DOA dan kerja keras Presiden Carter lima hari di Timur Tengah
memperlihatkan hasilnya awal pekan ini. Yaitu Presiden Sadat
dan Perdana Menteri Begin menandatangani perjanjian damai
Israel-Mesir di Gedung Putih. Di tengah kemarahan sebagian
besar pemimpin negara Arab, Sadat secara resmi mengakui Israel
setelah 30 tahun menolak kehadirannya lewat 4 perang besar mahal
dan menelan banyak jiwa.
Di Washington Sadat dan Begin dieluh-eluhkan sebagai "pahlawan
perdamaian." Tapi yang secara langsung menikmati perjanjian
damai itu Carter sendiri. Ketika bertolak ke Timur Tengah awal
Maret, popularitas Carter sudah melorot hingga cuma 37%.
Kebijaksanaan dalam negerinya -- inflasi dan pengangguran -- dan
kegagalannya di Iran secara bersama membuatnya tidak populer.
Dengan nyali yang besar, Carter menerobos kemacetan pelaksanaan
persetujuan Camp David. Di Mesir ia diterima Sadat yang sangat
butuh damai. Di Israel Carter berhasil meyakinkan Begin akan
kesempatan bagus lewat kesempatan damai yang tersedia.
Para ahli masih belum melaporkan perkembangan terakhir
popularitas Carter selepas kunjungannya ke Timur Tengah. Tapi
bisa dipastikan grafiknya bakal menaik. John White, Ketua Komite
Nasional Partai Demokrat -- dan seorang pendukung Carter
--berkata pekan silam "Saya menasehatkan orang-orang Republik
itu untuk mencari isyu baru dalam menyerang Carter. Isyu lama,
pemimpin lembek, kini tidak laku lagi." Tim Hagan, seorang tokoh
Demokrat dari Ohio bahkan lebih yakin. Spekulasinya: "Carter
akan menyingkirkan semua mereka yang berniat memperebukan kursi
kepresidenan pada pemilu mendatang. "
Ketika suasana pesta masih meliputi Gedung Putih, awan gelap
kemarahan menggantung rendah di Timur Tengah. Pernyataan keras
dan kasar beterbangan ke alamat Sadat dan Carter. Para pemimpin
Arab saling berkunjung dan berdiskusi mengenai langkah mereka
untuk menggagalkan Sadat "menjual Palestina kepada Carter dan
Begin."
Amarah Arab
Liga Arab bersidang di Mogadishu ketika Sadat masih dalam
perjalanan ke Washington. Di sana memang belum diambil keputusan
apa pun, tapi bahwa Liga Arab akan memindahkan pusatnya dari
Kairo nampaknya tidak merupakan spekulasi lagi. Di Bagdad
pertemuan sedang dipersiapkan. Tapi di Suria bahkan sebelum
pesta bermula di Washington, Menlu Andrei Gromyko secara
mendadak sudah mendarat. Selama 3 hari pembesar Moskow ini
secara amat intensif berunding dengan Presiden Assad dan
Pemimpin Palestina Yasser Arafat. "Kami adalah sahabat Suria dan
semua bangsa Arab. Kami di sini membicarakan langkah pencegahan
terhadap pengkhianatan Presiden Sadat kepada bangsa Arab," kata
Gromyko. Di Beirut, sepulangnya dari Damaskus, Yasser Arafat
menjelaskan: "Saya telah menyarankan agar dilakukan boikot
ekonomi terhadap Mesir." Para wartawan mencatat bahwa itulah
untuk pertama kalinya Arafat yang moderat itu berbicara keras
mengenai Mesir.
Arafat bukan satu-satunya orang Palestina yang menyatakan
kemarahan terhadap perjanjian damai Mesir-lsrael. Bersama
dengan tokoh-tokoh Palestina di perantauan, di wilayah
pendudukan Israel sendiri terjadi reaksi yang bahkan berbentuk
huru-hara. Di berbagai kota di tepian Barat terjadi demonstrasi.
Tentara dan kendaraan Israel dilempari batu, 2 orang Palestina
tewas tertembak. "Perjanjian itu tidak akan menghasilkan
apa-apa," kata Elias Freij, walikota Bethlehem. ,"Pemerintahan
sendiri yang mereka setujui di Washington itu tidak serius.
Israel pasti tidak akan memberi kesempatan," kata Dr Haydar
Abdel Shafi, ketua Palang Merah Gaza.
Orang Palestina punya alasan kuat untuk pesimis. Beberapa hari
sebelum berangkat ke Washington, Begin dengan tandas membantah
tafsiran Perdana Menteri Mesir, Dr Mustafa Khalil, terhadap
perjanjian damai itu. Kata Begin "Dr Khalil, Israel tidak akan
kembali ke tapal batas sebelum perang tahun 1967. Kedua, Dr
Khalil -- perhatikan ucapan saya -- Yerusalem yang bersatu
sekarang ini, tidak akan dibagi dua lagi. Ketiga, Dr Khalil, di
Yudea, Samaria dan Gaza tidak akan pernah berdiri sebuah negara
Palestina." Di Kairo, keesokan harinya, dengan dingin Dr Khalil
memberikan komentarnya "Jangan terlalu menaruh di hati ucapan
pembesar Israel itu. Yang penting apa yang tertulis dalam
persetujuan damai."
Naskah yang disepakati memang menyebut akan adanya saat
pemerintahan sendiri bagi orang-orang Palestina, tapi di sana
Israel tidak secara jelas diikat dengan batas waktu. Bahkan
ketentuan mengenai proses ke arah masa persiapan saat berdirinya
pemerintahan itu masih sejak semula merupakan kalimat-kalimat
yang ditafsirkan secara berbeda oleh kedua belah pihak.
Keseretan perundingan damai Mesir-lsrael sejak September hingga
kunjungan Carter awal Maret ini terutama karena Kairo-Yerusalem
belum sepakat mengenai hal yang secara langsung menyangkut
kepentingan mereka. Ini terbukti dari kenyataan bahwa dalam hal
yang menyangkut orang Palestina dan hari depan mereka, tidak ada
perubahan dari naskah asli persetujuan Camp David, yang dari
semula memang amat tidak menguntungkan orang-orang Palestina
itu.
Tafsiran Begin
Dalam keadaan demikian, kemarahan orang Palestina dan para
pemimpin Arab mudah dimengerti. Tapi yang nampaknya juga harus
dimengerti adalah posisi Sadat. Perekonomian Mesir yang amat
parah -- inflasi 20 persen dan defisit perdagangan lebih dari
2,5 milyar dolar - memaksa presiden Mesir itu untuk menjauhi
perang dan mengejar damai. Mesir selama ini memang menerima
bantuan sebesar 3 milyar dolar dari Arab Saudi dan negara Teluk
Parsi lainnya. Tapi bantuan yang cuma cukup untuk konsumsi bagi
penduduk Mesir yang berkembang cepat, tidak akan pernah bisa
diharapkan menolong ekonomi yang terus memburuk. "Untuk
pembangunan ekonomi, Mesir perlu memperkuat nilai uangnya. Untuk
itu perlu investasi modal asing. Dan modal asing cuma akan masuk
jika ada prospek damai dan stabilitas politik." Demikian analisa
Abdel Moneim Qaissuni, penasehat ekonomi Sadat.
Dengan bantuan ekonomi -- juga militer -- dari Amerika Serikat
(sekarang 8 milyar dollar setahun, ditambah nantinya sesudah
damai 2 milyar bantuan militer dan setengah milyar lagi untuk
ekonomi selama 3 tahun) Sadat melihat perjanjian damai itu
sebagai jalan keluar. Di Washington, beberapa jam sebelum
menandatangani perjanjian damai itu, ia menyempatkan diri untuk
bertemu dengan sejumlah pengusaha besar sebagai jalan keluar. Di
Washington, beberapa jam sebelum menandatangani perjanjian damai
itu, ia menyempatkan diri untuk bertemu dengan sejumlah
pengusaha besar.
Masihkah dipertanyakan apakah nantinya Mesir -- dengan kedutaan
Israel di Kairo -- tenang membangun ekonominya. Negara-negara
Arab radikal dan orang-orang Palestina berjanji menggagalkan
perdamaian itu, bahkan berniat membunuh Sadat, atau paling
sedikit mengusahakan penggulingannya. Yang pasti mudah mereka
lakukan adalah mengisolir Mesir secara ekonomis dan politik.
Tapi usaha seperti ini rasanya sudah diperhitungkan Mesir.
Yang nampaknya bakal berat bagi Sadat ialah jika ternyata
kemudian ia tidak berhasil dengan cepat mengatasi masalah dalam
negeri Mesir -- politik maupun ekonomi -- sementara Israel terus
pula berkeras kepala memaksakan tafsirannya terhadap persetujuan
damai seperti yang selama ini mereka lakukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini