Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font size=1 color=#FF9900>AFGANISTAN</font><br />Penantian Panjang ke Amerika

Sudah tiga tahun, ribuan sukarelawan Afganistan menunggu visa khusus ke Amerika Serikat. Taliban menuduh mereka antek musuh.

29 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGI itu Rabia Sadat, 22 tahun, berangkat ke kantornya di Departemen Rehabilitasi dan Pedesaan Kandahar. Di tengah jalan tiba-tiba dua pria bersepeda motor menodongkan pistol. Rabia tewas ditembak. Sopirnya ikut diserang, tapi selamat. "Polisi sedang menyelidiki apakah kematian Rabia bermotif politik atau kriminal," kata Sulaiman, kepala program, dua pekan lalu.

Rabia hanya satu dari ribuan warga Afganistan yang bekerja sebagai sukarelawan kemanusiaan. Sebagian besar bekerja sebagai staf pendukung pasukan Amerika Serikat atau staf kedutaan. Selama bertahun-tahun, sejak Afganistan diduduki tentara Amerika dan NATO, nyawa ribuan pekerja ini sering terancam.

Visa untuk pindah ke Negeri Abang Sam pun menjadi harapan. Lewat satu inisiatif pada 2009, Washington pernah berjanji menambah jatah visa bagi para pekerja Afganistan ini. Sekitar 2.300 warga Afganistan pun berbondong mengajukan visa. Kenyataannya, kedutaan Amerika Serikat di Kabul baru memproses dua permohonan. Satu di antaranya ditolak.

"Hasilnya tidak banyak. Tapi kami berusaha memecah kebuntuan," kata David D. Pearce, Wakil Kepala Misi di Kedutaan Amerika Serikat. Para pejabat berdalih terkatung-katungnya masalah ini karena kedutaan kekurangan staf. Apalagijumlah aplikasi ribuan. Belum lagi harus memeriksa latar belakang pemohon. Setidaknya, diperlukan waktu setahun untuk menyetujui permohonan visa seseorang.

Jawaban ini jauh dari memuaskan. Para pekerja dan sukarelawan merasa frustrasi karena sudah menunggu terlalu lama. Mereka harus mempertaruhkan nyawa dan keselamatan keluarga karena bekerja di "pihak musuh". Taliban tak ragu membunuh warga sipil Afganistan, termasuk anak-anak, bila didapati memiliki hubungan dengan pasukan koalisi.

Kecemasan itu dirasakan Raaz Mohammad Ahmadi, yang telah bekerja enam tahun sebagai penerjemah di pangkalan militer. Ahmadi merahasiakan pekerjaannya demi melindungi diri dan keluarganya. Tiga tahun lalu, dia menerima surat ancaman dari Taliban. "Saya diminta segera berhenti," katanya. Dia memilih mengungsi. Belakangan, dia mendapati seseorang mencoba masuk ke rumah barunya. Dia pun memergoki sedang dikuntit gerombolan pria dalam mobil.

Pada Februari 2009, Ahmadi menjadi satu dari 50 pelamar visa ke Amerika Serikat. Tahun itu ada jatah bagi penerjemah Irak dan Afganistan. Dia sudah mendapat nomor pendaftaran dan membayar ongkos administrasi US$ 375. "Tapi pengajuan saya terkatung-katung, sementara hidup saya terancam," katanya.

Beberapa sukarelawan yang mengajukan permohonan visa mengatakan dokumen mereka telah hilang di kedutaan. Sebagian mengaku pernah dijanjikan wawancara tapi tidak pernah terealisasi. "Mereka tidak peduli tentang kami," kata Mubarak Shah, seorang penerjemah di Provinsi Helmand. Dia mengajukan permohonan visa sejak tahun lalu.

Terkatung-katungnya proses pengajuan ini membuat sebagian sukare­lawan dan pekerja Afganistan berang. Dua pekan lalu, sekelompok pelamar visa yang tidak mau disebut namanya mengirim sebuah surat terbuka kepada para pejabat di Washington. Mereka mengkritik penundaan dan mendesak kedutaan mempercepat proses.

"Begitu lama melaksanakan program ini. Padahal penting menjamin hidup rakyat Afghanistan yangmempertaruhkan hidup untuk membantu Amerika Serikat," kata Senator Benjamin L. Cardin, dari Partai Demokrat, yang berfokus pada isu pengungsi.

Masalah seperti di Afganistan juga terjadi di Irak. Ribuan warga Irak bekerja sebagai penerjemah atau penghubung untuk mengurangi kesenjangan bahasa dan budaya. Sisanya bekerja sebagai pekerja konstruksi dan staf untuk membantu membangun dan mengelola basis militer.

Amerika Serikat memberi jatah visa bagi 25 ribu warga Irak termasuk keluarga mereka. Namun, sejak peristiwa di Kentucky, saat dua imigran Irak ditangkap karena diduga berhubungan dengan kelompok teroris, hampir semua aplikasi ini ditolak.

Ninin Damayanti (The New York Times, The Guardian, Telegraph)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus