DUA peluru meletup dari pistol seorang laki-laki tak dikenal di jantung Kota Stockholm, Jumat malam pekan lalu. Dan, tiba-tiba dunia kehilangan seorang tokoh perdamaian. Dialah Olof Palme, 59, Perdana Menteri Swedia, pemimpin yang tak begitu suka dikawal petugas keamanan. Palme ditembak ketika berjalan bersama istrinya ke stasiun kereta api bawah tanah, seusai menonton film. Sebuah peluru yang dilepaskan penembak gelap itu menghancurkan jantung orang kuat Swedia tersebut dan sebuah lagi menggores lutut sang istri, yang berjalan beberapa langkah di depan suaminya. Bagaimana mungkin hal ini terjadi di negeri yang terkenal sangat aman, dan pada seorang tokoh yang benci kekerasan? Pertanyaan itu tak mudah dijawab. Hingga Selasa pagi pekan ini, polisi Swedia belum mampu mengungkapkan siapa pelakunya. Keterangan yang terkumpul cuma sedikit: pembunuh menggunakan pistol magnum kaliber 357, memakai jaket dan celana biru, serta berambut gelap. Sesudah menembak, ia lalu menghilang di sebuah lorong bangunan. Maka, motif pembunuhan itu masih tetap merupakan teka-teki. Tapi, banyak yang menduga pembunuhan Palme berlatar belakang politik. Palme memang tak pernah ragu mengkritik setiap soal yang dianggapnya kurang berkenan di hatinya, sekalipun akan menghadapkannya dengan pemimpin negara raksasa. Palme pernah turun ke jalan memprotes keterlibatan AS di Vietnam pada 1968, yang membuat AS membekukan hubungan diplomatiknya dengan Swedia selama setahun. Maka, tak heran kalau ada yang menyebutnya sebagai "hati nurani dunia". Palme memang tokoh kontroversial yang mencoba berlaku adil. Protesnya terhadap AS pada 1968 bukan berarti ia anti-Amerika. Terbukti, pada tahun yang sama, ia melakukan tindakan serupa memprotes pendudukan Cekoslovakia oleh Uni Soviet. Demikian pula tindakannya menerima dengan tangan terbuka para pemuda AS yang menolak dikirim ke Vietnan, berlaku pula bagi para pelarian Cekoslovakia. Palme dilantik sebagai perdana menteri pada 1969. Sikap yang kadang kala melawan arus itu tak selalu menguntungkannya. Sikapnya yang menyetujui pembangunan pusat pembangkit listrik tenaga nuklir menyebabkan kekalahannya pada pemilihan umum 1976. Tapi Palme malah memanfaatkan "waktu luang"-nya ini untuk kegiatan internasional. Ia berusaha menengahi masalah penyanderaan warga AS di Iran. Palme juga aktif sebagai utusan PBB untuk menengahi pertikaian antara Iran dan Irak. Namanya yang melejit di arena internasional, diduga, berpengaruh dalam kemenangannya pada pemilihan umum 1982. Dan ia tetap bertahan, tiga tahun kemudian. Kemenangan Palme sebenarnya melambangkan populernya sistem sosialisme Swedia. Sebab, ia dikenal sebagai penganjur sistem pajak progresif sebagai sumber dana pemerintah menyediakan kesejahteraan umum. "Negara Swedia harus menjadi rumah bagi rakyatnya," katanya ketika berkampanye. Itu berarti kaum penganggur diperhatikan. Juga berbagai sarana umum, seperti pendidikan dan kesehatan, dijamin pemerintah. Sesuatu yang, menurut lawannya, "menyebabkan rakyat bergantung pada pemerintah." Sikap Palme ini kelihatannya akan dilanjutkan oleh Ingvar Carlson, yang diangkat sebagai PM baru. Pria yang empat tahun lebih muda dari Palme ini memang disiapkannya sebagai penggantinya. Tapi tugas Carlson kini agaknya cukup berat: Ia harus menguak misteri pembunuhan Palme, dan menjaga agar peristiwa serupa tak terjadi lagi. Ini mungkin lebih sulit, karena para pejabat Swedia terbiasa akrab dengar rakyatnya. Itu sebabnya Palme dan istrinya menggunakan kereta bawah tanah sebagai kendaraan untuk menonton film. Tapi, ini mungkin tak berlaku lagi sekarang. Peluru yang dipakai menembak Palme dikenal sebagai peluru yang biasa dipakai kaum profesional. Dan, Carlson sadar betul akan itu. Ia diapit satu regu petugas keamanan pada jumpa pers perdananya, pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini