Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Afrika Selatan: Paranoia Putih

Keadaan di afrika selatan terus diwarnai oleh kerusuhan antara orang kulit putih dan hitam. pihak keamanan, dalam mengatasi kerusuhan, tak segan-segan melepas tembakan ke arah orang kulit hitam.

4 September 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UJUNG Selatan Afrika minggu lalu adalah salah satu daerah yang paling cemas di dunia. Di Republik Afrika Selatan, kerusuhan belum sepenuhnya enyah dari Soweto. Daerah perkotaan di barat daya kota Johannesburg ini (Soweto = South Western Township) -- yang disediakan untuk penduduk kulit hitam -- masih diliputi suasana kacau balau. Kerusuhan yang bermula sejak Juni yang lalu sebagai protes anak-anak sekolah (TEMPO 21 Agustus) telah berkembang menjadi perkelahian antara suku-suku kulit hitam. Gerakan untuk mogok yang didesakkan para pelajar hitam yang menentang pemerintah, rupanya dihadapi dengan kemarahan para buruh suku Zulu yang tidak mau mengikuti garis itu. Kira-kira 20 orang tewas dalam anarki yang bermula sejak Senin dan mereda Sabtu yang lalu itu. Sepuluh di antaranya mati oleh tindakan polisi. Di Rhodesia, negeri lain agak ke utara yang juga dikuasai minoritas kulit putih, pertempuran dengan gerilyawan hitam berjangkit lagi. Di ibukota Salibury pekan lalu pernyataan pemerintah mengatakan tujuh orang gerilyawan lagi tewas -- dan jumlah itu tahun ini menjadi 902 orang. Tak kurang seram adalah orang-orang kulit putih di Namibia atau Afrika Barat Daya yang dikendalikan oleh Republik Afrika Selatan. Mereka pekan lalu itu sedang menyelenggarakan kongres Partai Nasional di ibukota Windhoek. Tapi para delegasi cepat-cepat pulang ke kota masing-masing. 26 Agustus sepuluh tahun yang lalu, pertempuran pertama terjadi antara pejuang kemerdekaan kulit hitam dengan pasukan Afrika Selatan. Sepuluh tahun kemudian, hari Kamis pekan lalu itu, kaum nasionalis hitam menyatakan hari itu sebagai "Hari Namibia". Dan diperkirakan kegiatan gerilya akan meningkat lagi. Di ibukota Tanzania, Dar es Salaam, seorang wakil SWAPO (Southwest African Peoples Organization) -- yang merupakan gerakan kemerdekaan yang diakui PBB -- mengancam akan melancarkan perang "gaya Vietnam" bila Afrika Selatan memberikan "kemerdekaan" hanya kepada boneka-bonekanya di Namibia. Wilayah ini, bekas jajahan Jerman yang kemudian oleh Liga Bangsa-Bangsa dititipkan kepada Republik Afrika Selatan sebagai daerah mandat, seharusnya mendapat kesempatan pemilihan bebas 31 Agustus minggu ini sebagaimana ditentukan PBB. Tapi nampaknya Republik Afrika Selatan hanya akan mundur dari Namibia dengan membagi wilayah seluas 820.000 Km2 itu dalam daerah-daerah yang masing-masing dihuni oleh ras yang berbeda-beda. Ini sesuai dengan doktrin apartheid ("keterpisahan") -- di mana si kulit putih menempati kedudukan yang di atas. Maka dalam sidang-sidang yang membicarakan kemerdekaan Namibia itu SWAPO tidak diajak serta .... Tapi rupanya pergolakan terus-menerus sukar bisa dicegah. Apa yang terjadi di Soweto dan kemudian menjalar ke pelbagai tempat di Afrika Selatan mengisyaratkan itu dengan jelas. Soalnya seperti sepele mula-mula: sebuah protes terhadap keharusan memakai bahasa Afrikaan di samping bahasa Inggeris (dalam perbandingan 50-50) di sekolah-sekolah hitam. Mula-mula para dewan sekolah dan guru yang menolak. Tapi kemudian juga para murid, yang nampaknya menjadi lebih militan dalam tahun-tahun belakangan ini -- terutama yang berumur sekitar 16 tahun. Mereka ini, yang waktu kecil di sekolah dasar diajar dengan bahasa suku mereka (Zulu, Xhosas dan Tswana), pada tahap berikutnya harus memakai dua bahasa asing sekaligus. Tentu saja mereka lebih ingin memilih satu saja, dan itu adalah bahasa Inggeris. Bahasa Inggeris membuka kesempatan banyak sebagai bahasa internasional, dan juga merupakan bahasa antar orang hitam sendiri di kota-kota besar. Sementara itu bahasa Afrikaan -- yang akarnya adalah bahasa Belanda -- merupakan bahasa orang putih yang menindas mereka. BEGLTULAH di pertengahan Juni 10.000 murid sekolah Soweto berkumpul ke Stadium Orlando, untuk menyatakan perasaan mereka. Mereka berumur antara 12 sampai 20 tahun. Mereka membawa semboyan-semboyan seperti "Enyahlah Afrikaan!" dan "Viva Azania". ("Azania" adalah nama untuk Afrika Selatan yang diberikan oleh para anggota Gerakan Pelajar Afrika Selatan -- kelompok yang banyak tampil dalam protes itu). Tak lama kemudian polisi tiba, kebanyakan juga berkulit hitam, tapi dipimpin perwira putih, dalam 10 kendaraan. Apa yang kemudian terjadi merupakan fakta sejarah sudah: polisi menembak -- dengan peluru betul-betul -- dan kerusuhan hebat terjadi. 140 orang tewas dan 1000 lebih luka-luka. Dengan begitu kejadian 16 tahun yang lalu berulang lagi. Di Namibia, 10 Desember 1959, penduduk hitam yang mau digusur dari Windhoek, ke "Katutura" (dalam bahasa Heroro artinya "kami tak punya tempat milik sendiri") berdemonstrasi. Pasukan pemerintah malam itu melepaskan peluru dan 11 orang tewas. Di Afrika Selatan sendiri beberapa bulan kemudian peristiwa Sharpeville terjadi: Maret 1960, demonstran hitam ditembaki polisi, dan 74 orang terbunuh sekaligus. Kekerasan dalam bentuk yang telanjang ataupun secara tidak langsung agaknya memang bagian dari struktur yang ditegakkan di Afrika Selatan. Sejarah apartheid bisa ditarik panjang ke abad ke-17 ketika bangsa Portugis menduduki Angola dan Mozambique. Atau sampai ketika masuknya bangsa Belanda -- atas nama VOC yang juga menguasai Indonesia -- sejak koloni Tanjung Harapan didirikan oleh Ian van Riebeck di tahun 1652. Perluasan daerah kekuasaan oleh para pendatang Belanda kemudian menyebabkan banyak terjadinya bentrokan dengan suku pribumi -- terutama antara para trekboer (peternak) dengan suku Khosa. Mungkin dari masa inilah orang berbicara tentang "jiwa laager" yang konon masih merupakan ciri orang puth di Afrika Selatan. Dalam sejarah negeri ini, laager adalah suatu lingkaran kereta, yang roda-rodanya diikat dengan cabang-cabang duri yang tebal: dalam lingkaran yang berlaku sebagai benteng itu orang kulit putih mengumpulkan keluarga mereka, bersiap denan bedil, menunggu orang-orang hitam mendekat untuk menyerang. Mereka selalu merasa dalam ancaman. Untuk hidup terus, mereka merasa perlu menindak orang-orang yang mereka takuti. Rasa selalu terancam oleh mayoritas itu bersamaan pula dengan rasa lebih unggul. Orang orang hitam selalu dilihat sebagai buruh murah. Kemenangan Inggeris terhadap orang-orang Boer, dalam perang panjang yang ganas yang berakhir menjelang awal abad ke-20, tak merubah itu. Bahkan setelah Inggeris memberikan hak memerintah sendiri bagi mereka, orang putihlah yang memegang sepenuhnya kekuasaan politik di atas orang pribumi Afrika, dan di atas orang kulit berwarna serta orang India di wilayah itu, meskipun- orang putih cuma minoritas. Maka dengan mudahnya di tahun 1913 dikeluarkanlah Undang-Undang Tanah Pribumi atau Native's Land Act. Lewat ini, orang hitam dibatasi jumlah tanah yang bisa mereka miliki. Dan agar menjadi buruh murah, mereka digeser dari posisi sebagai petani bagi hasil dan penyewa tanah menjadi hanya penerima upah. Di bawah undang-undang itu -- serta beberapa undang-undang lain yang kemudian menyusul hanya sekitar 13% tanah diperuntukkan bagi orang hitam yang jumlahnya lebih 4 juta, sementara 87% disediakan bagi orang putih yang cuma satu seperempat juta. Dan tanpa tanah, orang-orang hitam pun memasuki kota-kota. Sampai kini pun kurang-lebih 33% orang pribumi, yang oleh orang putih disebut "Bantu" tinggal di daerah perkotaan. Tapi di awal 1930-an orang putih dari pedalaman juga ternyata membanjiri kata-kota. Mereka miskin, tak punya kecakapan, tak terdidik -- dan kalah bersaing dengan orang hitam yang punya kecakapan lebih dan bersedia melakukan kerja kasar. Dan bila orang hitam masih bisa hidup lumayan dengan dibantu keluarga mereka, orang putih melarat itu harus hidup dari upah belaka. Bagi si putih ini kurang adil. Maka para penguasa dan para kapitalis kulit putih pun pada akhir Perang Dunia II memutuskan untuk mengkhususkan kota bagi kepentingan si 'Afrikaner". Nasib si hitam, sekali lagi bertambah buruk. 1948, Partai Nasional Afrikaner menang. D.F. Malan menjadi perdana menteri, sampai 1954. Ia ternyata berhasil didukung oleh orang kulit putih yang berbahasa Inggeris, dan tak cuma oleh orang Afrikaner yang setia. Demikian juga penggantinya, J.G. Strijdom. Keduanya adalah tokoh-tokoh pembela supremasi putih. Keduanya menafsirkan apartheid sebagai salah satu cara untuk memaksakan berlakunya baaskap -- kemajikanan mereka di atas kelompok ethnis yang lain. Aparthei sendiri, sebagaimana dinyatakan sebagai garis politik oleh orang Afrikaner, "bertugas menjaga dan mempertahankan identitas rasial penduduk kulit putih". Juga "menjaga dan mempertahankan identitas bangsa-bangsa pribumi sebagai kelompok rasial yang terpisah, dengan kesempatan untuk berkembang ke arah satuan-satuan yang berpemerintahan sendiri". Tak kurang merdu dari itu, apartheid juga berbicara tentang perlunya "hargadiri dan saling menghormati antara pelbagai ras di negeri ini". Doktrin ini juga mendukung "prinsip umum pemisahan wilayah antara orang Bantu dengan orang putih". Memang, tak terlalu jelek kedengarannya. Bahkan doktrin ini didukung oleh sementara ahli antropologi serta kaum administrator yang bermaksud melindungi masyarakat-masyarakat tradisionil Afrika dari perubahan sosial yang berlaku cepat. Tapi sebagaimana di tahun 1968 ditanyakan oleh Toivo Hermann ja Toivo -- seorang guru dan tokoh SWAPO yang dihukum penjara 20 tahun -- dalam pidatonya di pengadilan: "Perpisahan, katanya, merupakan proses yang alamiah. Tapi kalau begitu, kenapa ia diterapkan dengan cara paksa? Dan mengapa orang kulit putih yang memiliki keunggulan?". Pertanyaan itu tak terjawab -- karena para pendukung apartheid memang tak akan bisa menjawab. Juga Verwoerd tidak. Ada yang menilai bahwa perdana menteri Afrika Selatan yang ke-3 ini seorang pemikir radikal dulunya, dan bahwa ia berbeda dari Malang ataupun Strijdom. Verwoerd konon bertolak dari anggapan bahwa orang hitam tidak dari dasarnya lebih rendah ketimbang orang putih, dan ia menolak semangat baaskap. Tokoh kelahiran Amsterdam (1901) yang dibesarkan di Afrika Selatan ini memang pada mulanya seorang ilmiawan. Ia gurubesar muda usia yang cemerlang di Universitas Stellenbosch, di bidang psikologi, yang kemudian pindah ke bidang sosiologi. Ia selanjutnya menjadi editor Die Transvaller, milik partai Nasional, ketika umurnya baru 36. Sebelas tahun kemudian, ia terpilih jadi senator. Waktu itulah ia mengembangkan gagasannya di kalangan kecil intelektuil Afrikaner dan para pernimpin Gereja Reformasi Belanda -- dengan cara berhati-hati. Sebab ia tahu buah fikirannya bertentangan dengan mayoritas orang putih di negerinya. Dalam fikiran ini, seperti tercermin dalam buku Has the Aftikaner a Future, yang ditulis oleh rekan dekatnya C.D. Scholtz, masa depan bangsa Afrikaner terletak dalam pemisahan teritorial, atau bahkan perpisahan total. Tapi ketika ide ini dilontarkan secara terbuka di tahun 1951, dalam kongres Cereia Reformasi Belanda, baik Malan ataupun Strijdom mengecamnya sebagai "tidak realistis". Namun sebagai menteri urusan bangsa pribumi sejak 1950, Verwoerd tak tinggal diam. Tentu saja kesempatan sepenuhnya baru tercapai ketika ia mengantikan Strijdom yang meninggal dunia September 1958. Kebijaksanaan pokok Verwoerd lahir dalam Undang-Undang Peningkatan Swa-Tantra Bangsa Bantu di tahun 1959. Di situ orang pribumi ditaruh dalam tujuh tempat "pemukiman kembali" (resettlement) -- semacam cagar alam yang disebut "Bantustan". Tapi dalam keadaan yang sudah berlangsung sejak Undang-Undang Tanah Pribumi berlaku, wilayah pemukiman kembali itu hanya meliputi 13% dari seluruh Afrika Selatan -- karena taulah selebihnya dari negeri seluas 1.200.000 Km2 itu merupakan milik si kulit putih. Maka seperti yang dilihat para pengritiknya itulah kelemahan ide Verwoerd. Komisi Tomlinson yang dibentuk Verwoerd sendiri di tahun 1954 sudah melaporkan, bahwa dalam kondisi yang terbaik sekalipun "Bantustan-Bantustan" yang diciptakan itu tak akan mampu menyerap seluruh penduduk hitam Afrika Selatan yang ada waktu itu. Apalagi bila bertambah. Sekarang saja jumlah orang hitam sudah 18 juta sementara orang putih baru 4 juta. Rencana Verwoerd praktis tak jalan. Di tahun 1960 peristiwa berdarah di Sharpeville terjadi. Sementara itu para ketua suku -- para pemimpin tradisionil Afrika yang posisinya hendak dipulihkan kembali, tak selamanya bisa bekerja sesuai dengan pesanan. Mereka tahu: ikut baris pemerintah akan menyebabkan mereka dibenci rakyat, tapi ikut garis rakyat menyebabkan akan dimarahi pemerintah. Di beberapa daerah ketua suku yang menyokong partheic bahkan dibunuh penduduk. Di Transkei, yang melaksanakan pemilihan Banlustannya yang pertama tahun 1963, pemerintah putih terpaksa menyatakan keadaan darurat hingga kini. Sementara itu suku Zulu baru bersedia menerima "swa tantra" gaya Verwoerd setelah 10 tahun dibujuk. Dan BantustanBantustan itu toh masih tetap harus tergantung kepada ekonomi Afrika Selatan. Meskipun begitu, dengan sikap keras kepala yang sudah merupakan cirinya, pemerintah Afrika Selatan ternyata meneruskan konsep Bantustan itu ke Namibia . . . 1966, di parlemen, Verwoerd mati terbunuh -- dua hari sebelum Perdana menteri itu merayakan ulang tahunnya yang ke-65. Pembunuhnya ternyata seorang kulit putih, yang mungkin agak sinting, dan kini disiksa dalam penjara (lihat: Kisah Dari Penjara hal 11 ). Itu tak berarti tak ada perlawanan dari orang hitam dan berwarna lain -- juga orang kulil putih yang progresif -- yang sejak 1955 mendirikan gerakan bersama dalam bentuk Congress Alliance. Bahkan meskipun para pemimpin gerakan ini setahun kemudian sebentar ditangkapi, militansi meningkat terus. Di tahun 1958 Pan-Africanist Congres (PAC) dibentuk, dan dalam demonstrasinya di tahun 1960 itulah pembunuhan di Sharpeville terjadi. PAC kemudian dinyatakan terlarang. Dengan begitu ia mengalami nasib seperti Partai Komunis Afrika Selatan yang dilarang 9 tahun sebelumnya -- dan juga African National Congress (ANC) yang berdiri sejak 1917. Maka apa alternatif lain, selain cara kekerasan? Ketika Oktober 1966 orang kulit putih pertama mati di rumahnya terbunuh oleh gerilyawan bersenjata jelaslah bagi pemerintah Afrika Selatan "terorisme" tak akan dapat dihindarinya. Dan ketika Balthazar Johannes Vorster menggantikan Verwoerd, nampaknya kehidupan negeri itu memang harus makin menjurus ke sana. Orang yang pernah jadi menteri pendidikan, kesenian dan ilmu Pengetahuan ini juga kemudian adalah menteri kehakiman, polisi dan penjara. Tokoh sayap kanan yang keras ini sengaja dipilih Verwoerd buat jabatan itu -- setelah peristiwa Sharpeville, dan setelah Verwoerd yakin bahwa tangan besi diperlukan. Vorster segera bertindak. Setiap penentang politik rasial pemerintah ia bekuk. Dan ketika ia dilantik jadi perdana menteri seminggu setelah kernatian Verwoerd, ia berkata: "Saya akan terus menurut jalan apartheid". Orang memang mencatat bahwa ternyata ia tidak setegar seperti yang diperkirakan semula. Tapi apa yang akan dilakukannya setelah kerusuhan di Soweto? Segera setelah Soweto, yang ditunjukkan pemerintah ialah apa yang disebut orang Afrikaner sebagai Kragdadigheit atau sikap tegas. Vorster bermaksud untuk tak memberi kesan, bahwa ia gampang didesak-desak oleh gelombang demonstrasi. Kerusuhan yang terjadi, menurut pemerintah, hanya karena penunggangan sekelompok kecil agitator. Mereka tak didukung secara berarti oleh mayoritas bangsa pribumi yang 18 juta. Kebanyakan orang hitam, kata Menteri Kehakiman James Kruger "mendukung pemerintah untuk apa yang dilakukannya dalam meningkatkan hidup mereka". Perkelahian yang terjadi antar orang hitam beberapa hari setelah itu -- ketika para buruh suku Zulu menolak dipaksa untuk mogok oleh para pemuda militan -- memang bisa mengesankan bahwa Kruger benar. Persatuan antar orang hitam dalam menghadapi apartheid memang masih lemah. Tak ada pemimpin yang memang tumbuh dari kalangan mereka sendiri: kebanyakan sudah diamankan oleh polisi Vorster, atau melarikan diri ke negara tetangga -- atau ikut gerakan di bawah tanah. Pemimpin yang ada adalah pemimpin yang hanya dapat restu dari atas. Keadaan itu menyulitkan pemerintah Vorster juga. Dengan siapa, dari kalangan kulit hitam, penguasa kini dapat berkomunikasi, bila diperlukan? Pendapat umum di Afrika Selatan selalu mendesak agar ada konsultasi tetap antara orang putih dengan orang hitam. Dan Menteri Pendidikan untuk Orang Pribumi, Michiel C. Botha, memang terpaksa bertemu dengan para pemimpin kulit hitam untuk berdialog, setelah terjadinya kerusuhan. Tapi yang ditemuinya hanyalah para tokoh masyarakat hitam setempat, yang terdiri dari orang bisnis -- di antara yang 1% dari penduduk hitam yang kaya di Soweto -- yang bahkan tak punya status sebagai dewan perwakilan kota. Dengan dipotongnya kegiatan politik rakyat kulit hitam, proses politik yang perlu untuk kehidupan bersama pun terpotong juga. Mentalitas laager dari penguasa yang serba curiga seperti menderita paranoia itu memang sudah parah benar. Dan itu tak akan tertolong oleh keadaan. "Kita tahu bahwa kejadian seperti ini tetap akan ada bersama kita bertahun-tahun yang akan datang", kata Sir de Viliers Graaff, pemimpin partai oposisi United Party setelah peristiwa Soweto. Tak pelak lagi. Tapi mungkin kelak bisa tambah parah. Di negeri tetangga mereka, Anggota pemerintahan Presiden Neto makin berkonsolidasi -- dan mudah diperkirakan kekuatan Marxis yang dibantu Soviet ini tak akan bersikap lunak kepada Afrika Selatan. Apalagi Vorster pernah mengirim tentaranya membantu pihak yang melawan Net dalam perang saudara yang baru lalu. Di Mozambique, pemerintahan Frelimo kian terang-terangan dikagumi para pemuda hitam yang tergabung dalam SASO (himpunan pelajar kulit hitam). Dan tak kurang penting ialah perkembangan di Namibia. Daerah yang harus berakhir minggu ini sebagai daerah mandat yang dipegang Afrika Selatan itu merupakan calon ajang perang gerilya SWAPO, yang menganggap "kemerdekaan" pemberian orster sebagai kedok terusnya apartheid. Your future is with Vorster. Masa depan anda bersama Vorster. Begitu tulis poster pemilu di Afrika Selatan yang lalu. Mungkin -- tapi setidaknya hari depan putih itu akan terus terkepung di benua hitam. Apartheid bisa bertahan dengan kekuatan senjata, mungkin nanti juga senjata nuklir. Tapi hidup dengan selalu siap tempur pada akhirnya merusak diri sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus