibawa berkeliling dunia. "Setelah di Indonesia, pameran ini akan dilanjutkan ke Thailand," kata Seraphina Dominique, Manajer Komunikasi Kemang 89.
Pameran ini digelar Decorus, perusahaan perancang perabot Indonesia, yang nantinya memasarkan kursi-kursi desain Vitra Company, perusahaan desain perabot terkemuka Jerman dan pemilik Museum Vitra. Museum itu mengoleksi berbagai perabot, terutama kursi. Semua gaya rancangan perabot penting dari era perabot industrial disajikan di sini, sejak awal produksi massalnya di pertengahan abad ke-19 hingga rancangan fungsionalis dan obyek kontemporer 1980-an dan 1990-an.
Kursi-kursi mungil itu adalah bagian dari pameran Dimensions of Design:100 Classical Seats oleh museum tersebut, yang mencoba memaparkan pentingnya rancangan dan perannya dalam proses industri. Kursi-kursi klasik ini merupakan replika kursi aslinya dalam skala tepat 1 : 6. Pameran itu disertai 40 panel yang memuat foto-foto, gambar-gambar asli, dan kronologi rancang kursi dari masa ke masa yang disandingkan dengan peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah dunia. Museum Vitra membuat kursi miniatur itu sejak 1992, yang menjadi barang koleksi kualitas tinggi.
Miniatur yang kini dipamerkan di Kemang itu terdiri atas 100 prototipe kursi klasik dari masa sekitar 1800 dan 1990, yang bisa dianggap sebagai karya-karya puncak desain kursi sepanjang masa. Vitra menjual miniatur-miniatur itu dengan harga beragam, tapi desain tua umumnya lebih mahal. Miniatur Schaukelsessel No. 9 (1882) karya Kohn dan Thonet, misalnya, dibanderol 495 euro atau hampir Rp 6 juta. Wiggle Side Chair (1972) karya Gehry dijajakan dengan harga 90,4 euro atau sekitar Rp 1 juta.
Karya tertua yang dipamerkan adalah kursi Windsor, yang mulai dibikin pada abad ke-18. Kursi Windsor dibuat dari kayu yang bagian punggung dan kakinya tertancap di papan dudukan. Ini berbeda dengan kursi standar, yang punggung dan kakinya bersambung. Tak jelas siapa perancangnya, tapi namanya konon dipungut dari nama Kota Windsor, Inggris, tempat asal kursi-kursi itu dikapalkan ke London.
Perancang kursi terkenal yang pertama muncul adalah Michael Thonet, desainer asal Jerman yang menjadi pionir industri manufaktur perabot. Dia mengembangkan teknik pelapisan kayu dan lem dengan pemanasan. Karyanya yang terkenal dan dipamerkan di sini adalah Boppard Chair, yang diperkirakan dibuat pada 1836. Kursi dari kayu mahoni ini berbentuk standar, tapi dengan semua lengan, sandaran, dan kakinya melengkung.
Rancangan awal lainnya adalah Barrel Chair karya Frank Lloyd Wright, desainer Amerika Serikat, pada 1904. Kursi kayu setinggi sekitar 10 sentimeter itu punya bentuk khas yang mirip tong dibelah dua. Dudukannya berbentuk lingkaran, tapi sandaran, lengan, dan kakinya menyatu membentuk setengah lingkaran. Separuh sandaran punggung ke atas polos dan sisa sandaran hingga ke lantai berbentuk jeruji.
Pada masa berikutnya, kursi-kursi sudah berkembang, baik bahan maupun bentuknya. Hill House Chair (1903) karya Charles Rennie Mackintosh, misalnya, memiliki bagian punggung yang sangat tinggi, yang aslinya sekitar 2,3 meter. Tema desainnya juga mulai meluas. Frank Lloyd Wright, misalnya, membuat kursi yang memakai tema burung merak dalam Peacock Chair (1921). Kursi kayu ini mengambil bentuk abstrak merak dengan punggung kursi sebagai bentangan ekornya.
Rancangan kursi modern tentu saja jauh lebih beragam dalam tema, bentuk, warna, dan bahan. Donna (1969) karya Gaetano Pesce, misalnya, merupakan bentuk abstrak bagian tubuh dan kaki perempuan gemuk yang sedang duduk bersila. Sedangkan Coconut Chair (1955) karya George Nelson berbentuk sederhana, seperti potongan batok kelapa yang disangga besi sebagai kakinya.
Namun, apa pun bentuknya, kita akan tetap dapat melihat bahwa itulah kursi. Benda itu tetap harus bisa jadi tempat duduk. "Syarat lainnya, ia harus ergonomis, sesuai dengan bentuk tubuh, sehingga membuat nyaman dan sehat," kata Seraphina Dominique, lulusan Fakultas Desain dan Teknik Perencanaan Universitas Pelita Harapan.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo