Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASIH ingat Hambali alias Riduan Isamuddin? Nama sang teroris asal Indonesia itu kembali mencuat ketika Wakil Presiden Jusuf Kalla menerima kunjungan Dennis Blair, Direktur Intelijen Nasional Amerika Serikat, awal Februari lalu, ketika salju tipis luruh. Pertemuan Kalla dan Blair, yang disampingi beberapa stafnya, berlangsung di Hotel Four Seasons, Washington, DC, Amerika Serikat, diselingi derai tawa dan suguhan secangkir teh hangat.
Blair, pria jangkung bertubuh langsing yang saat itu berjas gelap, lalu menanyakan adakah terorisme masih mengancam Indonesia. Kalla bilang, tak jadi soal. Situasinya kini membaik. ”Biang teroris itu,” kata JK, ”kan orang asing, bukan asli Indonesia.” Misalnya saja Noordin M. Top yang hingga kini masih diburu, dan mendiang Dr Azahari—dua-duanya dari Malaysia. Kalla ditemani sekretarisnya, Tursandi Alwi, dan Deputi Bidang Kesejahteraan Rakyat Azyumardi Azra. Kalla balik bertanya ihwal nasib Hambali.
Sejak dilantik pada 20 Januari lalu, Presiden Barack Hussein Obama, dalam program 100 harinya, berjanji akan menutup penjara di Teluk Guantanamo, Kuba, dalam setahun sejak dia memberikan pernyataan. Penjara yang dikenal sangar ini merupakan tempat sejumlah gembong teroris dan tahanan Irak dikurung. Selain Hambali, di sini juga meringkuk Khaled Syekh Muhammad, terkait peristiwa 11 September, dan rekannya Ramzi al-Shibh serta pembantu Usamah bin Ladin, Abu Zubaydah. Di Guantanamo, sering dilaporkan terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan para sipir dan tentara Amerika terhadap para tahahan.
Hambali, 43 tahun, tersangka teroris dan diduga pentolan Jamaah Islamiyah di Asia Tenggara itu, sejak tertangkap di Ayuttaya, Thailand, pada Agustus 2003, dijebloskan di penjara ini. Ia menghuni Guantanamo sejak akhir 2003 dengan tuduhan terorisme dan terlibat bom Bali. Saat ditangkap, dia memegang paspor Spanyol dengan nama Riduan Isamuddin. Belakangan terungkap bahwa dia warga Indonesia dan pernah tinggal di Desa Sukamanah, Cianjur, Jawa Barat, dengan nama Encep Nurjaman.
Hambali adalah salah satu tokoh perang Afghanistan melawan Uni Soviet pada sekitar 1980. Ia juga disebut-sebut sebagai tokoh utama jaringan Al-Qaidah di Asia Tenggara. Dia dituding sebagai ketua operasi Jamaah Islamiyah, lembaga yang disalahkan dalam aksi bom Bali. Istri Hambali, Noralwizah Lee Abdullah, yang dinikahi pada 1990-an, juga telah ditangkap oleh otoritas Malaysia di bawah Internal Security Act (ISA), yang memungkinkan penahanan tanpa pengadilan.
Pihak Indonesia berkali-kali meminta AS untuk memberikan akses agar bisa bertemu dengan Hambali, termasuk mengirimkan konselor terhadap warganya itu, tapi tak pernah tembus. Sejak ditangkap, Hambali diserahkan ke Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA) dan ditahan di tempat yang tidak diketahui publik. Organisasi hak asasi manusia internasional telah berulang kali meminta Washington agar memberi tahu lokasi atau kondisi tahanan itu, tapi negara adikuasa tersebut tetap tak menggubris.
Sebab itulah JK bermaksud meminta agar Hambali ”dikembalikan” ke Jakarta. ”Maksud saya biar dia disidangkan di Indonesia. Bukankah kini kita sudah punya pengadilan yang fair dan transparan?” begitu alasan JK. Blair kaget menerima pertanyaan ini. Ia lalu berjanji segera mempelajarinya. ”Saya minta waktu dalam lima minggu ke depan untuk menjawab masalah ini,” kata Blair, yang bertemu Kalla sekitar 30 menit.
Jakarta tak kalah sibuk merespons sikap Obama. Menurut Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri, pihaknya sedang berkoordinasi dengan Badan Intelijen Negara untuk mendapatkan akses ke Washington guna memulangkan Hambali. Departemen Luar Negeri juga masih menunggu-nunggu peluang ekstradisi. ”Masalahnya, ketika ditangkap, dia menggunakan paspor Spanyol,” kata juru bicara kementerian itu, Teuku Faizasyah. ”Jadi, kita wait and see-lah.”
Wahyu Muryadi (Washington, DC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo