DARI Wadi-Ara dan Nazareth, dua kota kecil di utara Israel,
gelombang kerusuhan menjalar ke Nablus. Dalam lima hari (sejak
22 September), aksi protes berpindah dari kawasan berpenduduk
Arab di Tepi Barat ke Lapangan Raja-Raja di pusat Kota Tel Aviv.
Israel guncang.
Di lapangan luas itu Sabtu lalu terjadi demonstrasi raksasa,
terbesar sepanjang sejarah negara itu. Diperkirakan 350. 000
manusia bergerak dari seluruh penjuru, tumpah ruah, unjuk rasa.
Mereka mencemaskan pembantaian (16 - 17 September) di Sabra dan
Shatila, keduanya kamp Palestina di Beirut Barat. Mereka
menuntut agar PM Begin yang Menhan Sharon mengundurkan diri.
Inilah protes paling keras terhadap kepemimpinan Begin, sejak
Sharon "merestui" pembantaian para pengungsi Arab Palestina di
Sabra dan Shatila itu.
Dari ketinggian, gelombang spanduk bagaikan mengapung di atas
lautan manusia. Jelas terbaca macam-macam tuntutan dan
kemarahan, seperti Begin dan Sharon Mundur!, Malu!, Masih ada
Israel Yang Lain! Siapa Yang Takut Komisi Penyelidik?" Dan juga
ini, Darah Anak-anak Selalu Sama Di Mana pun Juga.
Ada spanduk bergambarkan tampang Begin dan Sharon, darah
mengucur dari mulut mereka. Ada karikatur Ariel Sharon dibuat
sedemikian rupa sehingga cuping hidungnya setiap kali bisa
digerak-gerakkan. Kocak. Dalam kemarahan dan kecemasan mereka,
humor Israel masih bersisa.
Demonstrasi ini digerakkan oleh pihak (oposisi) Partai Buruh
bersama kelompok moderat lainnya. Ketua Buruh Shimon Peres di
depan para demonstran menandaskan, "Kita berada di sini untuk
mengatakan tidak pada Begin dan Sharon." Kontan para demonstran
menyambutnya dengan nyanyian, "Begin pulang, Begin pulang."
Victor Shemtov, anggota Knesset (Parlemen) menyerukan, "Begin
bertanggung jawab atas pembantaian." Ia disambut sorak dan tepuk
tangan. Sementara itu para saksi mata melihat polisi menahan
beberapa prajurit Israel yang berseragam militer, seorang di
antaranya anggota pasukan payung yang membawa senjata M-16.
Mereka ditindak karena ikut demonstrasi.
Sejak Menachem Begin berkuasa tahun 1977, tidak pernah
kepercayaan Israel nampak begitu goyah seyerti sekarang ini.
Seorang perwira dalam tentara cadangan Israel sampai
berkata,"Saya khawatir, saya tidak kenal lagi negeri ini." Dia,
seperti banyak warga Israel tiba-tiba tergugah, tersentak hebat
ketika Knesset menolak dibentuknya komisi pengusut atas
keterlibatan Israel dalam pembantaian Sabra-Shatila dengan
suara 48 berbanding 42.
Sebelum ini Begin sudah menolak keras usul tentang komisi
serupa, sedangkan Ariel Sharon dengan lancar mengakui tentara
Israel memang membantu merencanakan dan menyokong serangan
pasukan Phalangis atas kamp pengungsi Palestina, meski ia tidak
mengira -"bahkan dalam khayalan kami yang paling hitam
sekalipun," bahwa ratusan manusia telah dibunuh secara keji.
'Atas "pembelaan" ini Shimon Peres menukas, "Anda tidak perlu
menjadi seorang jenius politik atau seorang jenderal dengan
banyak unda penghargaan. Anda cukup menjadi seorang polisi desa
untuk segera mengerti bahwa pasukan sukarela itu--di saat
sesudah kematian pemimpin mereka--jadi lebih beringas untuk
menaburkan kehancuran."
Sebelum kemelut politik mencapai puncaknya dalam demonstrasi
Sabtll, Menteri Energi dalam kabinet Begin, Yitak Berman,
protes dan mengundurkan diri. Menyusul Menachem Wilson, gubernur
sipil di Tepi Barat. Jenderal Amram Mitzna, komandan sekolah
staf dan komando minta dibebas-tugaskan, tapi ditolak Kastaf
Israel Letjen Rafael Eitan.
Di luar Israel, gelombang protes terjadi pada pekan yang sama di
New York, Kopenhagen, Amsterdam, Paris, Bonn, London, Toronto
(Kanada). Ratusan sampai ribuan orang Yahudi di kota-kota besar
dunia itu mengutuk pembantaian Sabra-Shatila, menuntut
pengunduran diri Begin dan Sharon, menyerukan penarikan tcntara
Israel (lihat: Libanon) dan pengusutan terhadap peristiwa
berdarah di kamp pengungsi Palestina itu. Simpati pada Israel,
baik dari orang asing maupun kaum Yahudi sendiri, merosot sampai
titik terendah.
Satu foll pendapat umum Amerika oleh majalah Newsweek mencatat
81% rsponden yakin Israel bertanggung jawab sampai tingkat
tertentu atas pembantaian Sabra-Shatila. Di antara golongan
Yahudi Amerika, 65% menuding Israel ikut bertanggung jawab. Di
lingkungan Kongres Amerika, 30 anggotanya mendukung
terbentuknya sebuah komisi penyelidik pembantaian. Tapi kecaman
paling keras datang dari Senator Alan Cranston, Demokrat dari
California. "Saya enggan mengkritik sahabat dan sekutu terbaik"
(maksudnya Begin). "Tapi anda dan Sharon telah menukar politik
luar negeri dengan kekuatan militer semata-mata, padahal anda
seharusnya mencerminkan hormat yang tulus pada pendapat umum
manusia," demikian Cranston.
Tapi berita (26 September) dari Yerusalem mengabarkan PM Begin,
demi mengamankan posisi Sharon yang makin terancam, juga karena
desakan empat mcnteri dalam kabinetnya, telah bermaksud
menyetujui dibentuknya sebuah dewan penyelidik negara yang bebas
untuk mengusut pembantaian Sabra Shatila. Desakan ini timbul
setelah Ketua Mahkamah Agung Yitzak Kahane yang semula
ditugaskan memimpin tim penyelidikan -- tanpa wewenang yang
jelas--menolak instruksi Begin. Radio Australia dalam pada itu
memberitakan, Menteri Yosef Burg akan meminta dibentuknya komisi
khusus dalam sidang Knesset, Selasa pekan ini. Sementara itu
kabinet Israel Kamis ini juga bersidang darurat untuk membahas
peristiwa pembataian.
Adapun pro dan kontra pengusutan Sabra-Shatila, menjadi bahan
pembicaraan cukup hangat. Koran Yidiot Astronot menyiarkan
hasil pengumpulan pendapat umum: 51% mendukung dibentuknya dewan
penyelidik, 23% cenderung pada tingkat penelitian yang lebih
rendah, sedangkan 25% menolak penyelidikan apa pun atas
pembantaian Sabra Shatila. Hanya 1% tidak punya pendapat, satu
petunjuk bahwa peristiwa pembantaian dan peran Israel di
dalamnya telah mencengkeram pendapat umum di Israel. Sementara
itu, hampir semua surat kabar di negeri itu memuat iklan yang
menentang atau mendukung penyelidikan. Koran terbesar Ma'ariv
memuat 20 iklan, di dalam halaman berita, 16 di antaranya
menyetujui adanya pengusutan.
Tidak kurang menarik ialah berita pengakuan dua prajurit Israel
yang dimuat koran Ha'aretz. Seorang reporternya di Beirut telah
didatangi dua prajurit tersebut yang menyatakan bahwa Kamis
siang (16 September), wanita-wanita Palestina berlari keluar
dari Shatila, meratapi anak mereka yang dibunuh. Mereka menduga
Arab Palestina sedang dibantai dan melaporkan hal ada komandan
atasnya. Tapi dijawab, "Semua beres. Jangan khawatir."
Pernyataan prajurit itu didukung oleh satu tim medis Libanon.
Dan anggota tim ini juga melapor pada pasukan Israel yang
menempati pos di utara dan barat kamp Sabra-Shatila.
Keterlibatan Israel dalam pembantaian jelas sukar dibantah.
Dalam pada itu sidang darurat Menh: Liga Arab di Tunis pekan
lalu tidak berhasil mencapai kata sepakat merumuskan tindakan
kongkrit apa yang akan diambil sebagai jawaban atas pembantaian
Arab Palestina. Tapi mereka memutuskan agar semua dubes mereka
di Washington melancarkan protes seraya mengingatkan AS bahwa
keteguhan sikapnya menyokong mesin perang Israel, hanya akan
merendahkan kebijaksanaannya. Keteguhan dukungan AS ini
terlihat dalanmlua hal:
Konperensi Internasional Tenaga Atom yang berlangsung di Wina
mengucilkan Israel sehubungan peristiwa Sabra-Shatila, tapi
delegasi AS saat itu kontan meninggalkan ruangan, demikian pula
wakil-wakil MEE, Kanada, Australia dan Jepang.
AS juga tidak mendukung resolusi MU PBB yang mengecam
pembantaian dan menaesak diadakan penyelidikan. Resolusi ini
disetujui 147 negara, dengan dua suara: AS dan Israel yang
menolak.
Adalah pernyataan Yasser Arafat, pemimpin PLO, yang sedikit
terluput dari perhatian dunia. Arafat berkata Ahad di Damaskus,
"Begin dan Sharon bukanlah orang Yahudi. Kejahatan mereka tidak
sejalan dengan moral dan tradisi Yahudi. Yahudi sejati adalah
mereka yang menolak terlibat dalam usaha menelan rakyat
Palestina. Kepada mereka, kepada para demokrat dan pejuang
perdamaian Israel saya tujukan rasa terima kasih rakyat
Palestina, yang tidak pernah melupakan solidaritas mereka pada
masa-masa penuh ujian dan tantangan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini