Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Yahudi

Tentara Israel melakukan kekejaman terhadap orang Palestina, hanya karena mereka PLO. Orang Arab Palestina juga banyak yang disembelih di Libanon. lalu yang terjadi adalah pembunuhan manusia atas manusia.

2 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GADIS kecil 11 tahun yang tergeletak di kebun sepi di Shatila itu, adakah dia Palestina? Pak tua 90 tahun yang, kepalanya terpotong separuh itu, apakah dia PLO? Orang-orang tak berdaya tak usah disebut asal-usulnya,bila mereka dihabisi dan mati Gadis kecil itu mungkin bernama Leila. Pak tua itu Hada Nouri. Dan mayat di sebelah sana adalah Abu Diab, 70 tahun, yang kepalanya tertimbun lumpur. Mereka, kita tahu, telah dibunuh. Orang-orang Phalangis menyerbu kamp mereka di Shatila dan Sabra, dengan lindungan tentara Israel. Mereka ditembaki hukan karena mereka menyiapkan granat, tapi semata-mata karena mereka punya asal-usul yang "salah": Palestina, Pengungsi, keluarga PLO. Di lumpur Libanon itu mereka toh pada dasarnya tetap seorang adik, seorang kakak, seorang ibu, seorang ayah, atau seorang kakek. Dengan kata lain, tiap mereka adalah sebuah dunia, yang seperti dunia kita: serumpun cita-cita, segaris nasib, secercah kebahagiaan atau sisa tangis, sebuah potret dalam album keluarga yang tersimpan di suatu sudut. Orang-orang tak berdaya memang hanya punya sebuah negeri, yakni negeri orang-orang yang tak berdaya. Tapi mereka toh dibunuh atas nama sebuah kaum. Tiap mereka telah dilibatkan dalam dendam kolektif yang melanda Libanon, menggerogoti Timur Tengah. Dan dibasmi di bawah terik matahari sehabis perang. Betapa salahnya Menachem Begin, dan betapa berbahayanya ucapannya. Di depan Knesset, parlemen Israel, sang perdana menteri mencoba membela diri bahwa dia tak bersalah, bahwa pasukannya cuma penonton yang tak siuman di depan kekejian itu. "Goyim membunuh goyim," ujar Begin, "dan mereka menuduh kita . . . . .". Alam semesta bagi Begin nampaknya memang hanya terbagi antaragoyim dan kia, antara orang non-Yahudi dan orang Yahudi. Dua satuan besar. Hanya dua dunia, yang seakan-akan jadi dasar bagi setiap penilaian--juga penilaian moral, ketika masing-masing orang dipanggil untuk bertanggung jawab atau tindakannya sendiri, tak atas nama kolektifitas apa pun. "Goyim membunuh goyim . . ." Tidak. Yang terjadi bukanlah komunitas Arab Kristen Libanon yang menyembelihi komunitas Arab Palestina. Yang terjadi adalah suatu kejahatan yang mengerikan, oleh sejumlah manusia, terhadap sejumlah manusia lain. Sebagaimana tak semua orang Palestina bersalah bila ada gerilyawannya yang membunuh anak-anak Israel, juga tak semua orang Arab Kristen--bahkan tak semua orang Phalangis-- bergelimang darah kaki tangannya karena pembantaian di Shatila dan Sabra. Demikian pula tak seorang pun boleh menghitamkan beribu-ribu orang Yahudi hanya karena aib yang dilakukan Begin dan Ariel Sharon. Dengarlah Yasser rafat. Dalam wawancaranya dengan Le Monde ia berkata "Begin dan Sharon bukanlah orang Yahudi. Kejahatan yang mereka lakukan tidaklah sesuai dengan moralitas dan tradisi Yahudi. orang Yahudi yang sebenarnya ialah mereka yang menolak untuk dikaitkan dengan usaha menghabisi bansa Palestina." Memang: orang-orang tak berdaya tak usah disebut asal-usulnya, bila merea dihabisi. Orang-orang yang lupa daratan juga tak usah disebut asal-usulnya, bila mereka berbuat keji. TAK ada dosa kolektif, sebagaimana tak ada kebajikan kolektif. Bila jutaan Yahudi dibunuh orang Jerman hampir setengah abad yang lalu, tak berarti Begin dan Sharon tetap bisa berdalih bahwa mereka adalah korban kekejaman yang tiap kali mesti dibela. Juga tak berarti generasi dunia Barat sekarang harus dibebani rasa bersalah untuk jadi gelagapan tiap kali Begin menjeritkan luka lamanya. Pada setiap bangsa ada masa berdoa dan ada masa tak berdosa. Tapi juga ada orang-orang yang bersih dan ada orang-orang yang kotor. Justru karena itulah bila sejarah bangsa-bangsa bukanlah sejarah malaikat dan para nabi, tak berarti tak ada seorang pun yang secara moral layak melemparkan batu hukuman yang pertama. Begin mengatakan, tak ada yang berhak memberi wejangan moral pada bangsa Israel. Ini bukan kecongliakan. Lebih buruk lagi, ini gema dari dendam yang tak berkesudahan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus