Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

'Ya' Bahkan sebelum Referendum Tiba

Posisi militer semakin kuat bila mayoritas pemilih Mesir mendukung rancangan konstitusi baru. Dianggap bukan proses transisi yang demokratis.

20 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beberapa hari menjelang referendum konstitusi baru, film dokumenter bertajuk Please Remember: January 14-15 dirilis di Mesir. Film berdurasi 12 menit itu menampilkan hasil wawancara dengan sejumlah orang dari pelbagai wilayah di negara itu. Sebagian besar dari mereka mengatakan akan memilih "ya" untuk konstitusi baru, dua orang akan membaca dulu rancangan konstitusi sebelum menentukan pilihan, dan satu orang lainnya akan memilih "tidak".

Pemutaran film karya sutradara perempuan Sandra Nashaat itu mendapat tanggapan beragam. Bagi para pendukung perubahan konstitusi, film itu berhasil menggambarkan dengan gamblang kemauan rakyat Mesir berpartisipasi dalam referendum, yang dilaksanakan pada Selasa dan Rabu pekan lalu. Referendum, kata mereka, adalah langkah positif menuju demokrasi.

Seorang jurnalis Mesir, Ahmed Afifi, menuliskan bahwa sutradara berusia 44 tahun itu berhasil mengajak penontonnya mendukung referendum. "Dia membuat kita bilang 'ya' bahkan sebelum hari referendum tiba. Tanpa tekanan dan propaganda," demikian Al-Arabiya mengutip tulisan Afifi, Rabu pekan lalu.

Namun berbagai kalangan mengkritik pedas film itu. Menurut mereka, film itu tak lain propaganda pemerintah belaka. Sutradara perempuan Mesir lainnya, Kamla Abu Zikri, menolak menyebut karya Nashaat itu sebagai film dokumenter karena isinya mirip iklan atau klip video. Bahkan aktivis Wael Abbas berkicau di Twitter, "Untuk penggemar Sandra Nashaat, ingatkah Anda pada Leni Riefenstahl?" Abbas merujuk pada sutradara Jerman yang menjadi bagian dari mesin propaganda Nazi.

Lepas dari segala kontroversinya, apa yang digambarkan Nashaat tak meleset dari kenyataan. Seperti dikutip Reuters, seorang pejabat Mesir menyatakan hasil penghitungan suara sementara pada Kamis sore pekan lalu menunjukkan sekitar 90 persen pemilih mendukung konstitusi baru. Rancangan konstitusi baru disusun oleh pemerintah yang didukung militer untuk menggantikan konstitusi lama bikinan pemerintah Presiden Muhammad Mursi, yang dibekukan bersamaan dengan tergulingnya Mursi dalam kudeta militer pada 3 Juli 2013. "Pemilih yang setuju dengan konstitusi baru ada kemungkinan lebih dari 95 persen," kata juru bicara Kementerian Dalam Negeri Mesir, Jenderal Abdul Fattah Othman, seperti dikutip Al-Hayat.

Kantor berita pemerintah MENA melaporkan referendum diikuti sekitar 55 persen dari 52 juta pemilih terdaftar di negara itu. Namun sejumlah media menyatakan pemilih yang datang tak lebih dari 32 persen atau lebih sedikit dibanding pada referendum 2012, yang mencapai 33 persen.

Suhu politik sudah memanas menjelang referendum dan memuncak pada hari pemungutan suara. Hari pertama pemungutan suara diwarnai bentrokan berdarah antara pengikut Al-Ikhwan al-Muslimun dan petugas keamanan. Seperti dikutip CNN, kepala unit gawat darurat Kementerian Kesehatan Mesir menyatakan sebelas orang dilaporkan tewas di beberapa provinsi, dua meninggal alami, dan sembilan lainnya akibat bentrokan. Empat orang di Provinsi Sohag dan satu orang di Provinsi Beni Suef dilaporkan tewas dalam bentrokan di antara kedua belah pihak. Setelah insiden itu, semua tempat pemungutan suara dijaga ketat pada pemilihan hari kedua.

Hasil referendum tak mengejutkan mengingat Al-Ikhwan memboikot referendum. Organisasi pendukung Mursi itu menganggap referendum adalah bagian dari penggulingan pemerintahan Mursi, yang dipilih secara sah melalui pemilihan umum. Hasil itu juga dinilai menguntungkan panglima angkatan bersenjata sekaligus Menteri Pertahanan Mesir, Jenderal Abdul Fattah el-Sisi, yang pekan lalu menyatakan siap mencalonkan diri sebagai presiden bila rakyat menghendaki.

Para pendukungnya menganggap pria 59 tahun itu figur paling kuat di Mesir saat ini setelah Mursi terguling. El-Sisi mendapat dukungan luas dari lawan-lawan Al-Ikhwan al-Muslimun, yang menganggap El-Sisi adalah orang yang dibutuhkan untuk menstabilkan politik dan ekonomi Mesir setelah diguncang huru-hara sejak Presiden Husni Mubarak mundur pada 11 Februari 2011. Bahkan pemungutan suara di beberapa tempat sudah seperti pemilihan presiden. Sekelompok perempuan yang sedang antre mengelu-elukan nama El-Sisi.

Rancangan konstitusi baru itu memperkuat posisi lembaga pemerintah yang dulu membangkang kepada Mursi, yakni angkatan bersenjata, kepolisian, dan peradilan. Dalam rancangan konstitusi berisi 247 pasal itu disebutkan angkatan bersenjata memiliki hak eksklusif menempatkan personelnya sebagai Menteri Pertahanan dalam dua masa jabatan presiden mendatang. Aturan itu membuat militer memiliki wewenang mengawasi rakyat sipil. Apalagi, menurut konstitusi baru itu, pengadilan militer dapat mengadili warga sipil yang menyerang angkatan bersenjata, personelnya, dan instalasi militer. Angkatan bersenjata juga leluasa mengatur anggarannya sendiri karena anggaran militer tak ditentukan lagi oleh parlemen, tapi oleh Dewan Pertahanan Nasional.

Meski demikian, sebagian warga Mesir menyatakan konstitusi baru itu lebih demokratis ketimbang sebelumnya. Rancangan konstitusi menyatakan presiden hanya boleh menjabat dua periode. Bila konstitusi itu tak diubah lagi, tak akan ada lagi presiden yang dapat berkuasa hingga 29 tahun seperti Mubarak.

Konstitusi baru pun menjamin kebebasan beragama dan hak perempuan. Rakyat Mesir dilarang mendirikan partai politik berdasarkan agama, gender, ras, atau wilayah. Aturan ini menutup peluang Partai Kebebasan dan Keadilan—partainya Mursi—dan Partai Cahaya yang beraliran Salafi ikut pemilu pada pertengahan tahun nanti. Ini membuka peluang bagi El-Sisi dan kroni Mubarak lainnya untuk kembali ke pemerintahan.

Kelompok oposisi menilai konstitusi baru ini hanya memuluskan jalan militer menuju tampuk kekuasaan. Ketika para jenderal militer berkuasa selama 17 bulan setelah mundurnya Mubarak, tak kurang dari 10 ribu warga sipil dihadapkan ke pengadilan militer. Mereka menyatakan konstitusi baru dibikin untuk melindungi kepentingan pemerintah ketimbang rakyat.

"Dalam pandangan saya, 50 anggota Dewan Konstitusi menulis konstitusi negara. Pada 2012, Al-Ikhwan al-Muslimun menulis konstitusi versi mereka. Tak ada seorang pun yang boleh menulis konstitusi untuk rakyat," ujar pengacara hak asasi manusia Ahmad Ragheb seperti dikutip situs berita McClatchy DC.

Dalam sebuah debat di American University, Kairo, Ahad pekan lalu, pengamat politik Ibrahim el-Houdaiby mengatakan ini bukan transisi yang demokratis. "Pemerintah sedang berusaha menghidupkan kembali sebuah negara yang telah mati."

Muhammad Abul Ghar, Ketua Partai Sosial Demokrat Mesir dan anggota komite penyusun konstitusi, sepakat konstitusi baru itu bukan hasil yang ideal dari revolusi 25 Januari 2011—disebut juga dengan Revolusi Teratai—yang menggulingkan rezim Mubarak. "Tapi ini luar biasa, menyangkut jaminan terhadap hak asasi dan kebebasan rakyat Mesir," ujarnya.

Namun, untuk melaksanakan setiap pasal konstitusi, kata dia, dibutuhkan parlemen yang kuat dan tak mudah disetir, untuk membentuk peraturan turunannya.

Sapto Yunus

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus