GADIS kecil 11 tahun yang tergeletak di kebun sepi di Shatila
itu, adakah dia Palestina? Pak tua 90 tahun yang, kepalanya
terpotong separuh itu, apakah dia PLO?
Orang-orang tak berdaya tak usah disebut asal-usulnya,bila
mereka dihabisi dan mati Gadis kecil itu mungkin bernama Leila.
Pak tua itu Hada Nouri. Dan mayat di sebelah sana adalah Abu
Diab, 70 tahun, yang kepalanya tertimbun lumpur.
Mereka, kita tahu, telah dibunuh. Orang-orang Phalangis menyerbu
kamp mereka di Shatila dan Sabra, dengan lindungan tentara
Israel. Mereka ditembaki hukan karena mereka menyiapkan granat,
tapi semata-mata karena mereka punya asal-usul yang "salah":
Palestina,
Pengungsi, keluarga PLO. Di lumpur Libanon itu mereka toh pada
dasarnya tetap seorang adik, seorang kakak, seorang ibu, seorang
ayah, atau seorang kakek.
Dengan kata lain, tiap mereka adalah sebuah dunia, yang seperti
dunia kita: serumpun cita-cita, segaris nasib, secercah
kebahagiaan atau sisa tangis, sebuah potret dalam album keluarga
yang tersimpan di suatu sudut.
Orang-orang tak berdaya memang hanya punya sebuah negeri, yakni
negeri orang-orang yang tak berdaya. Tapi mereka toh dibunuh
atas nama sebuah kaum. Tiap mereka telah dilibatkan dalam dendam
kolektif yang melanda Libanon, menggerogoti Timur Tengah. Dan
dibasmi di bawah terik matahari sehabis perang.
Betapa salahnya Menachem Begin, dan betapa berbahayanya
ucapannya. Di depan Knesset, parlemen Israel, sang perdana
menteri mencoba membela diri bahwa dia tak bersalah, bahwa
pasukannya cuma penonton yang tak siuman di depan kekejian itu.
"Goyim membunuh goyim," ujar Begin, "dan mereka menuduh kita . .
. . .".
Alam semesta bagi Begin nampaknya memang hanya terbagi
antaragoyim dan kia, antara orang non-Yahudi dan orang Yahudi.
Dua satuan besar. Hanya dua dunia, yang seakan-akan jadi dasar
bagi setiap penilaian--juga penilaian moral, ketika
masing-masing orang dipanggil untuk bertanggung jawab atau
tindakannya sendiri, tak atas nama kolektifitas apa pun.
"Goyim membunuh goyim . . ."
Tidak. Yang terjadi bukanlah komunitas Arab Kristen Libanon yang
menyembelihi komunitas Arab Palestina. Yang terjadi adalah suatu
kejahatan yang mengerikan, oleh sejumlah manusia, terhadap
sejumlah manusia lain. Sebagaimana tak semua orang Palestina
bersalah bila ada gerilyawannya yang membunuh anak-anak Israel,
juga tak semua orang Arab Kristen--bahkan tak semua orang
Phalangis-- bergelimang darah kaki tangannya karena pembantaian
di Shatila dan Sabra.
Demikian pula tak seorang pun boleh menghitamkan beribu-ribu
orang Yahudi hanya karena aib yang dilakukan Begin dan Ariel
Sharon. Dengarlah Yasser rafat. Dalam wawancaranya dengan Le
Monde ia berkata "Begin dan Sharon bukanlah orang Yahudi.
Kejahatan yang mereka lakukan tidaklah sesuai dengan moralitas
dan tradisi Yahudi. orang Yahudi yang sebenarnya ialah mereka
yang menolak untuk dikaitkan dengan usaha menghabisi bansa
Palestina."
Memang: orang-orang tak berdaya tak usah disebut asal-usulnya,
bila merea dihabisi. Orang-orang yang lupa daratan juga tak
usah disebut asal-usulnya, bila mereka berbuat keji.
TAK ada dosa kolektif, sebagaimana tak ada kebajikan kolektif.
Bila jutaan Yahudi dibunuh orang Jerman hampir setengah abad
yang lalu, tak berarti Begin dan Sharon tetap bisa berdalih
bahwa mereka adalah korban kekejaman yang tiap kali mesti
dibela. Juga tak berarti generasi dunia Barat sekarang harus
dibebani rasa bersalah untuk jadi gelagapan tiap kali Begin
menjeritkan luka lamanya.
Pada setiap bangsa ada masa berdoa dan ada masa tak berdosa.
Tapi juga ada orang-orang yang bersih dan ada orang-orang yang
kotor. Justru karena itulah bila sejarah bangsa-bangsa bukanlah
sejarah malaikat dan para nabi, tak berarti tak ada seorang pun
yang secara moral layak melemparkan batu hukuman yang pertama.
Begin mengatakan, tak ada yang berhak memberi wejangan moral
pada bangsa Israel. Ini bukan kecongliakan. Lebih buruk lagi,
ini gema dari dendam yang tak berkesudahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini