Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTEMUAN yang digelar di kantor Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, Jumat dua pekan lalu, membahas sebuah agenda penting. Rapat segitiga yang dihadiri perwakilan Kementerian Keuangan, PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), dan PT Pertamina (Persero) itu membicarakan nasib PT Trans Pacific Petrochemical Indotama.
Sumber Tempo yang mengetahui pertemuan itu mengatakan fokus pembicaraan dalam rapat tersebut membahas rencana penyusunan pendapat hukum oleh konsultan independen. Opini hukum itu nantinya yang akan dipegang Pertamina sebagai acuan mengakuisisi TPPI. "Pertamina ingin ada kepastian hukum yang menutup celah Honggo Wendratno masuk kembali," katanya.
Honggo, lewat PT Silakencana Tirtalestari, adalah pemilik lama perusahaan petrokimia yang berlokasi di Tuban, Jawa Timur, itu. Pemerintah, melalui PPA, mendepak dia keluar dari perusahaan pada September 2012. Menteri Keuangan merupakan pemilik surat utang bergaransi (multi-year bond) senilai Rp 3,2 triliun dan mandatory convertible bond US$ 4,2 juta yang diterbitkan PT Tuban Petrochemical Industries, induk TPPI.
Pada Agustus 2012, Honggo dinyatakan gagal membayar utang multi-year bond (MYB) seri VII sebesar Rp 734 miliar. Ini adalah bagian dari surat utang yang diterbitkan pada 2004 senilai Rp 3,26 triliun. Dengan efektifnya default notice, kewajiban yang tersisa Rp 2,83 triliun menjadi jatuh tempo seketika.
Pemerintah mengambil alih kuasa dan hak suara Silakencana. Lantas PPA bersama Pertamina menetapkan pengurus baru, Januari 2013. Manajemen baru ini tanpa perwakilan Silakencana. Aksi "bersih-bersih" dilakukan di TPPI, Tuban Petro, serta kelompok usahanya, PT Polytama Propindo dan PT Petro Oxo Nusantara.
Meski Honggo telah tersingkir, Pertamina masih khawatir ia akan kembali masuk. Pasalnya, Honggo masih bernafsu menguasai aset emasnya tersebut. Terbukti, pada 28 Oktober 2013, dia menyorongkan proposal baru berisi paket penyelesaian MYB Tuban Petro kepada Menteri Keuangan Muhamad Chatib Basri.
Dalam surat dua lembar yang salinannya diperoleh Tempo, Honggo mengumbar janji dengan menyatakan berkomitmen penuh menyelesaikan kewajiban MYB Tuban Petro. Dalam surat itu, dia memposisikan diri sebagai penjamin MYB. Surat utang yang diterbitkan Menteri Keuangan itu salah satunya dijamin oleh personal guarantee Honggo.
Dalam paket itu, Honggo menawarkan pengambilalihan tiga hal, yakni MYB dan seluruh jaminan terkait, mandatory convertible bond, serta 70 persen (17.500 lembar) saham PPA di Tuban Petro, pada harga yang disepakati. Ia juga melampirkan proposal kerja sama dengan Pertamina sebagai bagian yang terkait. Bila Menteri Keuangan setuju, Honggo berjanji akan merealisasinya dalam waktu 90 hari (baca: "Proposal Baru Pemilik Lama").
Menteri Chatib Basri saat ditanya soal proposal Honggo mengaku tidak tahu. "Belum tahu saya," katanya. Sebaliknya, Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan tidak membantah. Tapi, menurut dia, itu sudah telat. "Sudah selesai, dia baru mengajukan," ujarnya. "Pokoknya ceritanya sudah lewat."
TAWARAN penyelesaian utang ini merupakan proposal kedua yang disodorkan Honggo. Pada Desember 2011, dia mengajukan perjanjian restrukturisasi induk (master restructuring agreement). Skema yang ditawarkan saat itu, Honggo akan melunasi seluruh kewajiban kepada pemerintah dari dana yang bersumber pinjaman US$ 1 miliar (saat itu setara dengan Rp 9 triliun) dari Deutsche Bank AG cabang London, Inggris. Namun, belakangan, konsep ini gagal dilaksanakan.
Hingga akhirnya, 16 Agustus 2012, pemerintah menyatakan Honggo gagal membayar utang. Dan, pada 27 September, diterbitkan default notice. Kuasa dan hak suara Silakencana diambil alih oleh PPA. Sumber Tempo mengatakan, pada akhir Desember lalu, Menteri Keuangan memanggil manajemen PPA guna meminta laporan perkembangan penyelesaian TPPI. Ketika itu, PPA menguraikan nilai strategis TPPI sebagai pabrik petrokimia yang bisa diintegrasikan dengan bisnis Pertamina. "Karena itu, PPA merekomendasikan Pertamina melakukan akuisisi agar bisa menjadi pengendali," katanya.
Namun tiba-tiba Direktur Jenderal Kekayaan Negara Hadiyanto, yang pernah menjadi Komisaris TPPI, menyampaikan pendapat lain. "Kenapa tidak dikaji proposal baru Honggo yang memungkinkan Pertamina menjadi pengendali tanpa perlu biaya?" ucap sumber menirukan Hadiyanto.
Ditemui Rabu pekan lalu, Hadiyanto mengelak dan mengaku tidak tahu proposal Honggo. "Tanyakan saja ke Pertamina."
Kendati hampir persis sama dengan proposal sebelumnya, Pertamina dikabarkan sempat kepincut "janji manis" Honggo, yang menawarkan saham tanpa perlu keluar dana. Pada Oktober lalu, Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan mengajak Direktur Utama PPA—saat itu Boyke Mukijat—bertemu dengan Honggo di Hotel Kempinski, Jakarta.
Boyke membuka pertemuan tripartit itu. Intinya, ia menyampaikan apa yang telah dilakukan PPA, seperti mengambil alih TPPI dan grup, sesuai dengan aturan di dalam perjanjian. "Sampai di situ Bapak terima?" Boyke menceritakan kembali pertemuannya kepada Tempo, Rabu dua pekan lalu.
Honggo menjawab singkat, "Ya." Boyke melanjutkan, "Berarti sah, ya, Pak."
Dalam pertemuan itu, Honggo menyampaikan proposal yang sebelumnya dikirimkan kepada Menteri Keuangan. Tapi usulan itu hanya bisa diwujudkan jika pemerintah berkenan. "Jadi bagaimana Pak Boyke, pemerintah bagaimana?" Karen bertanya, seperti ditirukan Boyke.
Boyke mengatakan kewenangan PPA hanya mengelola aset pemerintah. "Jadi soal itu jangan bertanya kepada saya, tapi kepada Menteri Keuangan." Pertemuan disudahi sampai di situ.
Kepada Tempo, Boyke—yang pensiun pada November 2013—tegas menolak proposal Honggo. "Logika saya mengatakan enggak. Jadi tidak ada alasan untuk menerima."
Berbaliknya sikap Karen mengundang tanya. Sebab, sebelumnya dia terkenal galak terhadap Honggo. Ia pernah mengatakan, "Restrukturisasi harus lebih baik. Tidak boleh lagi ada risiko yang ditanggung Pertamina." Bahkan Karen pernah melakukan walkout ketika rapat membahas master restructuring agreement di ruang rapat lantai 17 kantor Kementerian BUMN pada 2011. Ia tersinggung oleh perilaku Honggo yang tiba-tiba menggebrak meja lantaran kesal terhadap pernyataan kuasa hukum PPA. Saat itu, rapat dipimpin Deputi Menteri BUMN Irnanda Laksana.
Hingga tulisan ini diturunkan, Karen belum bisa diminta penjelasan soal proposal Honggo. Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko Pertamina M. Afdal Bahaudin mengatakan masih mengkaji masalah TPPI. "Secara komprehensif dari sisi bisnis, komersial, termasuk risiko hukumnya," kata Afdal.
Honggo juga belum bisa dimintai komentar. Dia tidak menjawab surat permohonan wawancara yang dikirimkan ke kantor dan rumahnya. Jumat dua pekan lalu, Tempo mendapat informasi dia sedang berada di kantornya di Tuban LPG, lantai 20 gedung Mid Plaza, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Saat didatangi, Betsy, anggota staf di sana, mengatakan sang bos tidak berada di tempat.
KENDATI belum masuk menjadi pengendali saham, Pertamina sudah sukses menjalankan kembali TPPI. Pada 13 Desember lalu dilakukan pengapalan perdana produk paraxylene pesanan PT Chandra Asri, yang berlokasi di Provinsi Banten.
Pengoperasian kali ini merupakan bagian dari kerja sama pengolahan (tolling agreement) antara TPPI dan Pertamina. Skemanya: Pertamina memasok bahan baku, membiayai proses pengolahan, dan menerima produk. Sedangkan TPPI memperoleh jasa atas pemrosesan. "Seperti orang menjahitkan baju, kami menerima ongkos menjahitnya saja," ucap Direktur Utama TPPI Aris M. Azof.
Masalahnya, Aris menjelaskan, kerja sama pengolahan ini hanya untuk jangka waktu enam bulan. Artinya, tolling agreement akan berakhir Mei nanti. Ia berharap, sebelum Mei, ada keputusan Menteri Keuangan ataupun Pertamina untuk kelangsungan TPPI selanjutnya.
Pertamina sebenarnya telah membuat nota kesepahaman untuk mengakuisisi kepemilikan Argo Capital—kreditor lain TPPI. Berdasarkan hasil penundaan kewajiban pembayaran utang, kewajiban TPPI dikonversi menjadi saham. Maka kepemilikan menjadi 26 persen untuk Pertamina, 25 persen buat PPA melalui Tuban Petro dan Polytama, 21 persen untuk Argo Capital, Vitol 9 persen, serta beberapa perusahaan kreditor 19 persen. Pembagian kepemilikan ini akan berlaku efektif bila telah disahkan rapat umum pemegang saham, yang sampai saat ini belum digelar.
Pejabat Argo Capital, Andreas Rialas, memberi konfirmasi. "Kesepakatan dicapai pada Mei 2013, Pertamina akan membeli saham kami. Detail kesepakatan bersifat rahasia," katanya kepada Tempo. Dua kreditor TPPI asal Belanda, Argo Capital BV dan Argo Global Holdings BV, mengklaim punya tagihan di TPPI yang telah jatuh tempo. Tagihan Argo Capital US$ 90 juta, sedangkan Argo Global US$ 7,5 juta. Sumber Tempo menyebutkan Argo bersedia memberi diskon. "Bagi mereka, yang penting uang bisa kembali," ucapnya.
Andreas tak mau menyebut harga. Dia juga mengaku tak tahu mengapa realisasi atas kesepakatan molor. "Kami telah menulis surat kepada Pertamina dan menteri negara meminta penjelasan," kata Andreas, "tapi kami tidak mendapatkannya."
Harapan agar Pertamina masuk menjadi pengendali TPPI datang dari berbagai penjuru. Menteri Dahlan mengatakan dukungan terhadap Pertamina agar bisnis perusahaan hidup kembali. "Bagusnya dihidupkan lagi. Tahun 2014 akan lebih bagus prospek bisnisnya."
Menteri Chatib juga memberi sinyal serupa. Menurut dia, sekarang sudah bukan zamannya lagi pemerintah masuk ke keputusan korporasi. "Yang penting secara legal benar," ucapnya.
Retno Sulistyowati, Akbar Tri Kurniawan, Gustidha, Martha Thertina, Angga Sukma, Sujatmiko (Tuban)
Proposal Baru Pemilik Lama
Kepercayaan diri Honggo Wendratno masih tinggi. Pemilik lama PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) ini pada akhir 2013 mengajukan permohonan proposal baru paket penyelesaian utang perusahaan petrokimia itu kepada Menteri Keuangan Muhamad Chatib Basri.
Padahal pemerintah, melalui PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), telah mendepaknya dari TPPI pada September 2012. Honggo gagal membayar utang dalam bentuk multi-year bond (MYB) seri VII sebesar Rp 734 miliar. Ini adalah bagian dari surat utang yang diterbitkan pada 2004 senilai Rp 3,26 triliun. Setelah dicicil, per Agustus 2012 utang itu masih teronggok Rp 2,83 triliun.
Selain mengambil alih kuasa dan hak suara perusahaan Honggo, PT Silakencana Tirtalestari, PPA bersama Pertamina memilih pengurus baru pada Januari 2013. Manajemen baru ini tanpa perwakilan Honggo.
PT Trans Pacific Petrochemical Indotama
Berdiri: 1995
Produksi: Nafta, minyak aromatik, dan olefin (bahan baku plastik) serta bahan bakar, seperti solar dan minyak tanah
Modal awal: Rp 4,435 triliun
Hashim Djojohadikusumo, melalui PT Tirtamas Majutama, menguasai separuh saham TPPI. Sisanya, masing-masing 25 persen, dimiliki Honggo Wendratno dan Njoo Kok Kiong (Al Njoo). Krisis ekonomi pada 1998 membuat proyek ini macet. Badan Penyehatan Perbankan Nasional mengambil alih TPPI. Hashim dan Al Njoo terdepak, tapi Honggo selamat.
1995
PT Trans Pacific Petrochemical Indotama berdiri.
1997
Pembangunan proyek pabrik aromatik dimulai.
1998
Konstruksi proyek pabrik aromatik dihentikan akibat utang US$ 400 juta dan krisis ekonomi Asia.
2000
MOU restrukturisasi utang Tirtamas Group.
2001
Pertamina berpartisipasi menyelesaikan proyek dengan konsep product swapping. Dana US$ 400 juta dikucurkan dengan imbalan Pertamina mendapat saham 15 persen.
Pendirian PT Tuban Petrochemical Industries (Tuban Petro) untuk penyelesaian restrukturisasi utang Tirtamas Group.
Keputusan KKSK 01/K.KKSK/05/2001 menyetujui alternatif struktur Newco dalam restrukturisasi utang Tirtamas Group melalui pembentukan Newco (Tuban Petro), yang akan menguasai saham perusahaan: 70 persen saham TPPI, 80 persen saham Polytama, 50 persen saham PON, dan 50 persen saham Pacific Fibretama.
2002
Kepemilikan Trans Pacific Petrochemical direstrukturisasi oleh BPPN sebagai bagian dari penyelesaian utang senilai Rp 4,2 triliun. Pengalihan 70 persen saham Tuban Petro ke BPPN.
Konsorsium bank Jepang masuk sebagai debitor.
2004
Restrukturisasi BPPN selesai, pendanaan dari konsorsium bank Jepang masuk. Pengalihan 70 persen atas nama BPPN ke Kementerian Keuangan.
2006
Trans Pacific Petrochemical mulai beroperasi.
2007
Persetujuan bondholder atas penggunaan uang Rp 50 miliar untuk pelunasan awal sebagian nilai pokok MYB dan pengurangan sebagian kewajiban Tirtamas kepada Tuban Petro.
2009
Pertamina dua kali menyatakan TPPI gagal membayar utang (default) senilai US$ 500 juta. TPPI mengusulkan restrukturisasi kepada Pertamina dan kreditor lain.
2010
Pertamina kembali menetapkan TPPI gagal bayar untuk ketiga kalinya, dan mendaftarkan gugatan ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Pertamina menang, TPPI mesti melunasi utang paling lambat 1 September 2011.
2011
September Penyusunan perjanjian restrukturisasi utang TPPI.
Desember
Honggo mengajukan permohonan proposal penyelesaian utang (master restructuring agreement). Namun konsep ini gagal.
2012
16 Agustus Honggo gagal membayar utang.
27 September
MYB holder menerbitkan default notice. Kuasa dan hak suara PT Silakencana Tirtalestari diambil alih PT PPA.
2013
Januari Penetapan pengurus baru perwakilan pemerintah tanpa perwakilan dari Silakencana.
Mei
Perjanjian pengolahan (tolling) bersama Pertamina-TPPI diteken.
DesemberManajemen baru mengoperasikan TPPI kembali.
Sumber: Diolah Pusat Data dan Analisa Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo