INVASI Bush ke Panama terasa agak ironis. Sementara "musuh"-nya, Mikhail Gorbachev, kini menegakkan demokrasi dengan cara menarik pasukan dari, umpamanya, Afghanistan, AS punya misi yang sama tapi justru dengan melakukan intervensi. Itu memang bukan gaya baru AS -- tapi lalu menimbulkan pertanyaan, kok, Paman Sam ini tak juga berubah. Itulah warisan tradisi dari sebuah bangsa yang punya semangat ekspansi dan telah berusia lebih dari 200 tahun. Bahkan ketika negara AS belum lagi diproklamasikan, tentaranya sudah mengobrak-abrik Pulau New Providence, Bahama, 3 Maret 1776 -- proklamasi AS pada 4 Juli 1776. Sejak itulah, berulang kali tercatat tentara AS gentayangan menyerbu batas daulat negara lain. Lagi-lagi dengan dalih usang, Presiden AS George Bush memerintahkan 24.000 pasukannya menyerbu Panama itu dengan alasan, "Demi menegakkan demokrasi di Panama, sekaligus untuk melindungi warga AS di sana," katanya enteng. Tak cuma itu, petinggi Gedung Putih itu juga masih punya satu alasan lagi dalam penyerbuan itu, yaitu ingin mencomot penguasa Panama, Jenderal Noriega, yang dianggap terlibat dalam perdagangan narkotik di AS. Apa pun dalih yang dikemukakan Bush tampaknya itulah cerminan dari sikap AS yang peka, bahkan terlalu sensitif, dalam mengantisipasi perkembangan di kawasan halaman belakangnya itu. Memang, bagian selatan negeri itu, seperti kawasan Amerika Tengah, Karibia, dan Amerika Selatan, merupakan daerah yang penuh timbunan berbagai kepentingan politik dan ekonomi AS. Tak cuma karena letak geografis yang berdekatan, tapi juga secara historis kelahiran sejumlah negara di halaman belakang AS itu malah memang didalangi oleh Washington. Panama, misalnya, yang sebenarnya pernah menjadi bagian dari negara Colombia -- terletak di ujung utara anak benua Amerika Selatan. Berkat dukungan tentara AS, pada 1903 Panama sukses memisahkan diri dari Pemerintah Colombia, yang berpusat di Bogota. AS melihat negeri yang berbentuk pipih itu berpotensi sebagai persimpangan dari Lautan Pasifik ke Laut Karibia, dan terus ke Lautan Atlantik. Namun, kepentingan AS tak hanya sebatas di Panama, juga merebak sampai ke Meksiko, Honduras, El Salvador, Costa Rica, Colombia, Venezuela, Peru, Brasil, Cili, Uruguay, dan Argentina, dalam bentuk investasi lainnya. Bahkan sejumlah perusahaan kakap seperti General Motors, Goodyear, Kodak, Exxon, dan 30 perusahaan lainnya asal AS yang beroperasi di sana, masuk dalam daftar 250 perusahaan terbesar di Amerika Latin. Bisa dimengerti kenapa banyak investasi di negeri-negeri tadi. Soalnya apalagi kalau bukan karena tenaga kerja yang murah, dan juga sekaligus dekat dengan pasar yang bisa menyerap produksi industri. Kenyataan adanya keterbelakangan ekonomi di sejumlah negara di anak benua Amerika itu juga memberi peluang buat AS menancapkan kuku kekuasaannya. Dengan iming-iming gemerincing dolar, AS menawarkan uluran tangannya. Tentu saja ada udang di balik batu, di antaranya terselip pesan tak boleh ada komunisme di negeri itu. Memang, setelah berakhirnya Perang Dunia II, yang kemudian diikuti dengan era Perang Dingin AS versus Uni Soviet, AS tak ingin kecolongan ada negara "Kuba kedua" di pekarangan belakangnya. Akibat konstelasi politik global inilah sebagian besar pemimpin di negara kawasan Amerika Tengah dan Latin menghadapi dua pilihan: menjadi boneka Washington atau menjadi kamerad Kremlin. Bagaimana upaya AS yang menggebu-gebu untuk membendung komunisme, antara lain bisa dilihat misalnya tatkala dinas rahasia CIA mendalangi kudeta di Cili pada 1973. Ketika itu pemerintahan sosialis yang dipimpin Allende dianggap bukan sekutu AS. Sebagai gantinya, tampil Jenderal Augusto Pinochet. Washington bisa toleran melihat ulah Pinochet yang diktator dan korup. Yang penting, buat Paman Sam, ia antikomunis. Sama halnya ketika AS mendukung Jenderal Noriega menjadi penguasa Panama pada 1983. Padahal, Noriega, yang sebelumnya menjabat panglima militer Panama, sudah kesohor di mata dunia internasional bahwa ia sering melakukan pelanggaran hak-hak asasi manusia. Toh itu tak membuat Gedung Putih menarik dukungannya terhadap Noriega, karena bisa diajak kongkalikong untuk meredam tersebarnya paham komunisme di kawasan itu, misalnya dengan membantu gerilyawan Contra di Nikaragua. Pergolakan di Nikaragua pada akhir 1970-an berakhir dengan jatuhnya diktator Anastasio Somoza -- yang mendapat beking AS. Pemimpin gerilyawan kiri Sandinista, Daniel Ortega, kemudian muncul sebagai presiden Nikaragua, dan ia mau tak mau harus melengketkan poros Managua-Moskow untuk mengimbangi tekanan Washington. Tentu saja kenyataan ini membuat AS seperti kebakaran jenggot. Apalagi setelah Ronald Reagan tampil sebagai presiden AS yang bertekad untuk mengembalikan pamor AS di Nikaragua. Maka, Honduras -- sekutu AS yang letaknya bertetangga dengan Nikaragua -- terpaksa membiarkan negerinya menjadi benteng AS yang penasaran menghadapi rezim Sandinista. Dari negeri ini AS menyuplai persenjataan untuk gerilyawan Contra di Nikaragua. Bahkan Honduras menampung tentara AS yang setiap saat bisa disusupkan ke Nikaragua. Atas jasa itu, Honduras menerima imbalan berupa bantuan senilai US$ 134 juta -- US$ 37 juta dalam bentuk bantuan militer, sisanya bantuan ekonomi. Bantuan itu buat Honduras memang bagaikan setetes air di padang pasir. Negara yang luasnya tak lebih besar dari Pulau Jawa itu, dengan penduduk 4,2 juta, adalah negeri yang termiskin di Amerika Tengah. Pengaruh AS memang masih kental di Honduras. Boleh jadi, ini karena banyak pengusaha AS yang "buka praktek" di kawasan itu. Sejak peralihan abad ini, sudah banyak pedagang asal Boston, AS, datang menabur dolar dan mendirikan United Fruit Company, perusahan pengalengan buah. Persahabatan AS-Honduras boleh dibilang persahabatan pisang, karena konon komoditi buah inilah yang membuat hubungan kedua negara itu terjalin erat. Bahkan, berkat orang AS juga Honduras memiliki jaringan kereta api. Dalam suasana "AS yang penasaran kehilangan Nikaragua" ini, maka negara-negara Amerika Tengah lainnya juga ikut kebagian mencicipi dolar. Guatemala disodori bantuan ekonomi US$ 11,7 juta. El Salvador mendapat US$ 81 juta bantuan militer dan US$ 247,5 juta bantuan ekonomi. Costa Rica kecipratan US$ 2,6 juta bantuan militer dan US$ 184 juta bantuan ekonomi. Sampai 1990 mendatang negara-negara di kawasan itu ditaksir masih membutuhkan bantuan US$ 24 milyar. Maklum, itu semua dalam kerangka politik AS untuk menggencet Nikaragua. Yang ditakutkan memang kalau paham kiri seperti Kuba dan Nikaragua merembet juga ke negara El Salvador, Honduras, dan Guatemala. "Jika Amerika Tengah jatuh, Meksiko juga jatuh dan kemudian kegawatan akan bermain di perbatasan AS," kata bekas Presiden Honduras, Roberto Suazo Cordova, yang mencoba menjelaskan teori domino yang dikenal sebagai taktik hegemoni komunisme. Karena itu, Gedung Putih juga tak risi ketika Mahkamah Internasional, badan yudikatif PBB, akhir Juni 1986 silam memvonis AS telah melanggar hukum internasional karena mendukung kaum pemberontak Contra untuk menggulingkan pemerintahan sayap kiri yang sah di Nikaragua. AS terbukti melakukan delapan kali serangan udara dan sabotase atas sejumlah pelabuhan dan instalasi selama 1983-1984. Dan juga sempat memasang ranjau di perairan Nikaragua yang merusakkan 10 kapal milik berbagai negara. Untuk semua itu, AS diberi ganjaran oleh mahkamah harus membayar ganti rugi. Pemerintah Managua langsung menuntut -- sementara -- US$ 370 juta. "Keputusan itu membuktikan bahwa Pemerintah AS adalah pemerintah kriminal. Ini kemenangan besar bagi rakyat Nikaragua," kata Presiden Daniel Ortega. Tapi ada juga cerita yang berbau kemenangan buat AS. Itu terjadi tatkala marinir AS melakukan penyerbuan ke Grenada, 25 Oktober 1983 -- sebuah penyerangan yang lebih dramatis, meski jumlah pasukan lebih sedikit, ketimbang penyerbuan ke Panama, karena jaraknya lebih jauh. Bermula dari sekitar 1.900 tentara mendarat di St. George dan sukses menggulingkan rezim kiri di negeri pulau yang luasnya hanya 344 km persegi, sekitar separuh luas DKI Jakarta. Akhirnya, tak kurang dari 6.000 tentara AS yang terlibat dalam operasi militer ini. Penyerangan yang didukung oleh kapal induk Independence dan 20 kapal perang lainnya ini, termasuk sebuah kapal perusak berpeluru kendali, merupakan operasi militer AS yang terbesar setelah Perang Vietnam usai, 1975. Tentara AS sempat kewalahan ketika menghadapi tentara Grenada yang berkekuatan 2.000 pasukan yang dibantu sekitar 1.000 personel asal Kuba, 300 di antaranya bersenjata lengkap. Alasan menyerbu Grenada, karena sejak semula AS sudah waswas melihat PM Maurice Bishop, yang berkuasa sejak 1979, tampak condong ke Kuba dan Uni Soviet. Mengingat letak Grenada yang berjarak 2.400 km dari Florida, 2.200 km dari Terusan Panama, dan 160 km dari Venezuela, terletak pada jalur strategis yang menghubungkan ladang minyak Timur Tengah dengan pelabuhan AS, Washington semakin ketar-ketir ketika di pulau itu Kuba membangun landasan kapal terbang sepanjang 3 km yang dianggap lebih dari yang dibutuhkan oleh Grenada, yang biasanya cuma disinggahi oleh pesawat kecil. Perkembangan Grenada semakin mengkhawatirkan negara tetangganya, setelah Jenderal Hudson Austin, yang lengket dengan Moskow, melakukan kudeta terhadap Bishop. Kekhawatiran itu merembet ke enam negara Karibia lainnya (Dominika, Jamaika, Barbados, St. Lucia, St. Vincent, dan Antigua). Tentara dari enam negara Karibia itu lalu berpaling ke AS dan ikut ambil bagian dalam penyerangan ke Grenada sebagai pasukan cadangan buat marinir AS yang berada di garis depan. Penyerangan ke Grenada itu merupakan "tanda mata" buat presiden AS yang ketika itu dijabat oleh Ronald Reagan dalam menyelesaikan urusan di pekarangan belakang dengan tindakan militer. Sebelumnya, John F. Kennedy juga punya "kenangan" ketika mencoba menyerbu Kuba, yang kemudian dikenal dengan insiden "Teluk Babi". Sedangkan Lyndon B. Johnson dan Richard Nixon dikenal sebagai arsitek Perang Vietnam. Maka, sebuah inovasi -- bukan invasi -- ketika Presiden Costa Rica, Oscar Arias Sanchez, mencetuskan gagasan pembentukan Pakta Contadora, 1987. Inilah pakta yang berisi perjanjian perdamaian regional di kawasan Amerika Tengah tanpa sanksi antara Guatemala, Honduras, El Salvador, Nikaragua, dan Costa Rica. Pakta itu mengimbau diberlakukannya gencatan senjata untuk menghentikan perang saudara yang berlarut-larut, amnesti bagi tahanan politik, keleluasaan dalam kehidupan politik, dan kebebasan pers kembali dihidupkan. Dan, ini yang penting, dihentikannya bantuan serta campur tangan negara asing kepada pemberontak di Amerika Tengah. "Proses damai di kawasan Amerika Tengah hanya bisa dicapai lewat jalan dialog demokrasi, dan tanpa campur tangan negara asing," kata Arias Sanchez. Ide Arias Sanchez itu dinilai sebagai "sumbangan terbesar untuk mengembalikan stabilitas dan kedamaian di Amerika Tengah, yang sudah puluhan tahun menderita kelaparan dan perang saudara," kata Egil Aarvik, ketua komite pemilihan Hadiah Nobel 1987. Maka, tahun itu juga Arias mendapat Hadiah Nobel Perdamaian. Berkat Pakta itulah, maka di Guatemala misalnya, para pemberontak sayap kiri bersedia untuk pertama kalinya berunding dengan pemerintah, setelah perang saudara selama 25 tahun. Pemerintah Honduras juga mencanangkan program rekonsiliasi nasional dengan pihak oposisi. Begitu juga Daniel Ortega membolehkan penerbitan kembali sejumlah media oposisi. Harian La Prensa kembali boleh terbit dan radio "Catolica" diizinkan mengudara lagi. Bahkan Pemerintah Nikaragua membolehkan politikus Jeane Kirkpatrick -- bekas dubes AS di PBB -- bertandang ke Managua untuk memberikan ceramah kepada Contra. Hanya AS yang menyambut dingin sukses Arias itu. Soalnya, gara-gara Arias mendapat Hadiah Nobel Perdamaian, Washington terpaksa menunda bantuan dana perang kepada Contra. Tampaknya, memang AS masih percaya bahwa satu-satunya penyelesaian masalah yang ada di halaman belakangnya adalah lewat perang. Tapi Bush memang bukan Arias. Ahmed Kurnia Soeriawidjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini