Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARI masih pagi di ibu kota Afganistan, Kabul, ketika bom mobil bunuh diri yang diparkir di depan kantor Kedutaan Besar India meledak, Kamis pekan lalu. Kekuatan ledakan bom itu membuat Mohammad Arif, penduduk Kabul, terlempar ke udara dan terempas ke tembok bangunan. Kepulan asap tebal membubung.
Tak jauh dari pusat ledakan, Najibullah, 21 tahun, terlempar dan pingsan saat bom meledak persis ketika ia membuka tokonya. Saat sadar, ia tak dapat melihat karena debu dan puing-puing beterbangan menutup tubuhnya.
Debu bercampur darah bertebaran di mana-mana menutup mayat yang tergeletak. Orang berteriak histeris terdengar dari segala penjuru. ”Anda tak akan dapat melihat wajah mereka kerena debu begitu pekat,” ujar Najibullah. Hasilnya, 15 orang penduduk sipil dan dua polisi Afganistan tewas, 76 orang terluka. Kedutaan India yang terletak di kawasan perbelanjaan itu tak jauh dari istana presiden dan Kedutaan Amerika Serikat.
Taliban segera menyatakan bertanggung jawab atas ledakan bom itu. Serangan Taliban belakangan ini meningkat, khususnya terhadap sasaran kantor perwakilan negara asing. Sebelumnya, pada Juli lalu Taliban mengirim mobil yang sarat dengan bom menabrak gerbang Kedutaan India. Akibatnya, 141 orang tewas dan 141 lainnya cedera.
Aksi bom bunuh diri Taliban ini terjadi sehari setelah peringatan perang di Afganistan memasuki tahun kedelapan. Di hari yang sama di Gedung Putih, Washington, Amerika Serikat, para jenderal dan politikus sedang harap cemas menanti keputusan Presiden Barack Obama tentang permintaan komandan pasukan Amerika di Afganistan, Jenderal Stanley McChrystal, menambah 40 ribu lagi anggota pasukan. Amerika sudah menempatkan 68 ribu anggota pasukan di sana.
Keberadaan Al-Qaidah yang menjadi sasaran utama pasukan Pakta Pertahanan Atlantik Utara, NATO, dan Amerika di Afganistan hanya terdengar lewat pernyataan mereka di Internet. Bahkan Obama mengatakan, dengan gencarnya serangan rudal terhadap sasaran Al-Qaidah—yang juga banyak menewaskan penduduk sipil—Al-Qaidah telah kehilangan kemampuan operasionalnya. Ancaman keamanan belakangan justru muncul dari pejuang Taliban, lewat serangan yang makin meningkat, sebagaimana serangan bom bunuh diri di Kedutaan India itu.
Kini perang di Afganistan menjadi perang yang tak populer. Jajak pendapat terakhir oleh kantor berita Associated Press menunjukkan dukungan terhadap perang di Afganistan makin merosot dari 44 persen pada Juli lalu dan kini hanya tersisa 40 persen. Bahkan responden makin tak yakin Amerika bisa memenangi perang di Afganistan.
Obama pun memanggil 18 anggota Kongres ke Gedung Putih untuk mendiskusikan kelanjutan perang di Afganistan, khususnya permintaan Jenderal McChrystal yang telah masuk Gedung Putih selama sepekan. Kubu Partai Demokrat yang tidak doyan perang menolak permintaan penambahan pasukan Amerika di Afganistan dan lebih suka mengandalkan serangan rudal serta operasi khusus untuk menghabisi kelompok Al-Qaidah dan jaringannya. Sebaliknya, Partai Republik yang memang doyan perang mendorong Obama meluluskan permintaan penambahan pasukan di Afganistan.
Menurut pemimpin kubu mayoritas Demokrat di Kongres, Harry Reid, kubu Demokrat dan Republik menyatakan kepada Obama, apa pun keputusan Presiden akan mereka dukung. Tapi pemimpin Partai Republik, Mitch McConnel, mengemukakan pernyataan berbeda: ”Saya kira kubu Republik bisa membuat keputusan sendiri.”
McConnel menegaskan mereka akan mendukung Presiden Obama jika komandan militer Amerika di Afganistan, Jenderal McChrystal, sependapat dengan Presiden. Artinya, kubu Republik mendukung permintaan McChrystal menambah pasukan Amerika di Afganistan.
Selain itu, Obama mendiskusikannya dengan 24 anggota staf keamanannya di Situation Room selama tiga jam. ”Presiden akan membuat keputusan—populer atau tidak populer—berdasarkan apa yang ia pikir terbaik untuk negeri ini,” ujar Robert Gibbs. Menurut Gibbs, Obama berfokus pada strategi perang yang benar.
Fakta yang saat ini ada adalah Obama telah memindahkan perangnya dari Irak ke Afganistan pada Januari lalu dan menambah 21 ribu anggota pasukan Amerika di Afganistan. Delapan tahun perang Amerika di Afganistan telah menewaskan 800 anggota pasukan Amerika. Bahkan sejak awal 2009 hingga kini saja 291 anggota militer dan 1.013 penduduk sipil tewas di Afganistan. Selain itu, pemerintah buatan Amerika di Afganistan di bawah Presiden Hamid Karzai gagal meraih dukungan penuh rakyat Afganistan, dan bergelimang korupsi.
Sederet masalah itulah yang membuat Obama gamang menghadapi perang Amerika di Afganistan. Hingga tulisan ini diturunkan, Obama belum memutuskan menerima atau menolak permintaan Jenderal McChrystal. Tapi dari Gedung Putih muncul spekulasi Obama tak akan memilih peningkatan serangan terhadap Taliban. Dasarnya, ini yang aneh, Gedung Putih menilai Taliban kurang berbahaya bagi keamanan Amerika ketimbang Al-Qaidah.
Pejabat yang terlibat dalam kebijakan Obama di Afganistan berkilah, Al-Qaidah merupakan bahaya yang mematikan bagi kepentingan Amerika dan dalam negeri Amerika dibanding Taliban. Menurut juru bicara Gedung Putih, Robert Gibbs, jelas ada perbedaan antara Al-Qaidah dan Taliban. Al-Qaidah yang memiliki jaringan transnasional mampu melakukan serangan ke dalam negeri Amerika. ”Saya kira Taliban jelas orang-orang jahat yang telah melakukan hal yang menakutkan. Tapi kemampuan mereka berbeda dalam hal ancaman transnasional,” ujar Gibbs.
Seorang pejabat senior Gedung Putih menyatakan Al-Qaidah yang kini bermarkas di Pakistan merupakan ancaman mematikan bagi keamanan Amerika. ”Kami ingin menghancurkan kepemimpinannya, infrastrukturnya, dan kemampuannya,” ujar pejabat itu. Amerika meningkatkan serangan dengan pesawat tak berawak terhadap target pemimpin Al-Qaidah di kawasan tak bertuan di wilayah Pakistan dalam beberapa bulan belakangan.
Sebaliknya, pejabat itu mendeskripsikan Taliban Afganistan sebagai kelompok penduduk asli yang ingin meraih kembali wilayahnya, tapi tak menunjukkan ancaman langsung terhadap keamanan Amerika. Niat Gedung Putih tak memusuhi Taliban ini senada dengan kebijakan Presiden Afganistan Hamid Karzai yang berencana membuka pintu dialog dengan Taliban dalam pemerintahan barunya.
Amerika dan aliansinya menggelar serangan udara delapan tahun lalu terhadap Taliban di Afganistan setelah terbukti Taliban menjadikan Afganistan sebagai surga bagi jaringan Usamah bin Ladin yang dituduh merencanakan serangan 11 September 2001.
Bahkan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton mengatakan pemerintah sedang mempelajari kemungkinan mereka bekerja sama dengan sejumlah anggota Taliban. ”Kami sedang menganalisis penilaian kami tentang cara terbaik mencapai tujuan melindungi negeri kami,” ujar Nyonya Clinton.
Tapi sikap Gedung Putih membuka pintu bagi Taliban dikecam senator John McCain, bekas penantang Obama dari Partai Republik dalam pemilihan presiden. ”Faktanya, kita semuanya tahu jika Taliban kembali, Al-Qaidah akan kembali,” ujar McCain.
Tapi yang jelas, bagi pencinta perang di Amerika, betapapun buruknya keputusan Obama nanti menjawab permintaan jenderalnya di Afganistan, ia tak akan menarik pasukan Amerika dari Afganistan. ”Saya tak berpikir kami memilih hengkang (dari Afganistan),” ujar juru bicara Gedung Putih, Robert Gibbs.
Raihul Fadjri (AP, AFP, Washington Post)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo