RUANGAN berukuran 3 x 4 meter di belakang kantor GMNI cabang
Surabaya di Jalan Sudirman itu senantiasa ramai. Silih berganti
tamu berdatangan. Kebanyakan untuk mengadu. Di tembok luar
ruangan itu terpasang papan nama "Lembaga Studi Kemasyarakatan
dan Bantuan Hukum". Para pengadu itu dilayani beberapa aktivis
GMNI. "Ya inilah sebagian dari proses kaderisasi GMNI," ujar
Djoko, sekretaris GMNI cabang Surabaya.
Menurut Djoko, mahasiswa Fakultas Teknik IKIP Surabaya tingkat
terakhir, sejak 2 tahun terakhir ini GMNI Surabaya menjauhi
kegiatan yang bersifat pamrih. Misalnya latihan dasar,
simposium, upacara penerimaan anggota baru, maupun bimbingan
tes. "Pokoknya kegiatan yang formal rutin kami tinggalkan karena
sudah tidak efektif lagi," katanya. "Masak dalam keadaan seperti
sekarang ini kita masih mempertahankan resepsi-resepsian, makan
bersama, rujakan, dan sebagainya itu. Malu dong," tambahnya.
GMNI cabang Yogyakarta, yang dianggap terkuat di Indonesia,
sejak 1980 ternyata juga mengubah orientasinya. "Kami sekarang
tidak lagi berorientasi ke kampus. Kampus merupakan tempat
berkumpulnya masyarakat golongan menengah, dan tidak cocok
dengan ideologi marhaenisme," kata Yos Soetiyoso, bekas ketua
GMNI Yogyakarta tahun lalu. Menurut Yos, titik berat pendidikan
politik pada anggota GMNI adalah pengenalan problema sosial,
"sedang problema sosial tidak terdapat dalam kampus, tapi di
masyarakat."
Untuk itu kegiatan di kampus yang bersifat glamour ditiadakan,
termasuk tentir dan acara kesenian. Penerimaan anggota sangat
selektif dan diperketat. "Yang kami butuhkan sekarang kualitas,
bukan kuantitas," tutur Yos. Akibatnya secara fisik kekuatan
GMNI Yogyakarta menyusut drastis. Bila dulu sampai 1979 ada 27
komisariat dengan anggota masing-masing antara 100-200 orang,
kini tinggal ada 22 komisariat dengan 'jumlah anggota rata-rata
30 orang.
Toh di UGM kekuatan GMNI masih dominan: 12 dari 18 senat
mahasiswa dipegang oleh anggota GMNI. "Itu tidak berarti mereka
mewakili GMNI. Kebetulan mereka anggota GMNI di komisariat dan
mencalonkan diri," kata Yos.
Kegiatan GMNI Yogyakarta kini hanya tinggal diskusi dan kursus
kader. Ada dua macam kursus kader: tingkat dasar dan instruktur.
Tingkat dasar untuk mengetahui masalah ideologi dan relevansinya
dengan masyarakat. Mereka yang sudah punya keahlian bisa
mengikuti kursus tingkat instruktur. Baru setelah itu seseorang
bisa disebut kader.
"Seseorang bisa disebut marhaen kalau ia sudah menghubungkan
diri dengan masyarakat miskin. Baik berupa gagasan atau bentuk
lain yang membantu rakyat atau membela haknya," kata Amir
Sutoko, ketua GMNI Yogyakarta periode 1982-1984. Sejak September
1982 telah diadakan 8 kali diskusi dan kursus dengan biaya
sekitar Rp 1,5 juta. "Dananya diperoleh dari teman, simpatisan,
dan hasil penjualan brosur," kata Amir.
Lain GMNI, lain pula HMI. Organisasi mahasiswa terbesar dan
tertua di Indonesia yang mangaku punya anggota 140.000 orang ini
tampak makin menggebu-gebu. Kantor HMI cabang Jakarta di Jalan
Cilosari, Jakarta Pusat, misalnya, hampir selalu tampak ramai.
Secara rutin di gedung yang "direbut" pada 1966 dari Kedutaaan
RRC ini diadakan diskusi antaranggota.
Pengkaderan di HMI yang tampaknya merupakan masalah utama. Itu
dilakukan melalui latihan formal, umum, dan khusus Latihan umum
harus diikuti secara berting kat. Seorang bisa menjadi anggota
paling tidak setelah mengikuti latihan jenjang kedua. Tingkat
pertama adalah Maperca (masa perkenalan calon anggota), diikuti
LDK (Latihan Dasar Kepemimpinan), LLK (Latihan Lanjutan
Kepemimpinan), kemudian Avance Training serta berbagai seminar.
Pada tingkat dasar, penekanan utama adalah pembentukan
kepribadian. Materi yang diberikan antara lain ke-Islam-an,
ke-HMIan, serta pengetahuan tentang berorganisasi. "Semua
latihan akhirnya bertujuan menciptakan intelektual Muslim," kata
G.H. Situmorang, ketua Biro Kader HMI cabang Medan. Dari 12.000
anggota HMI Medan 60% pernah mengikuti latihan dasar.
Metode kaderisasi yang digunakan berupa "kelompok dinamis".
"Tiap peserta harus sebagai obyek dan subyek yang bebas dan
aktif," kata Situmorang. Data tiap peserta dicatat. Misalnya,
stamina fisik, latar belakang keluarga, ngomong suka ngawur,
takut bicara, atau kurang dalam ilmu keagamaannya. "Dengan
begitu diketahui ke mana penekanan latihan diarahkan," ujar
Situmorang.
Biaya latihan ditanggung peserta. Di Yogyakarta untuk mengikuti
latihan lanjutan selama 4 hari 5 malam, biayanya sekitar Rp
5.000. Toh jumlah peminat melimpah hingga perlu disaring.
Contohnya, latihan di Fakultas Teknik UGM Maret lalu jumlah
pendaftar 150 orang, yang lulus tes 60 orang.
Pengkaderan diberbagai organisasi lain umumnya tidak serapi
HMI. Di PMII jenjangnya adalah Latihan Kepemimpinan Dasar,
Latihan Kepemimpinan Menengah, dan Latihan Kepemimpinan
Lanjutan. Sedang di PMKRI setelah Latihan Dasar (40 jam) dan
Latihan Lanjutan (80 jam), ada yang disebut Konperensi Studi
Nasional selama 80 jam.
Para anggota organisasi ekstra yang pernah mengikuti latihan
umumnya mengakui apa yang mereka peroleh sangat bermanfaat
karena materi itu tak diperolehnya dalam kuliah. Hampir semuanya
menganggap kini mereka lebih sadar politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini