Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Serangan bom itu menghantam tepat di siang bolong. Tidak hanya satu, tapi dua bom meledak berurutan, mengenai sebuah pasar di Desa Mastaba di Provinsi Hajja, Yaman Utara. "Pasar saat itu ramai pengunjung," kata Khaled Hassan Mohammadi, 21 tahun, penjual tepung yang selamat dari ledakan bom.
Mohammadi masih mengingat serangan pada 15 Maret lalu itu. Saat itu warga lalu-lalang berbelanja di pasar yang terletak 48 kilometer dari perbatasan Arab Saudi tersebut. Seperti hari-hari biasa, suasana pasar hiruk-pikuk dan cukup bising karena suara gemuruh generator listrik serta sepeda motor yang melintas. "Saya tidak mendengar suara pesawat," ucapnya.
Sekitar pukul 12 siang, bom pertama menghantam beberapa toko. Orang-orang langsung kocar-kacir. Di tengah kepanikan, bom kedua meledak beberapa menit kemudian, tak jauh dari lokasi pertama. Mohammadi selamat karena toko tempat ia berjualan terletak agak jauh dari dua lokasi ledakan. "Saya melihat tubuh orang-orang yang hancur. Tanpa kepala, tanpa tangan, tidak dapat dikenali lagi," ujarnya, seperti dilaporkan The Intercept.
Seperti Mohammadi, nasib Muhammad Mustabani juga mujur. Pria ini pasti kehilangan nyawa andai kata berdiri beberapa meter lebih dekat dengan titik ledakan. "Kaki saya terluka di sini," tuturnya sambil menunjuk luka di kaki kanannya yang patah. Mustabani tergolek di rumah sakit dengan dua pipa aluminium terpasang dari paha hingga betis.
Koalisi Arab Saudi bertanggung jawab atas serangan yang menewaskan 97 orang, termasuk 25 anak-anak, itu. Lembaga pegiat hak asasi manusia internasional, Human Rights Watch (HRW), menganggap pengeboman terhadap pasar di Mastaba merupakan serangan paling mematikan sejak koalisi Saudi terlibat dalam perang saudara di Yaman.
Riyadh mengklaim serangan itu menewaskan 10 milisi Houthi—sasaran mereka dalam konflik Yaman. Namun, menurut HRW, pengeboman terhadap pasar jelas melanggar hukum internasional. "Serangan tak pandang bulu adalah kejahatan perang. Kematian warga sipil harus dihindari," ucap Joe Stork, Wakil Direktur HRW untuk kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.
Sejak 25 Maret tahun lalu, Arab Saudi terjun dalam konflik bersenjata di Yaman. Kerajaan kaya minyak ini membekingi sekutu Sunni-nya, Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi. Mereka bahu-membahu menggempur Houthi, kelompok Syiah Zaidi pendukung mantan Presiden Ali Abdullah Saleh. Untuk memerangi Houthi yang disokong Iran, Saudi mengajak serta Kuwait, Bahrain, Maroko, Qatar, Mesir, Sudan, Uni Emirat Arab, dan Yordania.
Dalam konflik Yaman, penduduk sipil justru menjadi korban paling banyak. Satu tahun terakhir, hampir 6.400 orang tewas dan 30 ribu lainnya terluka akibat perang saudara. "Sedikitnya 3.218 warga sipil tewas, termasuk 934 anak-anak," begitu laporan Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia. PBB mencatat 60 persen dari jumlah korban akibat terkena serangan udara koalisi Saudi.
James Lynch, Deputi Timur Tengah dan Direktur Afrika Utara untuk Amnesty International, mengatakan konflik Yaman telah membuat sedikitnya 2,5 juta orang mengungsi. "Sekitar 83 persen dari 24 juta penduduk perlu bantuan kemanusiaan," katanya. Badan PBB untuk Anak-anak (UNICEF) bahkan memperkirakan 320 ribu anak-anak berisiko kekurangan gizi akut. "Mereka rentan terkena infeksi penyakit pernapasan dan pneumonia."
Serangan udara pasukan koalisi Saudi lebih banyak mengenai target nonmiliter, antara lain permukiman, rumah sakit, sekolah, pabrik, dan pasar. "Setidaknya 119 serangan koalisi melanggar hukum perang," demikian catatan Panel Ahli PBB untuk Yaman, yang dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB 2140 Tahun 2013, dalam laporan yang dilansir pada 26 Januari lalu.
Serangan koalisi Saudi, misalnya, pernah menghantam Rumah Sakit Shiara di Distrik Razeh, Yaman Utara. Bangunan fasilitas medis yang dikelola Dokter Lintas Batas (MSF) ini ambruk. Sedikitnya 4 orang tewas dan 10 lainnya terluka. "Pasar di Mastaba merupakan satu dari 12 pasar yang dibom koalisi Saudi selama satu tahun perang Yaman," ujar Priyanka Motaparthy, peneliti dari HRW.
DUA cekungan bekas ledakan bom di pasar Mastaba masih menganga lebar. Tim penyelidik dari Human Rights Watch, yang menyambangi lokasi itu pada 28 Maret lalu, tercengang setelah meneliti dasar cekungan yang mirip kawah tersebut. Mereka menemukan serpihan puing logam bekas bom pintar berpemandu satelit, MK-84. "Bom seberat 1.000 kilogram itu buatan Amerika Serikat," kata anggota tim, Belkis Wille.
Tim penyelidik juga mendapati bekas pecahan bom pintar jenis lain, yaitu Paveway. Bom berpemandu laser ini diproduksi oleh Raytheon, perusahaan senjata terbesar kelima di dunia yang bermarkas di Waltham, Massachusetts, Amerika. "Bom kedua mendarat di dekat pintu masuk pasar, membunuh dan melukai orang-orang yang berusaha menyelamatkan diri dari ledakan pertama," ujar Wille.
Wille, peneliti HRW yang berbasis di Yaman dan Kuwait, menolak klaim Arab Saudi bahwa serangan di Mastaba menyasar milisi Houthi. Menurut dia, keberadaan terdekat Houthi adalah di pos pemeriksaan kecil, sekitar 250 meter dari pasar. Itu pun hanya dijaga dua orang milisi. "Sungguh mengherankan bila koalisi menjatuhkan dua bom di pasar pada siang hari," ucapnya.
Dari bukti serpihan bom itu, HRW menuding Amerika terlibat dalam kejahatan perang di Yaman. Pemerintah Barack Obama dianggap menjadi pendukung militer utama Saudi dalam kampanye melawan Houthi. Pentagon tidak hanya menjual senjata bernilai jutaan dolar, tapi juga memberi dukungan logistik dan intelijen. "Militer Amerika mengerahkan personel untuk membantu koalisi Saudi merancang serangan," demikian laporan HRW.
The Intercept dan Vice melaporkan bahwa Kerajaan Saudi telah membeli senjata dari Amerika sejak 2010. Nilainya mencapai lebih dari US$ 100 miliar (sekitar Rp 1.320 triliun dengan kurs saat ini). Dukungan Washington kepada Riyadh bertambah sejak Maret 2015, saat koalisi Saudi ikut campur dalam konflik Yaman. "Amerika ribuan kali memasok bahan bakar untuk jet tempur pasukan koalisi."
Dukungan militer juga mengalir deras dari Inggris. Negeri Ratu Elizabeth II itu dilaporkan telah menyetujui penjualan senjata senilai 2,8 miliar pound sterling (sekitar Rp 52 triliun) satu tahun terakhir. Seperti Amerika, Inggris mengirimkan pakar strategi perang untuk membantu Saudi. "Kami mendesak pemerintah Inggris dan Amerika menjelaskan keterlibatan mereka," kata Belkis Wille, seperti dikutip Sky News.
Tahun lalu, misalnya, satu-satunya pabrik keramik di ibu kota Yaman, Sana'a, hancur terkena bom pasukan koalisi. Seorang warga sipil tewas akibat serangan udara itu. Si pemilik masih menyimpan puing-puing sisa dari empat rudal yang menghantam pabriknya. "Pecahan rudal itu bertulisan 'Marconi Dynamics', produsen senjata asal Inggris," ujar Direktur HRW Inggris David Mepham.
Militer Amerika menolak bertanggung jawab atas jatuhnya korban sipil di Yaman. Juru bicara Pusat Komando Militer Amerika, Kolonel Patrick Ryder, mengatakan Arab Saudi sepenuhnya menentukan sasaran yang mereka serang. "Kami tidak terlibat dalam keputusan eksekusi operasi militer di Yaman," katanya, seperti dikutip Middle East Eye.
Kontak senjata terus meletus meski PBB telah menyerukan gencatan senjata pada 10 April lalu. Presiden Mansour Hadi dan kubu pemberontak Houthi dijadwalkan berunding pada Senin pekan ini di Kuwait. Di Kota Taiz, milisi Houthi dilaporkan menyerang warga dan anggota Popular Resistance, kelompok pendukung Mansour Hadi. "Mereka tidak mematuhi perjanjian gencatan senjata," ujar Moaath al-Yaseri, pemimpin Popular Resistance di Taiz.
Jenderal Mohamed Ali al-Makdashi, kepala staf pasukan pemerintah, mengecam manuver milisi Houthi di Taiz. "Kami berharap pemberontak mengakhiri serangan mereka dan menghormati gencatan senjata," kata Al-Makdashi. Kelompok Houthi tidak berkomentar atas tudingan pelanggaran gencatan senjata di Taiz.
Mohamed Abdul Wadood, penduduk daerah Thawra di Taiz, pesimistis terhadap upaya damai antara pemerintah dan Houthi. "Bagaimana kami percaya bila kami hidup di bawah pengepungan?" ujarnya. Komentar senada meluncur dari Hamadi, yang tinggal di daerah Beer Bash di sisi barat kota. "Saya tidak percaya pada Houthi atau pemerintah. Keduanya tidak bisa memahami bahasa damai."
Mahardika Satria Hadi (HRW, Foreign Affairs, The Intercept, Press TV, Middle East Eye)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo