PELURU kendali udara ke udara Suriah pekan lalu, menerjang ke
arah pesawat Israel. Tapi meleset. Dan pesawat itu lolos. Para
penerbang Yahudi itu dituduh Suriah melanggar wilayah udara
mereka. Jadi perlu diberi pelajaran.
Tanpa buang waktu, dalam tempo 48 jam, empat menteri Israel, di
antaranya Menlu Yitzak Shamir dan Menhan Moshe Arens,
melontarkan teguran ke alamat Damaskus. Sementara itu PM
Menachem Begin mengadakan temu muka dengan tokoh-tokoh oposisi
dari Partai Buruh. Acara "ceramah" ini biasa dilakukan bila Tel
Aviv merasa terancam.
Dalam waktu singkat, di akhir minggu, Suriah dan Israel seperti
berlomba memperkuat pertahanan mereka sepanjang perbatasan
Libanon-Suriah. Tentang kesiap-siagaan ini, Tishrin, surat kabar
resmi di Damaskus, menulis perang Timur Tengah yang baru sudah
di ambang pintu. Tapi Menhan Suriah Letjen Mustafa Tlas
menegaskan kesiagaan tentaranya dilancarkan untuk maksud-maksud
pertahanan. "Gaya Israel selalu begitu, tradisional dan jelas
diketahui umum," ujar Tlas. "Mereka menuduh lawan mempersiapkan
perang padahal mereka siaga duluan".
Komentar Tlas diucapkan justru di saat-saat ketegangan meningkat
di Lembah Bekaa akibat terjadinya ledakan yang menewaskan
seorang prajurit Israel dan mencederai 14 lainnya. Dan segera
setelah itu iring-iringan kendaraan lapis baja Israel
menderu-deru ke perbatasan, di seberang Dataran Tinggi Golan.
Tidak mau kalah, Suriah memacu pula pasukan artilerinya ke basis
pertahanan di Lembah Bekaa. Pasukan berseragam Soviet, sekutu
Suriah, menurut Kantor Berita Libanon Al Markazyah, bahkan
terlihat di Chataura, 15 km sebelah barat perbatasan Suriah. Dan
sumber rahasia AS menyebutkan pasukan Suriah nampak siap-siap di
Zahleh, tidak jauh dari jalan raya Beirut-Damaskus.
Juga dilaporkan satu batalyon tentara Suriah menyeberang
perbatasan dari Homs (Suriah) langsung menyebar ke Kota Baalbeck
(Libanon). "Bila ada dua pasukan berhadap-hadapan, bentrokan
bersenjata sewaktu-waktu bisa saja terjadi," kata Menhan AS
Casper Weinberger, minggu lampau.
Deplu AS menyerukan supaya Israel dan Suriah menahan diri
sekuat-kuatnya. Jubir resmi Pemerintah AS dari Williamsburg,
Senin lalu, menuduh Suriah dan Uni Soviet sebagai biang keladi
peningkatan ketegangan di Libanon. Deputi PM Israel David Levy
bahkan lima kali menitipkan "peringatan" pada Suriah, lewat
perantaraan AS. Presiden Suriah Hafez Assad, yang selama ini
diduga tidak akan gegabah membuka front baru, menjawab tuntas:
pasukannya tidak akan meninggalkan Libanon. Ia sendiri tidak
akan berubah pikiran, katanya, apa pun yang terjadi.
Menurut para pengamat di Damaskus, sebenarnya Suriah tidak punya
niat untuk berperang. Mereka diharuskan untuk unjuk perasaan
atas persetujuan Libanon-Israel yang diteken tanpa sedikit pun
konsultasi ke Damaskus. Akibatnya Israel juga terpaksa sibuk.
Terakhir dikabarkan anak-anak Moshe Arens giat mengganggu
jaringan radar Suriah. Untung layar radar yang mendadak "putih"
itu segera dibikin berfungsi kembali oleh anak buah Tlas.
Tercatat tiga sebab yang membangkitkan kemarahan Suriah.
Pertama, Presiden Assad seperti disepelekan. Ia selama ini
menjaga persahabatan dengan AS. Tapi persetujuan Libanon-Israel,
yang diprakarsai AS, justru membuktikan betapa Washington tidak
menghargai kemauan baik Assad tersebut. Kedua, dianggap wajar
jika Suriah menolak persetujaun yang sama sekali tidak
memperhitungkan kepentingan teritorial dan keamanan negeri itu.
Dan ketiga, Suriah yang kehilangan Dataran Tinggi Golan
(dicaplok Israel akhir 1981) merasa perlu memperagakan
kebolehannya agar Israel jangan malang-melintang seenaknya. Lagi
pula siapa yang menjamin kedaulatan Libanon meski pasukan Israel
mundur dari sana?
Maka Suriah pun siap siaga, didukung Uni Soviet, Republik Yaman
Selatan, dan Libya. Negara Arab lainnya, dengan siapa Assad
menjalin hubungan baik, diduga akan tetap netral. Tapi Mesir
sebaliknya. Presiden Husni Mubarak justru membela Suriah seraya
memastikan negeri itu tidak punya ambisi apa-apa di Libanon.
Mendengar ini banyak pengamat terkejut karena sejak dulu adalah
Suriah yang habis-habisan menentang perjanjian damai
Mesir-Israel (1979). Sementara itu, dengan mempertaruhkan
nyawanya Presiden Libanon Amin Gemayel berseru kepada
negara-negara Arab agar memberi dukungan untuk usaha penarikan
mundur tentara asing dari negerinya. Seruan itu diucapkannya
dari Beirut Barat justru di saat-saat pertikaian Kristen dan
Islam Libanon semakin menjadi-jadi.
Di pihak lain Israel nampaknya berusaha keras untuk tidak
terpancing, tidak terperangkap oleh jebakan-jebakan, juga tidak
terseret dalam perang yang berlarut-larut. Kabarnya Tel Aviv
memilih perang total yang skenarionya ditentukan di "war room"
mereka, bukan di Lembah Bekaa atau Damaskus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini