Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Prancis, tak ada Julia Roberts yang memerankan Vivian, si pelacur jalanan, dan Richard Gere yang memainkan Edward, si pengusaha tajir. Keduanya tak dipertemukan di suatu malam di daerah lampu merah metropolitan yang sibuk, untuk kemudian saling jatuh cinta. Dongeng Cinderella dalam film Pretty Woman yang kebetulan dirilis pada pengujung Maret 25 tahun silam itu tak akan terjadi di Prancis bukan karena hal tersebut tidak realistis. Tapi karena parlemen Prancis baru saja meloloskan sebuah undang-undang yang menyimpan semangat menghabisi pelacuran sampai ke akarnya.
Pertemuan di atas jadi mustahil karena negara telah ikut campur. Majelis Rendah meloloskan undang-undang itu dengan 64 suara setuju, 11 abstain, dan 12 menolak, Rabu dua pekan lalu. Jika mengetahui perkembangan ini, si ganteng Edward tentu tidak akan berani mengendarai mobil sport-nya di daerah pelacuran. Hukum Prancis memandang pelanggan, dan bukan pelacur, sebagai biang kerok profesi tertua di dunia ini. Jika ketahuan, pengguna jasa pelacuran akan dikenai denda 3.750 euro atau setara dengan Rp 56,4 juta.
Sementara itu, Vivian barangkali sudah angkat kaki dari dunia tersebut karena negara membantunya melanjutkan kuliah. Undang-undang yang baru menempatkan pelacur sebagai korban. Dan pemerintah Prancis tengah menggodok program khusus untuk mengeluarkan para pelacur dari profesi yang melibatkan para germo serta kerap kali mafia itu, seraya menyediakan dana 4,8 juta euro (kira-kira Rp 71,3 miliar).
"Ini suatu revolusi di Prancis, karena mereka telah dikriminalisasi sepanjang 76 tahun," kata Gregoire Thery, sekretaris jenderal organisasi nirlaba Mouvement du Nid.
Menurut Kantor Pusat Penanggulangan Perdagangan Manusia, di negeri itu terdapat 30-37 ribu pekerja seks, 85 persen dari mereka merupakan korban perdagangan manusia. Kebanyakan pelacur di Prancis adalah pendatang yang berasal dari Bulgaria, Rumania, Nigeria, Kamerun, dan Cina. Pemerintah Prancis berjanji memberikan izin tinggal dan kerja buat mereka yang akan meninggalkan profesi pelacur. Selama ini banyak pekerja seks yang tak memiliki izin tinggal dan kerja di sana.
Di mata Thery, uang dari para pelanggan itulah yang jadi penggerak utama pasar pelacuran. Kriminalisasi para pelanggan, dia yakin, akan membuat pasar seks Prancis tidak menarik lagi bagi para germo dan pelaku perdagangan manusia. Angka perdagangan manusia di Prancis, Jerman, Spanyol, dan Australia, menurut organisasi nonpemerintah Asosiasi Femme & Libre, langsung melonjak ketika prostitusi dilegalisasi—tapi kesejahteraan para pelacur memburuk. "Para anggota parlemen akhirnya memutuskan 'kita tidak boleh' meregulasi kriminalitas ini, seperti kita tak boleh meregulasi pembunuhan atau perbudakan," ujar Presiden Femme & Libre, Yael Mellul.
Dua tahun lebih Maud Olivier, anggota parlemen dari Partai Sosialis, memperjuangkan hukum yang diilhami peraturan anti-pelacuran Swedia ini. Berkali-kali perdebatan di Senat menemui jalan buntu. Senat, yang didominasi anggota partai-partai kanan, selalu menolak rancangan undang-undang yang diajukan sampai sebuah pemungutan suara mengesahkan rancangan itu. Undang-undang ini mengoreksi undang-undang tahun 2003, yang mengganjar para pelacur dengan hukuman.
Di Swedia, sejak undang-undang itu (Sex Purchase Law) diberlakukan pada 1 Januari 1999, terjadi perubahan besar. Persentase prostitusi jalanan di Swedia menurun tajam dibanding tahun-tahun sebelumnya. Termasuk prostitusi di jalanan, di rumah-rumah bordil, hotel, ataupun apartemen yang transaksinya dilakukan langsung atau tidak langsung, juga yang ditawarkan lewat iklan di Internet. Menurut Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa tahun lalu, Indonesia bisa belajar dari keberhasilan Swedia dalam menekan permintaan prostitusi hingga 80 persen. Akibatnya, penawaran tindakan prostitusi pun turun hingga 75 persen. "Kendati untuk mendapatkan cara yang tepat Swedia pun melakukan revisi undang-undang antiprostitusi sebanyak tiga kali," katanya.
Meski begitu, pada hari pengesahan undang-undang itu, 60-an pekerja seks di Paris melancarkan protes keras. Hukum yang protektif terhadap pelacur ini akan mengurangi pelanggan mereka secara drastis. Salah satu spanduk mereka berbunyi: "Jangan bebaskan saya, biar saya urus diri sendiri".
Idrus F. Shahab (BBC, The Guardian, Independent, Time)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo