Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah berada di Jenewa beberapa waktu, Muntazer al-Zaidi akhirnya kembali ke Beirut-ibu kota Libanon-sebelum akhir Mei ini. "Ya, Irak terlalu berbahaya untuk saya sekarang," ujarnya kepada Tempo. "Tapi kelak saya akan kembali ke Bagdad jika kondisinya sudah memungkinkan."
Muntazer al-Zaidi, 31 tahun, wartawan televisi Irak Al-Baghdadia, tiba-tiba masyhur ke seluruh dunia setelah nekat melemparkan sepatu ke (mantan) Presiden Amerika Serikat George Bush dalam satu jumpa pers di Bagdad pada 14 Desember 2008. Dalam insiden tersebut, Bush, yang ditemani Perdana Menteri Irak Nouri al-Maliki, merunduk sambil menutupi kepalanya dengan tangan. "Ini ciuman perpisahan dari rakyat Irak," pekik Muntazer seraya melemparkan sepatu pertama. Dan, "Ini untuk wanita dan anak-anak Irak yang diperkosa, serta semua warga kami yang telah dibunuh (tentara Amerika)," Muntazer berteriak sembari melontarkan sepatu kedua.
Insiden tersebut, yang dituturkan kembali oleh Muntazer kepada Tempo, praktis mengubah secara radikal gerak hidup sang wartawan. Dia dihukum tiga tahun penjara, kendati dibebaskan setelah sembilan bulan. Hal kedua, yang menurut Muntazer "nyaris lebih berat dari penjara", adalah, "Saya tak dapat lagi bekerja di negeri saya sebagai wartawan," ujarnya. Dia dikejar-kejar aparat keamanan Irak, dan kerap menerima ancaman mati setelah keluar dari penjara.
Akhirnya, dia memutuskan pindah ke Libanon dan berdiam di Beirut bersama Maytham, 30 tahun, adik laki-lakinya yang amat dekat dengannya. Di Beirut, dua bersaudara itu tinggal di sebuah flat-untuk alasan keamanan, Muntazer tidak menyebutkan alamat serta wilayah kediamannya.
Maytham adalah bekas polisi Irak yang meninggalkan kesatuannya demi mengawal dan menjaga kakaknya. "Pada prakteknya, justru dia yang jauh lebih melindungi saya," ujar Maytham sembari tertawa.
Di Beirut, Muntazer sibuk menyiapkan buku yang akan dia luncurkan di Jenewa pada September mendatang. Buku ini merupakan sebuah catatan saksi mata tentang kekejaman perang di Irak, para korban-terutama wanita dan anak-anak-serta pahitnya hidup para wartawan di negeri itu sebelum dan lebih-lebih setelah pendudukan Amerika.
Bila dia tidak sedang menulis, dua bersaudara itu berjalan-jalan, pergi ke gym untuk berolahraga, atau menemui teman-teman mereka. Muntazer mengaku, betapapun sulitnya keadaan, "Saya akan menjadi wartawan sampai mati." Kini dia mendapat kesempatan lagi dari televisi Irak untuk menjadi semacam koresponden di Beirut.
Guna menolong para wartawan Irak yang dipenjara, serta wanita dan anak-anak korban perang, Muntazer giat bepergian ke berbagai negara. Dia berbicara dalam sejumlah forum internasional dan membuka fakta-fakta menyedihkan mengenai kebebasan pers di Irak serta kondisi para korban perang.
Akhir April lalu, di sela program yang amat padat sebagai pembicara tamu di Konferensi Global Jurnalisme Investigasi di Jenewa, Muntazer al-Zaidi memberikan wawancara khusus kepada wartawan Tempo Hermien Y. Kleden. Perbincangan berlangsung satu jam. Muntazer menjawab semua pertanyaan dalam bahasa Arab-yang dialihkan ke bahasa Prancis oleh seorang penerjemah.
Pikiran apa yang terlintas di kepala Anda sebelum melemparkan sepatu ke (mantan) Presiden George Bush pada 14 Desember 2008?
Banyak hal berputar-putar di kepala saya, tapi yang terus-menerus kembali ke dalam pikiran saya adalah kematian anak-anak Irak, dan wanita-wanita kami yang diperkosa setelah pendudukan tentara Amerika di Irak. Saya membaca doa dan memohon pertolongan Allah agar saya siap melakukannya.
Jadi, ini bukan semacam tindakan impulsif?
Tidak, alhamdulillah tidak! Saya amat sadar melakukannya. Saya katakan tadi, saya memohon pertolongan Allah agar berani melakukan hal itu. Saya tahu kemungkinan besar saya akan mati setelah peristiwa itu. Dalam hitungan saya, jika bukan militer Amerika, militer Irak akan segera membunuh saya.
Karena itu bukan tindakan impulsif, apakah Anda membuat persiapan sebelum melempar George Bush?
Saya tidak tahu apa ini bisa disebut persiapan. Tapi saya mencopot cincin saya, saya mencopot kartu tanda pengenal saya, lalu mantel saya pun saya titipkan pada juru kamera televisi Al-Baghdadia. Saya katakan kepada juru kamera itu, "Tolong berikan semua ini kepada adik laki-laki saya, Maytham."
Apa kata teman Anda?
Dia bertanya, tapi saya tak sempat lagi menjawabnya karena, setelah itu, saya langsung berdiri dan melemparkan sepatu ke arah dia (George Bush). Saya melemparnya untuk umat di Irak, yang begitu banyak terbunuh padahal tidak bersalah.
Setelah itu, Anda diringkus?
Ya, saya diringkus, dan dibawa ke dalam sel, dipukul sampai babak-belur, disetrum. Mula-mula saya dipenjarakan di Green Zone, lalu dipindahkan ke penjara lain di dekat bandara Bagdad.
Tolong lukiskan kondisi sel Anda?
Maaf, saya tidak dapat berbicara detail soal ini. Ada banyak wartawan kami yang tengah dibui sekarang ini. Ada kira-kira enam rekan saya yang amat dekat yang sedang dikurung, dan entah bagaimana nasib mereka. Saya akan menuliskannya dalam buku saya, yang insya Allah kami luncurkan di Jenewa pada September mendatang.
Mengapa Anda begitu membenci Bush? Dan seberapa besar kebencian Anda kepada Amerika?
Saya tidak membenci orangnya, dan saya sama sekali tidak membenci rakyat Amerika. Yang saya benci adalah politik Amerika, militer Amerika.
Seberapa perubahan yang terasa di Irak, menurut Anda, setelah Barack Obama menggantikan Bush memimpin Amerika?
Entah bagi orang lain, tapi bagi kami di Irak, menurut saya, tidak ada perubahan apa-apa.
Bisa gambarkan kondisi kebebasan pers di Irak sekarang?
Mungkin lebih tepat kita gunakan istilah kondisi pers saja-tanpa kebebasan. Sudah lebih dari 300 wartawan kami mati dibunuh. Wartawan asing juga ada yang mati walau tak sebanyak wartawan kami. Secara pribadi, saya sangat menghormati semua wartawan yang bertahan untuk bekerja dalam kondisi pers kami yang amat sulit.
Apa yang diperlukan untuk menjadi wartawan yang berhasil di Irak-dalam kondisi sekarang?
Harus siap dan mampu serta sadar untuk bertahan dalam keadaan sesulit apa pun. Dan harus mampu menuliskan kebenaran dengan sungguh-sungguh.
Dan Anda tidak mampu bertahan? Anda toh pindah ke Beirut.
Ini cara saya bertahan: agar tetap hidup dan bekerja sebagai wartawan. Saya akan menjadi wartawan sampai mati. Kelak, bila keadaan sudah lebih stabil dan aman, saya pasti akan kembali ke tanah air saya.
Bagaimana Anda bertahan di tengah pengasingan?
Pertolongan Allah dan kasih sayang keluarga saya. Adik saya bersama saya ke mana-mana. Saya belum menikah, jadi kami berdua tinggal bersama. Kakak-kakak saya di Irak sejauh ini tidak diganggu. Tapi sekarang pemerintah kami, melalui beberapa sumber, meminta saya dan adik saya harus segera pulang.
Kami dengar Anda tidak pernah menangis di dalam penjara? Juga ketika dipukuli dan disetrum?
Saya tidak menangis ketika itu karena saya pikir saya pasti akan mati. Tapi ternyata saya hidup. Setelah tiga bulan saya di dalam bui, adik saya, Maytham, datang pada bulan puasa. Ketika itu sekitar pukul satu pagi. Dia datang membawa makanan dan minuman. Hawa sel sangat panas, tak tertahankan. Keringat saya menetes. Dan Maytham mengipasi saya saat saya makan. Ketika itulah air mata saya menetes. Itu kedua kalinya saya menangis, setelah kematian ibu kami.
Bila kelak Anda berhasil kembali ke Irak, apa yang akan Anda lakukan?
Insya Allah, saya akan membuka sebuah kantor berita kecil, dan menuliskan dengan berterang-terang kondisi kemanusiaan kami yang memerlukan perhatian dan pertolongan dunia.
Oh ya, Anda tahu di mana kedua sepatu itu sekarang?
Ha-ha-ha.... Pertanyaan ini lebih tepat Anda tanyakan ke pihak militer Irak serta Dinas Intelijen Amerika (CIA).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo