Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GREEN Square ingar-bingar Senin dinihari lalu. Teriakan "Kita bebas" dan "Allahu Akbar" terdengar di sana-sini. Bendera tiga warna milik pemberontak berkibar di mana-mana. Alun-alun di pusat Tripoli itu telah jatuh ke tangan pasukan anti-Qadhafi, seperti terlihat di stasiun televisi Al-Jazeera. "Orang-orang mengatakan ‘akhirnya kami bebas berbicara setelah 41 tahun’," kata wartawan Al-Jazeera, Zeina Khodr.
Luapan kegembiraan tak hanya terlihat di Lapangan Hijau, yang seperti Midan Tahrir-nya Kairo. Warga di sebagian kawasan Tripoli lainnya merayakan masuknya tentara pemberontak ke kota. Warga di kota lain yang sudah dikuasai pemberontak, seperti Benghazi dan Misrata, ikut bersukacita. "Saya senang, tapi masih belum bisa percaya," kata Abdullah Maiteeg, anggota brigade syahid Misrata.
Di Benghazi, seorang perempuan tua berjilbab menarik senapan yang dipegang seorang anak muda, dan menembakkannya ke udara tanda kemenangan. Warga Libya dan Arab lain yang tinggal di Edgeware, London, tak mau ketinggalan merayakan kemenangan pasukan anti-Qadhafi dengan turun ke jalan.
Dewan Transisi Nasional, organisasi payung bagi kelompok perlawanan Libya, mengirim pesan pendek menyambut kemenangan itu. "Kami mengucapkan selamat kepada rakyat Libya atas jatuhnya Muammar Qadhafi, dan menyeru rakyat Libya turun ke jalan, melindungi properti publik. Hidup Libya yang bebas."
Hingga Senin lalu, dikabarkan, pasukan Qadhafi tinggal menguasai 15-20 persen Tripoli, termasuk markas Qadhafi di Bab al-Aziziya. "Bagi saya, ini yang paling menakutkan. Semoga tidak terjadi," kata Mahmoud Hamza, pejabat senior Kementerian Luar Negeri, kepada New York Times, saat ditelepon Senin dinihari lalu.
The Guardian menggambarkan pasukan yang setia kepada Qadhafi memasang barikade di beberapa kawasan pinggiran dan mereka dalam posisi bertahan. Senjata dan amunisi telah dibagikan ke warga yang masih setia kepada rezim. Diperkirakan, bila tak banyak perlawanan di dalam kota, akan muncul perlawanan secara diam-diam di waktu mendatang.
Gempuran peluru kendali dan bom dari pesawat-pesawat Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) memang telah membuat pasukan Qadhafi melemah. Terutama karena serangan ditujukan untuk menghajar pusat komando serta tempat penyimpanan senjata dan amunisi. Ya, serangan ke Tripoli yang membuat kocar-kacir pendukung Qadhafi merupakan serangan pasukan pemberontak di darat dengan dukungan serangan udara dari pesawat NATO.
Hingga Senin lalu, belum ada kabar soal keberadaan Muammar Qadhafi. Selama lima bulan terakhir, sang Kolonel dikabarkan tinggal berpindah-pindah di rumah sakit atau di kamar hotel terbesar di Tripoli. Dia tak lagi bermukim di Bab al-Aziziya, yang berkali-kali menjadi target serangan pesawat NATO.
Namun stasiun televisi Libya beberapa kali masih mengudarakan pesan-pesan Qadhafi, meski tanpa gambar dirinya—hanya suara. Salah satu pesannya, dia mengakui pasukan oposisi telah bergerak memasuki Tripoli dan memperingatkan bahwa kota akan menjadi seperti Bagdad.
"Bagaimana kalian bisa membiarkan Ibu Kota Tripoli di bawah pasukan pendudukan sekali lagi," katanya. "Para pengkhianat membuka jalan bagi pasukan pendudukan untuk dikerahkan ke Tripoli."
Dia pun menegaskan tak akan menyerah. Dia menyeru seluruh rakyat Libya dari berbagai daerah agar membebaskan Tripoli, dan menyatakan dirinya ada di ibu kota bersama mereka dan akan berperang sampai titik darah penghabisan.
"Sekarang ini, Tripoli hancur. Mereka datang, mereka menghancurkannya. Keluarlah dan perangi para pengkhianat," katanya. Juru bicara Kementerian Informasi, Moussa Ibrahim, juga berkeras pasukan rezim akan bertahan dan terus bertempur.
Sementara kabar tentang anak-anaknya muncul dari pemberontak. Salah satu anaknya yang tadinya diperkirakan akan menggantikannya, Saiful Islam, dinyatakan telah ditangkap. Jaksa Pengadilan Pidana Internasional (ICC) Luis Moreno-Ocampo mengkonfirmasi kabar tersebut. Ia juga mengatakan ICC segera berbicara dengan Dewan Transisi Nasional, payung perlawanan terhadap rezim Qadhafi, untuk mengirim Saiful ke pengadilan Den Haag.
Saiful Islam, Muammar Qadhafi dan Kepala Intelijen Libya Abdullah al-Sanussi masuk daftar hitam ICC. Mereka dituduh memerintahkan, merencanakan, dan terlibat dalam serangan kepada warga sipil pada awal pembungkaman gerakan antirezim.
Tetapi Senin malam, Saiful Islam muncul di hotel Rixos, tempat para pejabat Libya ‘nongkrong’ dan para wartawan asing dipaksa tinggal, menampik kabar penangkapannya.
Anak Qadhafi yang lain, Mohammed, dikabarkan telah menyerahkan diri ke pasukan perlawanan. "Saya tak pernah menjadi pejabat pemerintah ataupun keamanan. Tapi, menurut saya, ketidakberadaan kearifan dan visi masa depanlah yang membawa kita di sini sekarang ini," kata mantan pemimpin Komite Olimpiade Libya itu saat diwawancarai Al-Jazeera setelah menyerahkan diri.
Ketika ia masih diwawancarai Al-Jazeera, kediamannya diserang. Suara Mohammed mendadak terdengar panik. "Saya tengah diserang. Tembakan itu di rumah saya. Mereka di dalam rumah. La ilaha illallah, muhammadur rasulullah (tak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad utusan Allah)." Sambungan telepon pun putus.
Mustafa Abdul Jalil, Kepala Dewan Transisi Nasional, segera menenangkan keadaan. Dia mengatakan Mohammed tidak terluka. "Mohammed Qadhafi dan semua anggota keluarganya tidak ada yang terluka," ujarnya kepada Al-Jazeera.
Jumat sebelumnya, anak Qadhafi yang menjadi komandan pasukan elite Brigade 32, Khamis, mengalami cedera di wajah pada pertempuran di Zlitan. Informasi itu diperoleh dari tentara pendukung Qadhafi yang tertangkap pemberontak. Anak yang lain lagi, Saiful Arab, tewas dalam serangan NATO pada April silam.
Anggota keluarga Qadhafi lainnya, hingga Senin lalu, tidak diketahui keberadaannya, meski juga sempat dikabarkan anak lainnya, Saadi ditangkap pemberontak. Al-Jazeera melaporkan adanya dua pesawat Angkatan Udara Afrika Selatan di bandar udara Tripoli. Diduga pesawat tersebut akan membawa Qadhafi keluar dari Libya.
Tapi Mahmoud Shamam dari Dewan Transisi Nasional menyatakan pesawat tersebut berada di bawah kekuasaan pasukan pemberontak. Duta Besar Afrika Selatan di Tripoli juga tak tahu-menahu tentang keberadaan pesawat milik negaranya tersebut. Seorang pejabat senior Amerika menyatakan lingkaran dalam Qadhafi sedang bernegosiasi untuk bisa keluar dengan aman.
Qadhafi tampaknya kini benar-benar terpojok. Mahmoud Shamam mengatakan komandan pasukan pelindung Qadhafi telah bergabung dengan pasukan revolusi dan memerintahkan anak buahnya menurunkan senjata.
Dari tempat berlibur di Martha’s Vineyard di Massachusetts, Presiden Amerika Barack Obama menyatakan Qadhafi seharusnya menyadari kenyataan bahwa dia tak lagi memegang kuasa. "Masa depan Libya sekarang ada di tangan rakyat," katanya dalam pernyataan persnya.
Seruan senada datang dari London. "Sangat jelas, kita menyaksikan di Tripoli bahwa akhir bagi Qadhafi sudah dekat," ujar Perdana Menteri Inggris David Cameron. "Dia telah melakukan kejahatan terhadap rakyat Libya dan dia harus pergi untuk menghindari penderitaan rakyatnya lebih lanjut."
Perdana Menteri Australia Julia Gillard juga memberikan dukungan kepada pasukan pemberontak. "Kami tahu tugas belum selesai. Kami mendukung rakyat Libya dan menyeru Qadhafi agar menyingkir," katanya. Ia menambahkan, Qadhafi harus menghadapi pengadilan internasional.
Dari Tripoli, kelompok perlawanan kembali memberikan penawaran untuk mencegah pertempuran mematikan di pusat kota. Mereka berjanji akan menghentikan serangan. Syaratnya, Qadhafi mengumumkan kepergiannya. Pemimpin Dewan Transisi Nasional, Mustafa Abdul Jalil, menjanjikan pihaknya akan memberikan jalan aman ke luar negeri bagi Qadhafi dan keluarganya kalau mereka memutuskan pergi. Nasib sang Kolonel kini benar-benar di tubir jurang.
Purwani Diyah Prabandari (Al-Jazeera, The Guardian, New York Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo