Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Ancaman sopir taksi

Kerusuhan baru pemogokan & demonstrasi besar-besaran oleh para buruh industri kor-sel. penyebab krisis perburuhan tak lebih dari tuntutan kenaikan upah, perbaikan kondisi kerja & kebebasan buruh.

22 Agustus 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRESIDEN Korea Selatan Chun Doo Hwan dan "putra makota" Roh Tae Woo menghadapi ujian lain. Kali ini, penyebabnya sengketa perburuhan. Keributan baru yang ditandai dengan berbagai pemogokan dan demonstrasi besar-besaran itu telah berlangsung dua minggu. Sampai awal pekan ini, belum terlihat tanda-tanda unjuk rasa itu akan menyurut. Para pejabat pemerintah khawatir, keadaan akan berlarut jika tak cepat diselesaikan. Kekhawatiran pejabat itu cukup beralasan. Pemogokan telah menjalar ke industri barang-barang elektronika dan pertambangan. Padahal, hasil industri elektronika dan tekstil merupakan dua "bintang" utama ekspor Korea. Tahun 1986 saja, ekspor produk listrik dan elektronika mendatangkan penghasilan US$ 6,69 milyar. Dan, itu akan menganggu ekonomi Korea Selatan yang berorientasi ke ekspor. Menurut Departemen Perdagangan, pemogokan telah merugikan negara dan industri sebesar US$ 300 juta. Keadaan itu bakal diperburuk jika Serikat Sopir Taksi Seoul, yang minta kenaikan upah, betul-betul mogok mulai 24 Agustus, apabila tuntutan mereka tak dipenuhi. Apalagi kalau jejak mereka diikuti pula buruh sektor pengangkutan lain. Selain itu, keadaan di daerah pertambangan juga tak menguntungkan. Sekitar 2.000 buruh tambang batu bara Kota Taebaek mengamuk. Mereka memporak-porandakan kantor perusahaan, melempari rumah para eksekutif perusahaan dan membakari mobil mereka. Kawasan itu memang pusat kegiatan buruh militan. Belakangan, krisis menjalar pula ke perusahaan-perusahaan kecil. Bagaimana tidak, lantaran banyak industri kecil dan menengah itu menjadi anak-anak perusahaan industri besar dengan memberi servis dan berperan sebagai pemasok suku cadang atau pengedar hasil-hasil industri berat tersebut. Di Seoul, bentrokan antara polisi dan mahasiswa terjadi lagi, gara-gara polisi mencoba menghalang 300 mahasiswa Universitas Nasional Seoul keluar kampus mengadakan pawai solider atas perjuangan buruh. Kemarahan mahasiswa diperhebat dengan penahanan aktivis Lee Nam-Ju, yang diringkus polisi sepulang menghadiri rapat umum di Gereja Myongdong. Protes terhadap penahanan Lee diwarnai dengan pelemparan bom-bom Molotov ke arah polisi. Apabila jalan keluar tidak cepat didapat, krisis perburuhan itu akan membawa Korea Selatan ke stagnasi nasional yang bisa melumpuhkan negara. Para pengamat berpendapat, apa yang sekarang terjadi di Korea adalah contoh sempurna (textbook example) bagaimana sebuah negara yang industrinya saling berkait sedang bergerak ke arah kelumpuhan nasional, hanya karena sengketa antara buruh dan manajemen. Penyebab krisis perburuhan Korea Selatan tak lebih dari tuntutan kenaikan upah perbaikan kondisi kerja, dan diperkenankannya organisasi buruh yang bebas. Menurut catatan, seorang buruh biasa di pabrik mobil mendapat gaji sekitar 180.000 won (sekitar US$ 240) per bulan untuk 48 jam kerja per minggu. Jumlah yang tak cukup untuk menghidupi sebuah keluarga kecil. Gerakan buruh yang makin militan itu tak bisa dilepaskan dari munculnya liberalisasi politik, yang diumumkan pemerintah pada 29 Juni lalu. Sebelum itu, prakteknya, sukar mengadakan pemogokan, demonstrasi, bahkan membentuk serikat buruh. Demi stabilitas sosial dan pertumbuhan ekonomi, pemerintah selalu berpihak kepada majikan. Sekarang keadaannya telah lain. Baik Presiden Chun Doo-Hwan maupun calon penggantinya Roh Tae-Woo mengatakan bahwa pemerintah akan bersikap netral. Lantaran, kata pemerintah, "pertentangan itu mesti diputuskan oleh yang berkepentingan." Tapi, tak urung kedua orang kuat Korea itu mengatakan bahwa sikap lepas tangan pemerintah itu ada batasnya. Pemimpin oposisi, Kim Young-Sam dan Kim Dae-Jung, mencurigai sikap netral pemerintah itu. Dengan politik netralnya, kata kedua Kim tersebut, pemerintah menunggu terjadinya stagnasi nasional. Kalau itu terjadi, politik tangan besi dan kediktatoran akan kembali lagi. A. Dahana, Laporan Jun Ji-Sub (Seoul) dan kantor-kantor berita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus