DI Wuluhan, perjalanan 30 menit dari Ambulu, sopir Soekarno
menghentikan bis dengan injakan rem yang tajam. Bis Akas, yang
dikendarainya pagi itu berhenti pula dengan mendadak. Badan
para penumpang, yang umumnya masih diliputi kantuk, terhempas
sejenak ke deretan kursi di mukanya. Keluarga Mantri Kesehatan,
yonya haji Umar berdelapan jiwa, buru-buru naik dan bergabung
dengan penumpang lain yang memadat. Sampai di Madiun nanti,
keluarga ini hendak melanjutkan perjalanannya ke Sala.
Bersama rombongan nyonya Umar, naik pula penumpang dari Wuluhan
yang lain: Ibu Siyamah (45 tahun) yang menggendong oroknya,
Rukilah 7 bulan). Tangan kanannya menggandeng pula ponakan
perempuannya Toimah (12 tahun). Mereka hendak pulang ke
Malang, setelah beberapa hari tinggal di Wuluhan.
Siyamah, orok dan ponakan, syukur, selamat kembali ke rumahnya.
Namun keluarga haji Umar ternyata bagian dari 32 penumpang yang
terenggut jiwanya dalam kecelakaan di hari Kamis Wage pagi, 17
April, dekat jembatan Bung karno (Kabupaten Probolinggo).
Siyamah, yang masih dalam keadaan kaget, dapat memberikan
keterangan kepada Imam Soebagio dari TEMPO:
Beres dengan penumpang baru dari Wuluhan, bis Akas dengan sigap
cabut rem dan tancap gas, melanjutkan perjalanan menuju Balung.
Ada beberapa penumpang naik dan turun di sini. Lepas dari
Balung, di jalan raya yang memang lapang sepagi itu, Soekarno
kian menggenjot kecepatan kendaraannya. Sejak lepas dari
pemberhentian bis di Ambulu, jam 5.50 pagi, bis keluaran Ford
tahun 1972 itu memang sudah dikebut terus oleh sopirnya.
Kondektur Pirngadi, sambil menikmati laju bisnya, terus mengutip
ongkos Jalan dari penumpang baru. "ah, sopire ngimpi opo.
Seminggu iki bie keak terus (wah sopirnya mimpi apa. Seminggu
ini bisnya penuh terus)", kelakar Pirngadi. Siyamah, yang juga
doyan bercanda, menyambut kelakar sang kondektur: "Bagaimana
sampeyan ini mas, penumpang kosong mengeluh, penuh juga masih
mengeluh". Sopir, kondektur dan beberapa penumpang lain tertawa.
Juga nyonya Umar dan tiga anaknya: dua gadis cilik berpita
merah dan seorang anak laki-laki bersepatu dengan tumit tinggi,
yang duduk di deretan depan.
Sang sopir, sambil terus bikin lelucon yang cukup menyenangkan
penumpangnya, terus tancap gas."Larinya seperti uber-uberan",
kata Siyamah. Perempuan ini mencoba memperingatkan ulah si
sopir. Tapi Soekarno pagi itu memang kelihatan kelewat
bersemangat melarikan kendaraannya. "Jame' wis telat (waktunya
sudah terlambat)", cuma begitu ia menyahuti peringatan Siyamah
dan penumpang lainnya. Para penumpang jadi tak peduli lagi.
Paling-paling mencoba mempererat pegangan ke kursi di depannya.
Lewat desa Klakah, malah sopirnya yang kasih peringatan: "Jangan
mengeluarkan anggota badan, nanti celaka!". Bu Siyamah geleng
kepala: "Yang kuasa 'kan sopir?", katanya pasrah.
Wilayah kabupaten Lumajang baru saja dilalui. Di depan sudah
mulai kelihatan sebuah jembatan yang menghubungkan kabupaten
yang baru dilalui dengan wilayah kabupaten Probolinggo, dengan
desa pertama: Malasan Kulon. Sebelum masuk jembatan kecil ini
yang kabarnya dirancang oleh almarhum Bung Karno, jalan agak
menurun. Ini bukan jalan 'maut', apalagi bagi sopir Soekarno
yang sudah 5 tahun mengenal dengan baik. Bis terus meluncur.
Lalu mulai menginjak jembatan dengan manis. Beberapa meter dari
jembatan, mestinya, sopir harus membelokkan stir ke kanan, ke
arah jalan yang sedikit menanjak. Tapi bu Siyamah, yang terus
memperhatikan tingkah sopir dengan was-was, tidak melihat
Soekarno mengarahkan bis ke jalan yang benar. Bis Akas tidak
berbelok kanan mengikuti jalan, tapi terus lurus: menubruk keras
ke ujung lubang sebuah galian tanah yang tak seberapa dalam.
Cuma itu yang sempat diperhatikan Siyamah. Sebab, setelah itu,
ia tak tahu apa-apa lagi. Pingsan. "Sebelumnya saya hanya bisa
nyebut 'ya Allah' dan merasa mendengar benturan tiga kali".
Membentur, jungkir balik atau nyungsep? "Wah, saya sudah tidak
sadar lagi", katanya.
Waktu sadar, Siyamah sudah berada di luar bis. Oroknya
tergeletak tak jauh dari badannya sendiri. Penumpang lain,
"banyak yang tercecer di sekitar saya". Di mana ponakannya
Toimah? Gadis cilik ini bercerita: Ia tertindih kap bis yang
copot dari badannya itu. Ia berusaha melepaskan diri dari
himpitan jok yang terbuat dari kayu dilapisi seng. Tapi tak
mampu. Begitu seterusnya, sampai datang 'pertolongan': "Ada
seorang laki-laki, tinggi besar, berbaju serba hitam menarik
saya dari jepitan kap. Lalu saya diajak keluar dari sana. Sambil
merangkak, saya memegang baju hitamnya dari belakang. Setelah
saya lepas dari tindihan kap itu, tiba-tiba laki-laki itu
menghilang. Dan saya sudah berada dekat Makde". Begitu
ceritanya, dengan bahasa Jawa Timur yang liat, sambil menunjuk
Makdenya, Siyamah.
Pirngadi, kondektur yang periang itu, terpental dari badan bis.
Ia mujur. Keadaannya sehat wal afiat. Hanya sopir Soekarno,
malang, meninggal bersama sebagian para penumpang bisnya.
Termasuk korban 8 jiwa keluarga nyonya Umar -- famili dari
seorang perwira tinggi polisi, Letjen Pol. Soejoed Wahju.
Keluarga itu praktis separuh habis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini