Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HUJAN lebat yang mengguyur Brasilia, Sabtu tiga pekan lalu, tak menghalangi ribuan orang yang tumpah-ruah di jalan menunggu kedatangan Dilma Rousseff, 62 tahun. Presiden perempuan pertama Brasil ini menggantikan Luiz Inacio Lula da Silva yang lengser setelah dua periode memegang tampuk kepemimpinan.
Sorak-sorai terdengar riuh saat Rolls-Royce 1953 yang dikawal enam perempuan berbaju hitam melintas di jalan menuju gedung Kongres. Begitu hujan berhenti, Rousseff, yang mengenakan setelan blus putih, muncul dari kap belakang mobil yang dibuka. Lambaian tangan mantan gerilyawan ini disambut ribuan pendukung yang mengibarkan bendera dan payung.
”Banyak hal membaik di Brasil, tapi ini hanya permulaan dari era baru,” kata Rousseff dengan suara tercekat dalam pidato pertama di depan Kongres.
Rasa haru terlihat di wajah mantan pemberontak Marxis ini saat Lula memasang selempang hijau emas sebagai tanda pengukuhannya sebagai presiden negara terbesar di Amerika Latin itu. Mereka kemudian berpelukan erat. ”Janji saya adalah... untuk menghormati perempuan, untuk melindungi yang paling rapuh, dan untuk memerintah bagi semua,” kata anggota Partai Pekerja (PT) ini.
Rousseff menang tipis atas pesaingnya, Jose Serra, dalam pemilihan umum presiden 31 Oktober lalu. Dari 99 persen suara, wanita yang mendapat dukungan penuh dari Lula ini berhasil mengantongi 55,6 persen suara. Serra mendapatkan 44,4 persen. ”Lula akan tetap bersama kami,” ujar Rousseff dalam pidatonya seusai pelantikan. Bekas presiden itu diangkat menjadi penasihat pemerintahan.
Berbagai agenda telah dia gariskan. Mulai pengelolaan cadangan minyak lepas pantai, nilai mata uang yang terlalu tinggi bagi sektor industri, belanja publik yang memicu inflasi, birokrasi yang menghambat investasi dan inovasi, serta persiapan menjadi tuan rumah Piala Dunia dan Olimpiade.
Dalam pidato pertamanya, Rousseff berjanji akan melanjutkan kebijakan yang telah ditempuh Lula sebelumnya. Agenda utamanya dalam empat tahun ke depan: menghapus kemiskinan, meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan pendidikan, serta menjaga stabilitas ekonomi dan inflasi yang rendah. ”Kita tidak bisa beristirahat sementara ada kelaparan,” kata Rousseff.
Selama era pemerintahan sebelumnya, putri imigran Bulgaria ini dikenal dekat dengan Lula. Dia pernah menjabat menteri pertambangan dan energi pada Januari 2003 hingga Juni 2005. Kemudian menjadi kepala staf Lula sejak Juni 2005 hingga Maret 2010.
”Rousseff adalah bagian dari pemerintahan Lula. Berbagai jabatan, mulai tingkat operasional hingga manajer, pernah dia pegang,” kata Peter Hakim, mitra senior dan presiden emeritus lembaga Dialog Inter-Amerika di Washington.
Pergulatan politik Rousseff cukup panjang. Sejak usia 17 tahun, ketika diktator militer berkuasa (1964-1986), Rousseff sudah bergabung dengan kelompok Marxis. Dia mengikuti pelatihan gerilya radikal dari Komando Pembebasan Nasional pada 1969. Pilihan itu membuatnya ditahan dengan tuduhan subversi. Selama tiga tahun dia disiksa oleh para petugas militer.
Setelah bebas, Rousseff langsung mengejar gelar ekonomi pada 1977 di Rio Grande do Sul Federal University. Dia kemudian langsung kembali ke dunia politik dengan bergabung di Democratic Workers Party (PDT) atau Partai Pekerja Demokrat.
Berbekal keterampilan politik dan manajerial, perempuan yang baru sembuh dari penyakit kanker getah bening tahun lalu ini meniti karier di pemerintahan di bidang keuangan, pertambangan energi, dan komunikasi.
Karier politiknya melesat setelah Rousseff bergabung dengan Partai Pekerja pada 2001. Melihat keterampilannya, Lula menempatkannya di salah satu posisi menteri yang bertanggung jawab atas sektor ekonomi yang paling penting di negara Amerika Selatan: energi.
Dari semula menjadi musuh negara, ibu satu anak ini kini menjadi nakhoda bagi negara terbesar di Amerika Latin itu. Dia memulai pekerjaan dengan menunjuk sembilan perempuan, dari 37 menteri, di kabinet.
”Apakah dia memiliki keberanian dan dukungan untuk berdiri di luar kepentingan pribadi? Atau justru akan ’menikmati’ kemenangannya itu dengan manja?” kata Pedro Simon, senator untuk PMDB, partai terbesar dalam koalisi Rousseff.
Suryani Ika Sari (AP, AFP, Reuters, The Economist)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo