Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PESERTA yang ditunggu-tunggu itu tak tampak juga. Padahal, Senin pekan lalu itu, wakil dari Kepolisian Daerah Metro Jaya merupakan pihak terpenting yang diharapkan hadir dalam rapat yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tapi, setelah lewat satu jam dari jadwal yang dinanti tak juga kelihatan, akhirnya rapat pun dibatalkan. ”Mungkin karena surat undangan yang saya kirim mendadak,” ujar Kepala Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Zahrul Rabain.
Rapat itu rencananya membahas perihal pelaksanaan eksekusi gedung Century Tower di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan. Sebagai pelaksana eksekusi, Zahrul ingin memastikan kesiapan aparat dalam pengambilalihan gedung. Tanpa bantuan pasukan polisi, dipastikan upaya itu sia-sia. ”Eksekusi ini memerlukan pasukan yang tidak sedikit,” kata Zahrul. ”Jadi, harus dibantu Kepolisian Daerah.”
Akhir Januari lalu, Zahrul sudah memerintahkan juru sita Pengadilan, Atang Sutardja, melakukan eksekusi. Sepekan sebelumnya, rapat sudah digelar dan disepakati bahwa Kepolisian Daerah Metro akan membantu eksekusi terhadap bangunan yang dulu bernama Gedung Bank Aspac itu. Ratusan kuli angkut pun sudah disiapkan untuk membantu pengosongan gedung tersebut.
Di lapangan ternyata Atang ”sendirian”. Pasukan dari Polda Metro tak muncul. Sebaliknya, di gedung yang akan dieksekusi itu, menunggu ratusan pria yang siap memberikan perlawanan. Mereka tak hanya berderet rapat memagari halaman depan gedung, tapi juga memenuhi halaman belakang gedung. Mereka siap ”berperang”. Melihat situasi ini, Atang balik kanan, membatalkan eksekusi. ”Kami sempat menunggu tiga jam di pos polisi Patra, berharap polisi datang,” kata Atang.
Gagalnya eksekusi pada Kamis 29 Januari silam itu disesalkan David M.L. Tobing, kuasa hukum PT Bumijawa Sentosa. Berdasarkan putusan pengadilan tingkat pertama, kasasi, dan peninjauan kembali, Bumijawa adalah pemilik sah Century. Gara-gara eksekusi yang batal itulah, Bumijawa lalu memasang iklan satu halaman di sejumlah harian. Mereka meminta perlindungan dan jaminan kepastian hukum dari Presiden, Menteri Keuangan, dan Kepala Kepolisian RI.
Bukan sekali ini pengadilan gagal mengeksekusi Century. Lima tahun silam, pada 2004, juru sita juga gagal mengosongkan gedung itu. Lagi-lagi, eksekusi itu gagal lantaran absennya polisi. Kala itu bahkan juru sita yang membacakan perintah eksekusi jadi sasaran pelemparan massa yang mengamankan gedung. Dua pegawai pengadilan yang mendampingi juru sita mengalami luka-luka. Polisi baru datang ketika keributan usai.
Cerita panjang perihal sulitnya mengeksekusi gedung Aspac ini berawal 12 tahun silam, ketika PT Mitra Bangun Griya menandatangani perjanjian memasukkan modal (inbreng) ke PT Bank Aspac. Dalam proses itu, Mitra menyerahkan gedung lima belas lantai itu berikut tanah 4.340 meter persegi senilai Rp 254 miliar. Sebagai imbalannya, mereka mendapat 61,56 persen saham Bank Aspac.
Setahun kemudian, bank ini ikut terhajar gelombang krisis moneter dan mendapat suntikan dana Rp 1,6 triliun dari Bank Indonesia. Sebagai jaminan, tanah dan gedung itu dibebankan hak tanggungan. Sejumlah upaya penyelamatan lain dilakukan, termasuk menambah modal. Gagal. Akhirnya, bank milik Setiawan dan Hendrawan Haryono itu pun tersungkur dan menjadi ”pasien” Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Belakangan, Setiawan dan Hendrawan berurusan dengan meja hijau karena dianggap mengemplang suntikan dana dari pemerintah itu.
Dalam perjalanannya, Badan Penyehatan lantas melelang gedung ini. Pada 21 Agustus 2003, BPPN mengumumkan Bumijawa sebagai pemenang lelang dengan tawaran tertinggi, yakni Rp 80 miliar. ”Total dengan pajak-pajaknya, kami membayar hampir Rp 100 miliar,” kata David. Dengan pengumuman tersebut, anak perusahaan Bank Aspac, PT Mitra, sebagai pengelola gedung, diperintahkan angkat kaki paling lambat 31 Desember 2003. Namun perusahaan itu menolak keluar. Tak hanya tetap menguasai, bahkan belakangan gedung itu diberi nama baru: Century Tower.
Di Mitra sendiri terjadi perubahan. Saham Mitra yang dikuasai Aspac Land dan Aspac Finance berpindah tangan ke PT Persada Putra Setia dan PT Aneka Multi Usaha. Menghadapi hal ini, Bumijawa pun mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Putusan muncul. Pengadilan menyatakan Bumijawa pemilik sah gedung. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi Jakarta juga mengeluarkan perintah eksekusi terhadap gedung itu.
Alih-alih mengosongkan gedung, Mitra malah menggugat Badan Penyehatan dan notaris Mahyastoeti Notonagoro ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mitra menuntut pembatalan inbreng. Menurut pengacara Mitra, L.L.M. Samosir, perjanjian Bank Aspac dan anak perusahaannya, Mitra, pada akhir Desember 1997 melanggar aturan Bank Indonesia. Tapi, ujarnya, saat itu lelang tetap dilakukan. ”Saat itu masih ada sengketa kepemilikan di gedung Aspac,” katanya.
Dalam gugatannya, Mitra menunjuk inbreng melanggar Keputusan Dewan Moneter. Menurut putusan Dewan, tambahan modal melalui inbreng tidak boleh melebihi 50 persen dari modal bank. Dengan dasar seperti inilah, Mitra menganggap jual-beli aset yang dilakukan Badan Penyehatan dan Bumijawa tidak sah. Nah, dengan dalil ini pulalah Mitra menolak hengkang dari gedung Aspac.
Setelah upaya pengosongan gedung pada Agustus 2004 gagal, polisi menyarankan eksekusi ditunda. Alasannya, demi menjaga ketenteraman menjelang pemilihan presiden. Sementara itu Mitra terus mengajukan gugatan atas keabsahan jual-beli gedung antara Badan Penyehatan dan Bumijawa. ”Kami pun menunggu seluruh proses hukum selesai,” kata David.
Pada September 2008 turun putusan kasasi. Mahkamah Agung menyatakan perjanjian jual-beli tersebut sah. Sebagai pemilik gedung, Bumijawa lantas meminta Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melakukan eksekusi terhadap gedung itu. Pengadilan pun menggelar rapat koordinasi merencanakan eksekusi. Tiga kali rapat digelar, baru rapat ketiga pihak kepolisian hadir. Dan hasilnya, ya itu tadi, eksekusi tak bisa dilakukan lantaran tak ada pengamanan dari aparat Kepolisian Daerah Metro Jaya. Menurut Kapolres Jakarta Selatan, Komisaris Besar Chairul Anwar, pengerahan pasukan batal dilakukan karena masih melakukan koordinasi. ”Tapi kami pasti membantu,” ujar Chairul.
Mitra sendiri kini menutup mulut terhadap wartawan. Pekan lalu, ketika Tempo menyatakan ingin bertemu dengan pihak manajemen Mitra, seorang petugas keamanan meminta meninggalkan nomor telepon saja. Dihubungi lewat telepon, seorang staf Mitra yang mengaku bernama Ria menyatakan tak ada yang bisa memberikan keterangan atas kasus yang tengah menimpa Mitra. ”Semua sibuk, ada hal penting yang diurus,” ujarnya. Pengacara Mitra, Lucas, yang sempat dikontak, belakangan telepon genggamnya hanya meninggalkan nada sambung.
Menurut Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Zahrul Rabain, pihak Mitra telah mengajukan gugatan pidana mengenai keabsahan jual-beli gedung antara Badan Penyehatan dan Bumijawa. Hanya, ujar Zahrul, apa pun hasilnya, gedung itu tidak akan kembali ke Mitra. ”Kalau penjualan tidak sah, gedung itu kembali jadi milik negara dan pasti akan dijual lagi,” katanya. Di mata hakim ini, gugatan tersebut sekadar teknik Mitra mengulur waktu saja.
Adek Media, Agung Sedayu, Mustafa Moses
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo