Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font size=1 color=#FF9900>THAILAND</font><br />Jamila, Si Pencuri Hati

Popularitasnya melejit. Yingluck Shinawatra tetap membawa resep kebijakan prorakyat miskin gaya Thaksin.

20 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YINGLUCK Shinawatra mengenakan kerudung merah jambu kala tiba di Yala, Selasa pekan lalu. Penduduk kawasan terselatan Thailand—berbatasan langsung dengan Malaysia—yang mayoritas muslim itu bersorak-sorai menyambut kedatangan kandidat perdana menteri dari Partai Pheu Thai ini. ”Saya punya nama baru, Yingluck ’Jamila’ Shinawatra,” katanya saat berpidato.

”Jamila” berarti perempuan cantik. Penduduk Yala-lah yang memberikan nama itu kepada adik bungsu mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra ini. Perempuan 44 tahun ini menjanjikan status zona administratif khusus bagi kelima provinsi mayoritas muslim di Thailand itu.

Gaya Yingluck—yang berparas cantik—mencuri hati rakyat. Tak mengherankan bila jajak pendapat untuk pemilihan umum 3 Juli mendatang berpihak padanya. Abac Poll dan Bangkok Poll membuktikan Yingluck lebih populer ketimbang Abhisit Vejjajiva, pesaingnya dari Partai Demokrat, yang kini tengah berkuasa. Popularitas partai pengusung Yingluck, Pheu Thai, ikut naik, sedangkan Partai Demokrat merosot. Padahal, sebelum Yingluck masuk bursa perdana menteri pada 16 Mei lalu, hanya 10,9 persen responden yang menyatakan dia pantas memimpin.

Gerangan apa yang membuat popularitas bos SC Thailand Asset Corp, perusahaan real estate, ini cepat meroket?

Padahal Yingluck tak punya pengalaman politik praktis, seperti Abhisit. Selain itu, nama Shinawatra bisa memberatkan langkahnya. Thaksin, yang digulingkan pada 2006, telah tiga tahun mengembara di luar negeri sebagai buron. Dia menjadi tersangka korupsi sejak 2008, sekaligus terorisme karena dianggap mendalangi protes antipemerintah yang dikenal sebagai gerakan ”kaus merah” tahun lalu. Sebanyak 91 orang terbunuh dalam demonstrasi berdarah itu.

Jawaban dari popularitas Yingluck adalah dukungan publik terhadap Thaksin masih nyata. Setiap kali Yingluck berkampanye di desa-desa dan di kawasan tertentu ibu kota, massa masih meneriakkan nama abang Yingluck itu serta mengharapkannya pulang. Kebijakan Thaksin yang populis dan menguntungkan rakyat pedesaan membuatnya masih dirindukan.

Resep serupalah yang menjadi isi kampanye master bidang politik Universitas Kentucky, Amerika Serikat, ini. Yingluck menjanjikan penurunan tarif pajak korporasi, kenaikan upah minimum buruh, peningkatan akses pendidikan, dan pembakuan lembaga kontrol harga yang prowarga miskin. ”Saya minta Anda percaya kepada saya sebagaimana Anda percaya kepada kakak saya,” tuturnya.

Keluarga Shinawatra adalah kalangan superkaya. Kekayaan bersih Thaksin pernah ditaksir bernilai US$ 300 juta atau sekitar Rp 2,576 triliun. Namun, di hadapan rakyat Thailand, Yingluck memposisikan diri seperti Thaksin, yang pro-”kaus merah”—lambang kelas pekerja, penduduk pedesaan. Istri Anusorn Amornchat—yang juga pengusaha kaya—ini keluar dari identitas ”kaus kuning”, yaitu lambang kaum urban kaya, kelas menengah, termasuk militer dan kaum bangsawan.

Beberapa analis politik Negeri Gajah Putih mencoba menjelaskan fenomena Yingluck. Komsan Pokong, dosen hukum di Universitas Terbuka Sukhothai Thammathirat, berpendapat popularitas Yingluck didukung oleh merosotnya kepercayaan publik terhadap pemerintah Abhisit, yang dinilai tak mampu memperbaiki keadaan selama dua tahun ini. Sedangkan Somchai Srisutthiyakorn, Direktur Pusat Pengamatan Kebijakan Universitas Sripathum, berpendapat Yingluck populer karena lebih sering muncul di hadapan publik dibanding Abhisit.

Yang menarik adalah pendapat Surichai Wun-gaeo. Dosen ilmu politik di Universitas Chulalongkorn itu mengibaratkan Yingluck sebagai produk baru di pasar politik. ”Jadi biasalah kalau pelanggan menyukai produk baru tanpa berpikir mendalam bakal mendapat untung atau tidak,” katanya.

Adapun Yingluck punya cara mengambil hati calon pemilih. Dia menyatakan bertekad memperjuangkan rekonsiliasi nasional. Warga Thailand, yang tercabik akibat pergolakan politik setelah jatuhnya Thaksin, perlu kembali hidup berdampingan secara harmonis. Pengalamannya di dunia bisnis juga membuat Yingluck tahu apa yang menarik ”dijual”. Katanya, ”Saya menggunakan femininitas saya untuk bekerja sepenuhnya bagi negara.”

Nieke Indrietta (Bangkok Post, BBC, AFP)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus