Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEHADIRAN Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Rodham Clinton, 61 tahun, tiba-tiba membikin semarak rumah besar di Jalan Suropati 3, Menteng, Jakarta Pusat. Di kediaman Duta Besar Amerika Serikat—Cameron R. Hume—untuk Indonesia itu, Hillary menerima tujuh wartawan Indonesia pada Kamis pekan lalu. Pola tuturnya ramah dan santun, senyumnya murah. Hillary menyapa lawan bicaranya dengan nama masing-masing. Sepanjang 30 menit dia ngobrol dengan Philipus Parera dari Tempo serta enam wartawan lain: Simon Saragih (Kompas), Rizki Siregar (Trans TV), Tina Talisa (TV One), Muhammad Rusmadi (Rakyat Merdeka), Dedi Irawan (Smart FM), dan Yuni Sinambela (Okezone).
Acara roundtable itu berlangsung di sofa ruang tamu. Hillary menegaskan pentingnya Indonesia bagi Amerika dan Presiden Barack Obama. Dia juga berbicara tentang keinginan negaranya lebih berperan di Asia Tenggara, konflik Israel-Palestina, demokrasi, serta suka-duka menjadi politikus. ”Kami mewarisi banyak masalah (dari pemerintah sebelumnya). Itu harus diselesaikan,” katanya.
Mantan ibu negara Amerika itu tampak segar meski punya acara padat sejak tiba di Jakarta sehari sebelumnya. Dia juga bersemangat saat berfoto bersama. ”Yang itu diulang, lampunya tidak nyala,” ujarnya saat melihat blitz kamera saku seorang wartawan mati. Pengawal yang tadinya ingin membubarkan adegan foto bersama pun mundur.
Berikut ini petikan tanya-jawab dengan Menteri Hillary dalam pertemuan tersebut.
Di Indonesia, amat jarang kompetitor mau membantu lawan politiknya. Apa yang Anda pikirkan ketika menerima tawaran sebagai Menteri Luar Negeri?
Saya terkejut sekali. Waktu itu yang ada dalam pikiran saya adalah kembali menjadi senator New York. Tapi Presiden Obama meyakinkan saya. Ada banyak pandangan kami yang sama tentang apa yang harus dilakukan Amerika di dunia internasional. Maka saya terima. Bagi saya, ini cuma cara lain melayani negara yang saya cintai.
Apakah suami Anda yang meminta Anda membatu Obama?
Tidak, ha-ha-ha…. Presiden Obama berpikir kami dapat menjadi tim yang baik. Saya berkeliling menuntaskan pekerjaan yang hendak kami lakukan di dunia internasional, dia berkonsentrasi pada masalah dalam negeri, memperbaiki perekonomian dan mengatasi krisis kredit perumahan. Pagi ini saya menelepon dia, kami berbicara, dan saya bilang orang Indonesia menunggu kedatangan dia dengan tangan terbuka. Tapi tentu saja ini akan amat sulit. Dia tidak bisa bebas bepergian sebanyak yang dia inginkan. Kami mewarisi banyak masalah (dari pemerintah sebelumnya). Itu harus diselesaikan. Dan kami ingin mencari bantuan sebanyak mungkin.
Negara Anda telah memberikan contoh sebuah pemilu yang amat demokratis. Bagaimana Anda menilai demokrasi di negara kami?
Pemilu hanya bagian dari demokrasi. Anda juga harus punya instansi hukum independen, aturan-aturan yang jelas, pemerintah yang tidak korup, dan pers bebas. Dengan demikian, siapa pun yang menjadi presiden, demokrasi tetap berlangsung. Anda harus bangga melihat pencapaian Indonesia sepuluh tahun terakhir. Tidak banyak negara bisa seperti itu. Tapi jangan cepat puas. Para politikus harus selalu diingatkan bahwa tugas mereka melayani bangsa ini, bukan dirinya sendiri atau partainya.
Apakah pemerintah Anda punya niat meningkatkan dialog antarwarga dan bukan cuma antarpemerintah?
Justru itu yang saya harapkan. Pemerintah memang harus saling bicara. Itu sebabnya saya datang. Tapi juga penting untuk membiarkan warga kedua negara menentukan sendiri apa yang mereka inginkan. Saya bertemu dengan presiden Anda dan sepakat meningkatkan pertukaran dan kerja sama antarmahasiswa, universitas, perawat, dokter, rumah sakit. Semakin banyak kontak antarwarga, kian besar peluang kita untuk saling mengerti.
Presiden Obama menjanjikan perubahan. Apa yang akan Anda lakukan dalam menangani konflik internasional, misalnya di Gaza?
Ini seperti bertanya apakah kami akan lebih aktif berupaya menyelesaikan konflik internasional. Jawabannya: ya, kami akan berusaha. Soal Timur Tengah, saya dan Presiden Obama telah mengirim utusan khusus ke sana. Senator George Mitchell akan bekerja amat keras mencari cara menyatukan gagasan untuk sampai kepada solusi dua negara. Saya akan ke Konferensi Kairo di Mesir, mencari tahu bantuan kemanusiaan apa yang bisa kami berikan bagi masyarakat Palestina di Gaza. Ketika Amerika absen, orang pikir kami tak acuh. Sekretaris Jenderal ASEAN bilang ke saya, Amerika telah ”bolos” dari Asia Tenggara beberapa tahun terakhir. Kami tak ingin absen. Kami ingin hadir dan sedapat mungkin melakukan sesuatu yang konstruktif. Ada banyak tantangan di Darfur, Sudan, Kongo timur, juga di Afganistan dan Pakistan.
Anda amat berhasil dalam karier. Bagaimana kalau tiba-tiba Anda kehilangan semua ini?
Saya tidak pernah memikirkan hal itu, ha-ha-ha…. Tidak ada orang yang tahu apa yang akan terjadi dalam hidupnya. Saya cuma berusaha hidup sebaik-baiknya setiap hari. Dan saya tidak terlalu khawatir terhadap apa yang akan terjadi besok. Saya pernah menjadi ibu negara, senator, dan sekarang Menteri Luar Negeri. Saat berusia delapan tahun, saya tidak berpikir akan menjalani semua itu. Bagi saya, hidup adalah anugerah dan Anda harus melakukan yang terbaik setiap hari. Saya kagum melihat wanita mulai berperan di Indonesia. Ketika bertemu dengan Menteri Luar Negeri, ada tiga wanita ikut dalam pembicaraan. Hari ini, saat bertemu dengan Presiden, dua menteri wanita ikut rapat. Tidak banyak negara di dunia seperti ini.
Apakah Presiden Obama yang meminta Anda berkunjung ke Indonesia?
Saya punya kenangan tak terlupakan dari perjalanan saya sebelumnya di sini, juga amat terkesan dengan pencapaian kalian sepuluh tahun terakhir. Tentu saja ada relasi personal Presiden Obama dan Indonesia. Anda bisa dengar dia berbicara tentang itu dan baca tulisannya tentang bagaimana masa hidupnya di Indonesia membantu mempertajam visinya tentang dunia dan nilai yang dia yakini. Bagaimana dia melihat orang dari berbagai latar belakang yang berbeda bisa hidup rukun. Saudara perempuannya berdarah Indonesia. Untuk semua alasan itu, rasanya Indonesia adalah pilihan yang amat tepat.
Apakah ada keinginan agar hubungan Indonesia-Amerika menjadi lebih berarti di kalangan masyarakat bawah?
Dari sini saya akan berkunjung ke satu perkampungan di Jakarta. Pemerintah kami punya program bantuan bagi keluarga-keluarga di sana. Saya ke sana untuk menunjukkan bahwa sebenarnya diam-diam Amerika melalui lembaga swadaya masyarakat atau kontak orang per orang turut ”bekerja” di sini. Ini sejalan dengan politik luar negeri kami, 3D: defense, diplomacy and development (pertahanan, diplomasi, dan pengembangan). Kami pasti membina hubungan yang lebih ke bawah, jauh dari level elite.
Anda yakin bisa meningkatkan relasi Indonesia dan Amerika?
Kita mungkin tidak selalu bersetuju, tapi kita akan selalu berbicara satu sama lain, saling mendengarkan. Dan ini memperkuat relasi kita. Saya yakin kerja sama kita tidak hanya bermanfaat bagi kedua negara, tapi juga bagi Asia dan dunia. Saya pernah bilang, bagi mereka yang ragu bahwa Islam, demokrasi, modernitas, dan hak wanita bisa eksis bersama-sama, datanglah ke Indonesia. Dari kunjungan lalu, saya menangkap kesan orang Indonesia amat terbuka, penuh warna, dan mau bekerja sama dengan siapa saja.
Anda bilang berpolitik itu menyakitkan. Apa yang Anda lakukan untuk bertahan?
Aturan pertama, harus memiliki pereda sakit yang istimewa, ha-ha-ha…. Sejatinya, semuanya akan baik-baik saja jika kita yakin pada apa yang kita kerjakan. Saya selalu dimotivasi oleh keinginan memperbaiki kehidupan banyak orang, membangun dunia yang damai dan makmur—di mana setiap anak mendapat kesempatan berkembang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo