Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Akhir Roman Cinta Tolstoy

Sosialita Alexandra Tolstoy sempat menjalani hidup glamor bersama jutawan Sergei Pugachev. Berubah setelah Pugachev pecah kongsi dengan penguasa Rusia, Vladimir Putin.

25 April 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Alexandra Tolstoy, saat berada di Moskow November 2006./REUTERS/Alexander Natruskin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Alexandra Tolstoy adalah keturunan sastrawan besar Rusia, Leo Tolstoy.

  • Pugachev pengusaha yang dekat dengan Presiden Vladimir Putin.

  • Setelah pecah kongsi dengan Putin, Pugachev bangkrut dan diburu agen-agen Rusia.

DULU hidup Alexandra Tolstoy adalah pesawat jet pribadi, bunga-bunga, dan hotel-hotel megah. Kini putri bangsawan Inggris yang juga keturunan sastrawan besar Rusia, Leo Tolstoy, itu berjualan baju, termasuk busana mewah yang pernah dipakainya, untuk menambah-nambah penghasilan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaun hitam bertabur bintang kecil putih merek Dolce & Gabbana yang dia kenakan dalam acara pernikahan Pangeran Monako Albert II dan Charlene Wittstock di Monako pada 2011 dijual seharga 290 pound sterling atau sekitar Rp 5,6 juta. Yang lain adalah gaun berenda Oscar de la Renta seharga Rp 3,8 juta lebih, baju Celine Rp 7,5 juta, dan baju wol Alaïa sekitar Rp 8,6 juta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alexandra mulai melepas koleksi bajunya pada tahun lalu dalam sebuah acara amal di rumahnya di Chelsea, London, Inggris. Ternyata peminatnya membeludak. Ia akhirnya meluncurkan bisnis busana online Preloved by Alexandra Tolstoy. “Saya membuka bisnis Preloved mulanya untuk membersihkan lemari saya,” katanya kepada Tatler, Selasa, 21 April lalu.

Sedekade lalu, Alexandra adalah sosialita yang hidup di tengah para “oligark”—istilah Presiden Rusia Vladimir Putin bagi orang-orang yang menjadi kaya karena mengambil keuntungan dari kedekatan mereka dengan kekuasaan. Ia istri Sergei Pugachev, jutawan Rusia yang pernah dekat dengan Putin. Keadaan berubah ketika Pugachev dituduh menggelapkan dana dari banknya, Mezhprombank, dan dikejar-kejar pemerintah Rusia.

Pugachev adalah bekas senator Rusia dan orang kepercayaan Putin. Putra perwira militer di era Uni Soviet itu meniti karier sebagai pengusaha pada 1980-an. Bisnisnya melesat setelah ia mendirikan bank pertamanya, Northern Commercial Bank, pada 1991. Ia menjual sahamnya dan berinvestasi di berbagai bidang, termasuk pertambangan batu bara, galangan kapal, dan real estate.

Di dunia politik, kariernya dimulai ketika ia membantu Boris Yeltsin dalam kampanye pemilihan presiden 1996. Ia juga menjadi anggota tim kampanye Vladimir Putin dalam pemilihan umum 2000, yang mengantarkan Putin ke kursi presiden. Pugachev mengaku dekat dengan Putin. “Kami bermuka-muka setiap hari hingga malam, sampai pukul 3 atau 4 pagi. Kami berbincang soal bisnis pemerintah,” katanya kepada The Guardian. Pugachev bahkan mendapat julukan “bankir Putin”.

Pugachev berkenalan dengan Alexandra ketika perempuan kelahiran Poole, Inggris, pada 14 Juli 1973 itu mengajarkan bahasa Inggris kepada sejumlah keluarga kaya di Moskow. Saat itu, ia sudah tinggal di sebuah apartemen di Moskow bersama suaminya, Shamil Galimzyanov, pemandu asal Uzbekistan.

Alexandra bertemu dengan Galimzyanov dalam ekspedisi menyusuri Jalur Sutra melintasi Asia Tengah dan Cina dengan menunggang kuda dan unta menggunakan dana hibah dari Royal Geographical Society. Hasil petualangan itu adalah buku The Last Secrets of the Silk Road. Alexandra lalu menandatangani kontrak dengan BBC untuk membuat acara Horse People with Alexandra Tolstoy, serial televisi tentang budaya masyarakat yang bergantung pada kuda.

Menikah dengan Galimzyanov pada 2003, belakangan Alexandra mengatakan perkawinannya tersebut keputusan yang “terburu-buru dan tidak terpikirkan... kegilaan romantis stepa” dan mereka “tidak setara secara intelektual ataupun emosional”. Putri bungsu pasangan Nikolai Tolstoy dan Georgia Brown itu lalu meninggalkan Galimzyanov dan lari ke pelukan Pugachev.

Dengan kekayaan Pugachev yang mencapai Rp 184 triliun, urusan rumah tangga bukan masalah. Tapi harta bukan satu-satunya hal yang membuat Alexandra tertarik kepada Pugachev. “Dia sangat menggebu-gebu dan amat romantis,” ucap Alexandra.

Ketika Alexandra menjalani syuting dengan BBC di Siberia dekat Kutub Utara, Pugachev memberinya telepon satelit agar mereka dapat mengobrol. Saat ia mengeluh kedinginan dan hanya punya makanan dari daging kuda dan kentang, tiba-tiba dua anak buah Pugachev muncul sambil membawa biskuit, cokelat, kaviar, alpukat, jaket baru, celana panjang, dan lainnya. Di lain waktu, ketika syuting Alexandra di Spanyol selesai, Pugachev mengirim pesawat jet pribadi untuk menjemputnya di bandar udara kecil di sana dan langsung membawanya menemui Pugachev di Paris.

Pugachev malang-melintang di kancah politik Rusia sekitar sepuluh tahun, baik sebagai senator maupun pemimpin perusahaan industri penerbangan OPK Obonprom, salah satu perusahaan terbesar Rusia. Ia dekat dengan Putin hanya hingga 2006 atau 2007. Ketika itu, mereka mulai jarang bertemu. “Kami tak pernah memiliki pandangan ideologis yang sama,” ujarnya. “Putin berubah secara radikal. Dia punya orang-orang sendiri. Saya tidak melihat ada lagi ruang bagi saya, baik dalam politik maupun bisnis, maka saya mundur.”

Pugachev meninggalkan Moskow pada 2011 dan sejak itu terus diburu agen-agen Rusia. Ia pernah masuk daftar orang yang dicari Interpol, tapi kemudian status buronnya dicabut setelah Interpol menemukan motif politik di balik permintaan red notice Rusia. Ia memutuskan tinggal di London bersama Alexandra dan anak-anaknya.

Sergei Pugachev (kanan) dan Vladimir Putin di Mosko, Rusia, 2000./REUTERS/File

Pugachev mengklaim Kremlin berusaha menghancurkan imperium bisnisnya. Kremlin balik menuduh Pugachev sebagai penipu yang menggelapkan dana ratusan juta dolar dari pinjaman yang diberikan bank sentral Rusia pada 2008 di puncak krisis keuangan Mezhprombank, bank yang didirikan Pugachev. Pemerintah Rusia membekukan aset-asetnya. Badan Penjamin Deposit Rusia (DIA) menuntutnya di pengadilan London dan menang. Pengadilan memaksa Pugachev menyerahkan paspornya dan membatasi pengeluarannya maksimal sekitar Rp 193 juta sepekan.

Pengusaha 52 tahun itu mengaku berkali-kali menerima ancaman maut sejak 2011. Menurut dia, Wakil Kepala DIA Valery Miroshnikov pernah menyatakan bahwa masalah akan selesai jika ia membayar uang setara dengan Rp 4,6 triliun. Jika tidak, dia dan orang-orang yang dicintainya akan menderita “secara fisik”. Di pengadilan, klaim itu dibantah para pengacara DIA.

Bisa jadi ancaman itu benar. Petugas keamanan pernah menemukan alat-alat mencurigakan yang ditanam di mobil-mobil keluarga Pugachev. Unit antiteror Scotland Yard—sebutan untuk kepolisian metro London—kemudian membawa alat-alat itu. “Kesimpulan saya, itu sejenis peledak,” kata Pugachev. Scotland Yard menolak memberikan keterangan. Adapun pengacara DIA menuding hal itu cuma khayalan Pugachev.

Belakangan ini, hubungan Rusia dan Inggris memang memburuk dalam perkara pelarian lawan-lawan politik Putin. Pada 2006, Alexander Litvinenko, bekas agen rahasia Rusia, dibunuh di Bloomsbury. Pada 2012, Alexander Perepilichny, orang kaya Rusia yang kabur ke Inggris, jatuh dan meninggal saat berlari-lari kecil di dekat rumahnya di Surrey. Pada 2013, Boris Berezovsky, musuh Putin, ditemukan tewas di rumahnya di Ascot.

Pada masa terpuruk itu, hubungan Pugachev dengan Alexandra retak. Alexandra memutuskan tinggal bersama anak-anaknya di London, sementara Pugachev menyendiri di Nice, kota pantai di Prancis. Alexandra hidup dari warisan kakek tirinya, Patrick O’Brian, pengarang Master and Commander—novel yang ceritanya diangkat ke layar lebar—selain dari usahanya menjual busana. “Sergei memang menyokong kami. Tapi, tanpa uang dari Kakek, hidup akan sangat sulit,” katanya.

Iwan Kurniawan (BBC, The Guardian)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus