Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kisah Ibu Siyamah

Salah seorang penumpang bis akas, siyamah selamat. Ibu Siyamah, menceritakan pengalamannya sebelum dan sesudah waktu kecelakaan. Bis melaju dalam kecepatan tinggi kenangnya.

30 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Wuluhan, perjalanan 30 menit dari Ambulu, sopir Soekarno menghentikan bis dengan injakan rem yang tajam. Bis Akas, yang dikendarainya pagi itu berhenti pula dengan mendadak. Badan para penumpang, yang umumnya masih diliputi kantuk, terhempas sejenak ke deretan kursi di mukanya. Keluarga Mantri Kesehatan, yonya haji Umar berdelapan jiwa, buru-buru naik dan bergabung dengan penumpang lain yang memadat. Sampai di Madiun nanti, keluarga ini hendak melanjutkan perjalanannya ke Sala. Bersama rombongan nyonya Umar, naik pula penumpang dari Wuluhan yang lain: Ibu Siyamah (45 tahun) yang menggendong oroknya, Rukilah 7 bulan). Tangan kanannya menggandeng pula ponakan perempuannya Toimah (12 tahun). Mereka hendak pulang ke Malang, setelah beberapa hari tinggal di Wuluhan. Siyamah, orok dan ponakan, syukur, selamat kembali ke rumahnya. Namun keluarga haji Umar ternyata bagian dari 32 penumpang yang terenggut jiwanya dalam kecelakaan di hari Kamis Wage pagi, 17 April, dekat jembatan Bung karno (Kabupaten Probolinggo). Siyamah, yang masih dalam keadaan kaget, dapat memberikan keterangan kepada Imam Soebagio dari TEMPO: Beres dengan penumpang baru dari Wuluhan, bis Akas dengan sigap cabut rem dan tancap gas, melanjutkan perjalanan menuju Balung. Ada beberapa penumpang naik dan turun di sini. Lepas dari Balung, di jalan raya yang memang lapang sepagi itu, Soekarno kian menggenjot kecepatan kendaraannya. Sejak lepas dari pemberhentian bis di Ambulu, jam 5.50 pagi, bis keluaran Ford tahun 1972 itu memang sudah dikebut terus oleh sopirnya. Kondektur Pirngadi, sambil menikmati laju bisnya, terus mengutip ongkos Jalan dari penumpang baru. "ah, sopire ngimpi opo. Seminggu iki bie keak terus (wah sopirnya mimpi apa. Seminggu ini bisnya penuh terus)", kelakar Pirngadi. Siyamah, yang juga doyan bercanda, menyambut kelakar sang kondektur: "Bagaimana sampeyan ini mas, penumpang kosong mengeluh, penuh juga masih mengeluh". Sopir, kondektur dan beberapa penumpang lain tertawa. Juga nyonya Umar dan tiga anaknya: dua gadis cilik berpita merah dan seorang anak laki-laki bersepatu dengan tumit tinggi, yang duduk di deretan depan. Sang sopir, sambil terus bikin lelucon yang cukup menyenangkan penumpangnya, terus tancap gas."Larinya seperti uber-uberan", kata Siyamah. Perempuan ini mencoba memperingatkan ulah si sopir. Tapi Soekarno pagi itu memang kelihatan kelewat bersemangat melarikan kendaraannya. "Jame' wis telat (waktunya sudah terlambat)", cuma begitu ia menyahuti peringatan Siyamah dan penumpang lainnya. Para penumpang jadi tak peduli lagi. Paling-paling mencoba mempererat pegangan ke kursi di depannya. Lewat desa Klakah, malah sopirnya yang kasih peringatan: "Jangan mengeluarkan anggota badan, nanti celaka!". Bu Siyamah geleng kepala: "Yang kuasa 'kan sopir?", katanya pasrah. Wilayah kabupaten Lumajang baru saja dilalui. Di depan sudah mulai kelihatan sebuah jembatan yang menghubungkan kabupaten yang baru dilalui dengan wilayah kabupaten Probolinggo, dengan desa pertama: Malasan Kulon. Sebelum masuk jembatan kecil ini yang kabarnya dirancang oleh almarhum Bung Karno, jalan agak menurun. Ini bukan jalan 'maut', apalagi bagi sopir Soekarno yang sudah 5 tahun mengenal dengan baik. Bis terus meluncur. Lalu mulai menginjak jembatan dengan manis. Beberapa meter dari jembatan, mestinya, sopir harus membelokkan stir ke kanan, ke arah jalan yang sedikit menanjak. Tapi bu Siyamah, yang terus memperhatikan tingkah sopir dengan was-was, tidak melihat Soekarno mengarahkan bis ke jalan yang benar. Bis Akas tidak berbelok kanan mengikuti jalan, tapi terus lurus: menubruk keras ke ujung lubang sebuah galian tanah yang tak seberapa dalam. Cuma itu yang sempat diperhatikan Siyamah. Sebab, setelah itu, ia tak tahu apa-apa lagi. Pingsan. "Sebelumnya saya hanya bisa nyebut 'ya Allah' dan merasa mendengar benturan tiga kali". Membentur, jungkir balik atau nyungsep? "Wah, saya sudah tidak sadar lagi", katanya. Waktu sadar, Siyamah sudah berada di luar bis. Oroknya tergeletak tak jauh dari badannya sendiri. Penumpang lain, "banyak yang tercecer di sekitar saya". Di mana ponakannya Toimah? Gadis cilik ini bercerita: Ia tertindih kap bis yang copot dari badannya itu. Ia berusaha melepaskan diri dari himpitan jok yang terbuat dari kayu dilapisi seng. Tapi tak mampu. Begitu seterusnya, sampai datang 'pertolongan': "Ada seorang laki-laki, tinggi besar, berbaju serba hitam menarik saya dari jepitan kap. Lalu saya diajak keluar dari sana. Sambil merangkak, saya memegang baju hitamnya dari belakang. Setelah saya lepas dari tindihan kap itu, tiba-tiba laki-laki itu menghilang. Dan saya sudah berada dekat Makde". Begitu ceritanya, dengan bahasa Jawa Timur yang liat, sambil menunjuk Makdenya, Siyamah. Pirngadi, kondektur yang periang itu, terpental dari badan bis. Ia mujur. Keadaannya sehat wal afiat. Hanya sopir Soekarno, malang, meninggal bersama sebagian para penumpang bisnya. Termasuk korban 8 jiwa keluarga nyonya Umar -- famili dari seorang perwira tinggi polisi, Letjen Pol. Soejoed Wahju. Keluarga itu praktis separuh habis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus