Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Senin pagi, 6 Agustus 1945, di Hiroshima tampak baik-baik saja. Deru pesawat terbang di atas kota industri dan basis militer Jepang itu adalah hal biasa. Namun pesawat yang melintas pukul 8 pagi lewat itu ternyata berbeda. Pesawat itu membawa “Little Boy” atau bocah kecil, bom atom yang menghancurleburkan Hiroshima dalam hitungan detik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suasana kota yang sibuk berubah seketika saat bocah kecil itu dijatuhkan. Tiba-tiba ada kilatan cahaya membutakan mata. Sebuah ledakan terjadi sekitar 600 meter di atas kota itu. Awan berbentuk jamur membumbung ke langit. Segera setelah itu Hiroshima menjadi lautan mayat terbakar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tepat hari ini, peristiwa bom atom Hiroshima yang mengerikan itu genap berlalu 79 tahun. Mengerikan karena kejadian itu telah merenggut nyawa 70 ribu orang dalam seketika. Bahkan puluhan ribu lagi meninggal dunia akibat luka yang ditimbulkan oleh radiasi bom atom beberapa waktu kemudian, yang berlangsung selama berbulan-bulan.
Pengeboman itu adalah bagian dari Perang Dunia Kedua. Di belahan bumi barat, Jerman telah menyerah kepada pasukan sekutu pada Mei tahun itu. Namun, Negeri Matahari Terbit, julukan Jepang, tetap gencar berperang. Bahkan kata menyerah tak kunjung diumumkan kendati Hiroshima, pusat militer mereka, sudah diluluhlantakkan.
Keteguhan itu membuat pasukan sekutu kembali menjatuhkan bom atom. Bom lain yang dijuluki “Fat Man” atau pria besar itu dijatuhkan tiga hari kemudian di Nagasaki yang berjarak 420 kilometer dari Hiroshima. Diperkirakan 140 ribu orang dari total populasi penduduk Hiroshima yang berjumlah 350 ribu meninggal dunia. Sementara di Nagasaki, setidaknya 74 ribu orang tewas.
Pemboman ganda itu secara tiba-tiba mengakhiri perang di Asia, dengan Jepang menyerah pada Sekutu pada 1945. Tetapi beberapa kritikus mengatakan bahwa Jepang sudah hampir menyerahkan diri pada saat itu dan bahwa bom tersebut menewaskan sejumlah besar warga sipil. Bagi Jepang, Agustus menjadi bulan peringatan tentang komitmen terhadap dunia yang bebas nuklir.
Melihat peristiwa Pengeboman Hiroshima dan Nagasaki dari saksi mata
Jepang pada pertengahan 1945 sedang gencar-gencarnya terlibat dalam Perang Dunia II melawan sekutu. Banyak kapal pembawa minyak hancur terkena bom. Karena itulah, jasa dan pengetahuan milik insinyur perkapalan seperti Tsutomu Yamaguchi sangat dibutuhkan guna merancang kapal-kapal baru.
Tsutomu Yamaguchi lahir di Nagasaki pada 1916. Pada pertengahan 1945, perusahaan tempatnya bekerja mengirim insinyur muda ini untuk bekerja selama tiga bulan di perusahaan pembuat kapal Mitsubishi Heavy Industries di Hiroshima bersama dua rekannya, Akira Iwanaga dan Kuniyoshi Sato.
Senin pagi, 6 Agustus 1945 seharusnya jadi pagi terakhir bagi Yamaguchi bekerja di Hiroshima. Ia akan segera pulang ke rumahnya di Nagasaki, tempat keluarga besarnya, istri serta bayi mereka yang saat itu baru berusia beberapa bulan.
Pagi itu Yamaguchi seperti biasa berangkat ke kantor bersama dua rekannya. Dia ingat mendengar suara mesin pesawat terbang di udara. Tapi itu bukan hal yang luar biasa mengingat Hiroshima adalah kota industri dan basis militer. Sama sekali tidak ada yang tahu bahwa deru pesawat itu ialah suara mesin pesawat pengebom B-29 milik Amerika Serikat.
Segera setelah pesawat lewat, tiba-tiba Yamaguchi melihat kilatan cahaya yang membutakan mata. Bom atom pertama meledak hanya 600 meter di atas kota Hiroshima. Awan jamur terlihat membumbung tinggi ke udara. Pagi itu bahkan baru pukul 8.15. Yamaguchi jatuh tersungkur dan pingsan.
Beruntung Yamaguchi selamat. Dengan kepala dan lengan menderita luka bakar berat, pria yang saat itu baru berusia 29 tahun ini berjalan gontai ke arah reruntuhan galangan kapal Mitsubishi tempatnya bekerja. Di sana, ia menemukan kedua rekan kerjanya. Mereka juga selamat.
Yamaguchi ingat harus menghabiskan malam tanggal 6 Agustus 1945 di sebuah tempat penampungan. Orang-orang di sekitarnya berteriak kesakitan dan tengah sekarat. Dia sendiri tidak bisa tidur. Keesokan paginya, Selasa 7 Agustus, Yamaguchi dan dua rekannya memutuskan pergi ke stasiun kereta api. Katanya, menurut informasi yang mereka dengar, ada kereta yang masih beroperasi.
Namun perjalanan dari tempat penampungan menuju stasiun kereta sungguh ibarat film horor yang menggambarkan kengerian. Api masih berkobaran di sana-sini, bangunan-bangunan hancur, mayat-mayat bergelimpangan di jalan-jalan, sebagian meleleh dan hangus terbakar. Kulit para korban digambarkan ibarat lelehan plastik yang tergantung, terkupas dari tubuh mereka.
Jembatan-jembatan di Hiroshima juga telah hancur. Yamaguchi ingat, di sebuah sungai, dengan wajah dan lengan penuh luka akibat bom atom, ia terpaksa berenang melewati tumpukan mayat yang mengambang supaya dapat sampai ke stasiun. Sesampainya di stasiun, kereta yang dinaiki Yamaguchi penuh dengan penumpang dengan luka bakar akibat bom. Kebanyakan dari mereka berada dalam keadaan linglung.
Hari itu Yamaguchi naik kereta malam ke kampung halaman di Nagasaki. Tempat ia lahir dan menghabiskan masa kecilnya. Tempat keluarganya tinggal dan ia berharap mendapatkan rasa aman dan perawatan di sana. Sama sekali ia tidak tahu, apa yang akan segera menimpanya.
Tiba di Nagasaki pada 8 Agustus 1945, Yamaguchi langsung mengunjungi sebuah rumah sakit untuk dirawat oleh seorang dokter yang tidak lain adalah teman sekolahnya. Namun karena luka bakar yang menghitam di lengan dan wajahnya, dokter itu tidak dapat langsung mengenali Yamaguchi. Saat ia kembali ke rumah penuh dengan bebatan perban, ibunya bahkan sempat mengira ia hantu.
Meski sama sekali belum pulih dari luka-lukanya, Yamaguchi memutuskan berangkat ke kantor Mitsubishi kota Nagasaki pada 9 Agustus 1945 untuk melapor. Arus informasi saat itu berbeda jauh dengan sekarang. Hari itu, orang-orang di Nagasaki sama sekali tidak tahu apa yang telah menimpa Hiroshima.
Sekitar pukul 11 pagi, ia bertemu dengan seorang direktur yang menginginkan laporan penuh tentang kejadian di Hiroshima. Ia pun melaporkan semua yang ia ingat, tentang cahaya yang membutakan mata, tentang suara ledakan yang menulikan telinga. Namun atasannya ragu dan bertanya, bagaimana mungkin sebuah bom bisa menghancurkan keseluruhan kota?
Tepat pada saat itulah, saat Yamaguchi hendak meyakinkan atasannya, kilatan cahaya membutakan yang sama seperti di Hiroshima kembali terlihat. Yamaguchi tersungkur ke lantai, lukanya kembali menganga, kali ini luka itu penuh debu dari bangunan yang hancur di sekitarnya.
“Saya pikir, awan jamur itu telah mengikuti saya dari Hiroshima,” ujar Yamaguchi kepada harian The Independent.
Untuk kedua kalinya, Yamaguchi kembali mengalami ledakan bom atom, kali ini, ia juga selamat. Yang ada dalam ingatan Yamaguchi saat itu adalah anak dan istrinya. Yamaguchi bergegas pergi dari reruntuhan kantornya menuju rumah. Ketakutannya membuncah ketika melihat satu sisi rumahnya telah menjadi puing-puing.
Namun ternyata, istri dan anaknya yang saat itu berusia 5 bulan selamat dan hanya menderita luka ringan. Hari itu, istri Yamaguchi bersama bayinya pergi keluar rumah guna mencari salep untuk obat luka bakar suaminya. Saat bom menghajar, ia dan bayinya berlindung di sebuah lorong.
Hidup memang seringnya ironis. Jika saja Yamaguchi tidak terluka akibat bom atom di Hiroshima, istri dan bayinya hari itu mungkin tidak akan keluar rumah untuk mencari salep kulit. Kemungkinan mereka akan tetap tinggal di rumah dan terbunuh bom atom Nagasaki.