NAMA Jenderal Antonio Noriega memang baru melejit setelah berseteru dengan Amerika. Tak banyak orang tahu masa kecil si pembikin marah itu. Ada yang menuding Noriega anak haram. Sebuah tudingan yang mungkin benar, mungkin pula mengada-ada. Dikabarkan pula ia lahir pada 1934. Tapi Noriega sendiri, tahun lalu, mengaku berusia 48 tahun. Masa kecil Noriega yang banyak terkisahkan adalah setelah ia berusia 5 tahun. Pada usia itu, Tony, panggilan kecilnya, dititipkan ibunya di panti asuhan. Di situ ia melewatkan masa kanak-kanaknya dan bercita-cita. Seperti yang tertera pada buku tahunan sekolahnya, Tony ingin menjadi psikiater dan presiden. Nampaknya Tony bukan orang yang cocok untuk menjadi psikiater. Bukan pula untuk menjadi presiden. Seperti yang sekarang dijalaninya, ia lebih pas menjadi penguasa penuh -- apa pun sebutannya -- melebihi presiden. Ia memanfaatkan benar jalan menuju kekuasaan yang, sejak ia muda, terbuka lebar, yang juga memungkinkannya menuju penjara di AS setelah kini ia tertangkap. Tony tak bodoh. Ia menerima beasiswa untuk melanjutkan studi ke akademi militer di Peru. Di situlah bakat menghalalkan segala cara dipupuknya. Tony, kabarnya, menjual informasi tentang rekan-rekannya sesama kadet pada CIA. Sejak itu, ia praktis menjadi kaki tangan Amerika. Sampai kemudian hubungan mereka pecah. Setamat dari pendidikan di Peru, ia masuk dalam jajaran Pengawal Nasional. Kariernya menanjak setelah Omar Torrijos, pelindungnya, membikin kudeta pada 1968. Apalagi setelah ia menyelamatkan Torrijos dari rencana kudeta sejumlah perwira muda. Kekuasaan Panama mulai dalam genggamannya. Noriega, yang waktu itu berpangkat letnan kolonel, ditunjuk mengomandani satuan elite G-2. Pada kedudukan itu, ia mengendalikan intelijen militer, menyidik perkara kriminal, bea cukai, dan imigrasi. Sebuah pekerjaan yang ia istilahkan sebagai "pekerjaan kotor dengan tangan tetap bersih". Pada 1981 Presiden Torrijos tewas dalam kecelakaan pesawat. Noriega naik menjadi panglima angkatan bersenjata. Ia menggantikan Ruben Dario Paredes yang menjadi presiden baru. Paredes ternyata kalah wibawa ketimbang panglimanya. Ia terpaksa mundur untuk menyerahkan kursinya pada Arditto Barletta -- terpilih lewat pemilihan umum. Noriega tak senang pada tokoh pilihan publik ini. Ia sudah gatal untuk menjadi "yang paling berkuasa". Setahun menjadi presiden, Barletta pun disingkirkannya. Yakni persis setelah Barletta mengumumkan hendak mengadakan penyidikan terbuka atas tewasnya pemimpin oposisi Hugo Spadafora. Barletta memang bisa tersingkir. Noriega memang bisa berkuasa -- walaupun ia menyerahkan status kepresidenan pada Delvalle. Namun, kematian Spadafora tak dapat diabaikannya. Kematian inilah yang secara tak langsung mengungkit sisi gelap Noriega. Kalangan pers dan pihak oposisi percaya: Noriega berada di balik kematian itu. Tapi tak ada bukti. Beberapa bulan sebelum kematiannya, Spadafora memang seperti menggali lubang kuburnya sendiri. Secara terbuka, Spadafora menuding Noriega terlibat perdagangan obat bius. Banyak pihak sebenarnya sudah menasihati agar ia hati-hati, bila tak ingin kepalanya terpenggal. Tapi dokter yang juga pemimpin oposisi ini nekat. Benar, suatu hari ia tewas. Kepalanya dipenggal, dan dibuang di perbatasan Costa Rica. Sejak itu, segala yang dianggap kebrengsekan Noriega didaftar. Guillermo Sanchez Borbon -- wartawan Panama yang kini berada di Miami -- menyebut Noriega pernah memperkosa pelacur. Yakni sewaktu Noriega bertugas di Colon. Sewaktu di Chiriqui, ia juga dikabarkan memperkosa gadis 13 tahun, serta memukuli kakak gadis cilik itu. Agaknya, kekerasan akrab dengan jenderal ini. Tatapannya yang beku, wajahnya yang persegi, sepertinya memang simbol dari kekerasan. Wajahnya yang berparut-parut sampai dijuluki cara pina -- Si Muka Nanas. Noriega juga pemegang sabuk hitam yudo. Ke mana pun pergi, ia juga tak pernah meninggalkan pistolnya. Banyak kisah yang menjadikan pendengarnya bergidik menghadapi Noriega. Selagi menjadi komandan garnisun di Chiriqui, ia selalu minta bukti potongan telinga bila anak buahnya mengaku menewaskan gerilyawan pemberontak. Ia juga memenjarakan dua tahun seseorang yang di muka umum mengucapkan "cara pina". Namun, bukan perlakuan itu yang Amerika membuat marah. Melainkan perkara narkotik. Ketika Amerika Serikat mengangkat senjata melawan penyelundupan kokain, nama Noriega pun tersangkut. Juni 1987, seorang pejabat militer Panama, Kolonel Roberto Diaz Herera, melempar kembali tudinan itu. Jose Blandon, bekas penasihat terdekat Noriega, memperkuatnya. Dalam dakwaan mereka, Noriega terlibat dalam sindikat narkotik Colombia. Banyak petunjuk dikemukakan. Misalnya pengakuan Stephen Kalish, salah seorang bos jaringan narkotik yang tertangkap. Kalish mengaku telah menyuap Noriega jutaan dolar. Kabarnya, Noriega pula yang menyediakan pangkalan udara buat sindikat narkotik Colombia, Medellin Cartel. Dari pangkalan-pangkalan itu, Escobar -- gembong narkotik Colombia -- mengirimkan kokain, mariyuana, ke AS. Hampir semua kalangan percaya terhadap dakwaan ini. Noriega, beserta 14 tokoh lain, bahkan diadili in absentia di Miami dan Tampa, AS. Bahkan para juri pengadilan pun menilai Noriega salah. Yang kemudian menjadi pembicaran Departemen Kehakiman AS adalah bagaimana mengekstradisikan jenderal ini. Semua tudingan tadi bukan tak masuk akal. Sangat mungkin Noriega menjalin hubungan dengan pihak tertentu di Colombia. Secara geografis, Panama dan Colombia berbatasan. Dua negara itu pun punya keterkaitan sejarah. Semula, Panama merupakan provinsi pada negara Colombia. Pemberontakan pada 1903 memerdekakan Panama dari tetangganya. Entah dari narkotik, entah bukan, Noriega memang punya uang. Para pengamat menaksir, kekayaannya 200 juta hingga 1 milyar dolar AS. Ia, kabarnya, memiliki berderet mobil BMW, apartemen di Paris, peristirahatan di Prancis Selatan, puluhan rumah mewah di Panama sendiri, juga kekayaan di Spanyol, Jepang, dan Israel. Padahal, gaji resminya cuma 40 ribu dolar (sekitar Rp 70 juta) setahun. Uang memang bisa menjadikan para pendukung setia. Tapi, lebih dari itu, Noriega punya cara jitu merangkul rakyatnya, sekaligus menepis dakwaan Amerika. Ketika Amerika -- dengan dalih mengganyang sindikat narkotik -- mulai memusuhinya, Noriega tangkas berkata, "Terima kasih, Amerika, yang telah menyatukan seluruh pekerja dan orang miskin Panama." Amerika boleh menggunakan gagasan demokrasi untuk menanamkan kebencian terhadap Noriega pada rakyat Panama. Noriega justru mengangkat permusuhan Amerika itu buat membangkitkan nasionalisme hampir 2,4 juta rakyatnya. Soal narkotik? Tentu pihak Noriega membantah. Juru bicara Noriega, Edgardo Lopez, punya dalih. Amerika, kata Lopez, sengaja memfitnah Noriega lantaran Panama tak berniat memperpanjang kontrak pengelolaan Terusan Panama. Kanal itu sendiri sangat berarti bagi perekonomian masyarakat. Sepuluhan tahun lalu, Pemerintah Panama mendapat fee sekitar 75 juta dolar setahun. Belasan ribu warga Panama bekerja di sana. Pilar lain perekonomian Panama adalah perdagangan. Panama City dan Colon -- keduanya berada di tepi terusan -- adalah pusat perbankan Amerika Latin. Colon malah merupakan zone bebas bea. Banyak pedagang menyinggahkan dagangannya ke Colon, untuk kemudian mengekspornya ke negeri lain. Ratusan perusahaan ekspor-impor berpangkalan di sana. Panama, seperti Liberia, pun membebaskan para pengusaha perkapalan dari berbagai ketentuan, bila kapal mereka menggunakan bendera Panama. Maka, hampir semua negara -- termasuk Indonesia -- mempunyai kapal berbendera Panama. Amerika tahu persis kekuatan Panama ini. Bush bahkan menjadikan soal "bendera" buat mengendurkan Noriega. Caranya: ia melarang semua kapal berbendera Panama masuk AS, dari negara mana pun. Yang pasti, pertikaian kali ini menjadikan Panama semakin dikenal dunia. Sebelumnya, hanya dalam tiga hal nama Panama disebut-sebut: terusan, bendera kapal, dan Roberto Duran -- si juara tinju dunia kelas welter awal 1980-an. Kini tambah satu: Noriega Si Muka Nanas -- ia pernah gagal menghaluskan mukanya di Swiss yang sebentar lagi tampaknya akan dihadapkan ke pengadilan. Zaim Uchrowi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini