Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Akhirnya Anda Harus Berdialog

12 Oktober 2015 | 00.00 WIB

Akhirnya Anda Harus Berdialog
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Lebih dari 40 tahun, Profesor Chaiwat Satha-Anand mendalami konflik etnis-agama antara minoritas Buddha dan muslim di Thailand Selatan. Tak aneh jika pendiri sekaligus direktur lembaga penelitian Peace Information Center (PIC) di Universitas Thammasat ini pernah menjadi penasihat pemerintah Thailand dalam Komisi Rekonsiliasi Nasional.

"Saya tidak yakin konflik bisa diselesaikan. Konflik itu normal. Kekerasanlah yang tidak normal," ujar lelaki 60 tahun kelahiran Bangkok ini ketika wawancara dengan Mahardika Satria Hadi dan Atmi Pertiwi dari Tempo di Hotel Gran Melia, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu. Kini, lewat PIC, penyandang PhD dari University of Hawaii ini menyediakan informasi dan pengetahuan tentang isu-isu nirkekerasan dan perdamaian kepada masyarakat.

Apa akar konflik di Thailand Selatan?

Bukan hanya murni karena agama, tapi juga kondisi perekonomian yang lebih miskin. Di semua wilayah, konflik seperti itu. Di Timur Tengah, 60 persen penduduk di sana berusia di bawah 30 tahun menjadi penganggur. Ketika mereka yang berumur di bawah 30 tahun ini miskin, menganggur, dan tidak puas. Salah satu yang jarang dibicarakan adalah mereka tidak bisa menikah, tidak bisa memulai keluarga. Padahal, bagi masyarakat muslim, berkeluarga sangat penting. Di satu sisi kondisi masyarakat seperti itu, di sisi lain pemerintah korup dan brutal. Semua ini resep yang pas untuk bergabung dalam gerakan pemberontakan.

Apa rekomendasi Anda dalam konflik di selatan Thailand?

Kami mendorong pemerintah tidak hanya berfokus pada pemberontak dan bomnya. Mereka muncul dari sebuah konteks. Perhatian kami adalah kondisi dan sumber apa yang menyebabkan munculnya orang-orang seperti mereka. Persoalan di selatan berakar dari kemiskinan. Sebagian besar penduduk Thailand menganggap kawasan termiskin ada di timur laut Thailand. Kebijakan pemerintah harus menyentuh hal ini.

Apa sikap pemerintah terhadap rekomendasi Anda?

Pemerintah menangkap saran kami bahwa penduduk di selatan miskin. Sayangnya, mereka membangun pabrik pembangkit listrik di sana agar penduduk menjadi buruh dan digaji. Padahal penduduk dekat pesisir adalah nelayan. Sulit mengubah gaya hidup, harus ke pabrik setiap hari. Sebagai nelayan, mereka cukup melaut 17 hari sebulan, sisanya tidak melakukan apa pun.

Apa hubungannya dengan konflik dan kekerasan?

Pemerintah masih mengirim petugas yang ringan mengangkat senjata. Jika Anda mengirimkan petugas bersenjata, Anda hanya akan meningkatkan kekerasan. Kami katakan, yang mereka lakukan salah. Saya menyarankan, tunjuk komandan yang punya rekam jejak penegakan hak asasi manusia yang baik, turun ke desa-desa, berbicara dengan penduduk. Tapi, di mata pemerintah, mengirimkan orang-orang seperti itu tidak membuahkan hasil. Hanya sesekali pemerintah memakai pendekatan ini.

Di Thailand, pejabat yang bagus ditempatkan di pusat, pejabat yang buruk dikirim ke provinsi sebagai hukuman. Itu memperburuk keadaan. Padahal area konflik butuh orang-orang terbaik. Jadi jangan tanya kenapa masalah tidak pernah berakhir.

Pengalaman apa yang paling membekas selama mendalami konflik Thailand Selatan?

Saya mengunjungi satu rumah milik seorang perempuan Buddha berusia 84 tahun. Dia dulu tinggal di pinggiran Pattani. Satu hari sekelompok orang datang dan membakar rumahnya, membunuh suaminya dengan memenggal kepalanya. Perempuan ini mengaku memaafkan semua pelaku pembunuhan suaminya. Tapi, ketika pemerintah memberikan kompensasi membangun kembali rumahnya, dia menolak dan memilih pindah. "Saya tidak mau berada di sana. Saya tidak pernah berbuat jahat kepada mereka, tapi mereka membunuh suami saya dan membuat saya tidak punya rumah," katanya. Artinya, korban kekerasan ini menyembunyikan kemarahan mereka di suatu tempat. Sentimen tersembunyi itu berbahaya. Saya menangkap kemarahan yang tersembunyi dalam diri ibu tersebut.

Kalau sudah begini, kapan konflik Thailand Selatan bisa berakhir?

Orang-orang bertanya kepada saya sampai berapa lama permasalahan di selatan bisa selesai. Tebakan saya sekitar satu generasi. Alasan saya karena cerita anak kecil seperti tadi, melihat langsung kakaknya tewas di depan mata. Ada trauma yang akan mengubah hidup dia selamanya.

Bagaimanapun, melihat keadaan dunia, ada alasan untuk optimistis. Misalnya, Maois yang dulu memerangi pemerintah, sekarang jadi orang biasa. Contoh lain di Uganda. Presiden Uganda sekarang, dulu adalah pemberontak. Dalam semua konflik di seluruh dunia, pada akhirnya Anda harus berbicara, berdialog tentang apa yang Anda inginkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus