"AHOI" Imada (Ikatan Mahasiswa Djakarta) tak lagi banyak
terdengar kini. Salam khas itu menyurut bersama pudarnya pamor
organisasi mahasiswa ekstrauniversitas yang lokal sifatnya.
Meski di kertas anggota Imada tetap ribuan, 2.600 orang,
pertemuan akhir-akhir ini hanya dihadiri sekitar 20 anggota.
Bahkan pelantikan angota 8 Mei lalu terpaksa dibatalkan. Selain
dana tak lagi terkumpul sesuai target, para calon anggota
sendiri dianggap kurang memenuhi syarat.
Itu di Jakarta. Di kota mahasiswa yang lain, ternyata panorama
organisasi mahasiswa lokal kurang lebih sama. Kantor Imaba
(Ikatan Mahasiswa Bandung), sudah lebih empat bulan pintunya tak
pernah dibuka. Imayo (Ikatan Mahasiswa Yogyakarta) tak lagi
terdengar kabar beritanya, pun kantornya tak diketahui di mana.
Dan GMS (Gerakan Mahasiswa Surabaya), tak jelas apakah masih
bernapas.
Padahal dulu, organisasi mahasiswa yang lokal ,sifatnya
merupakan pilihan lain bagi mahasiswa. Ialah, bagi mereka yang
tak suka organisasi ekstra yang mempunyai hubungan dengan partai
tertentu, atau dengan agama tertentu.
Dulu ada kesan, organisasi mahasiswa yang lokal lebih
mengarahkan kegiatannya pada hal-hal yang bersifat "sosial
budaya". Sementara organisasi ekstra seperti GMNI, GMKI, PMKRI,
dan HMI lebih menekankan kegiatannya untuk hal-hal yang bersifat
"sosial politik". Itulah, Imada yang berdiri pada 1955 pernah
diejek sebagai Ikatan Mahasiswa Dansa. Ini dikatakan sendiri
oleh salah seorang pendirinya, Prof. Dr. Awaloeddin Djamin,
bekas Kapolri, pada ulang tahun Imada ke-25, 1980 yang lalu.
Di Bandung yang tampak masih bernapas adalah CSB (Corpus
Studiosorum Bandungense), organisasi mahasiswa tertua di
Indonesia, yang tak banyak anggotanya. Di sini bekas Presiden
Soekarno pernah mengasah keterampilan berpidato dan berdiskusi.
Organisasi yang didirikan oleh beberapa mahasiswa Technische
Hoogeshool, Bandung -- yang kini menjadi ITB itu -- pada 1920,
bertujuan mengadakan ajang "belajar bersama".
Dan ciri-ciri CSB tetap dipertahankan hingga sekarang. Misalnya,
istilah kepengurusan di sini tetap memakai nama Latin: Senatus
Veteranorum (pengurus), Praeses (ketua), Ab-actis (sekretaris),
Quaestor (bendahara).
Perploncoan anggota (novitiatus, istilahnya) pun cukup unik.
Misalnya yang diadakan Juli tahun lalu, yang berlangsung du
minggu. Selama itu para calon, konon, diberikan pelajaran
tentang "hidup". Caranya, pada hari pertama novitiatus sang
Praeses bilang: "Hari ini hak kalian sebagai manusia kami
cabut." Maka para senior akan berlaku sewenang-wenang terhadap
mereka yang "bukan manusia" itu lagi. Para calon anggota itu
dibohongi, disuruh ini itu, disuruh melakukan hal-hal yang
"busuk", misalnya berpidato di got yang kotor dan bau. Di
samping, ada rapat, ada diskusi, ada pertandinan olah raga.
Toh acara yang unik itu pun tak cukup kuat menarik para
mahasiswa mendaftar ke CSB. Sejak 1977 rata-rata hanya 25
mahasiswa mendaftar -- sebelumnya paling sial ada 60 orang.
Yang agak banyak menerima anggota tiap tahunnya ialah PMB
(Perhimpunan Mahasiswa Bandung). "Rata-rata 50 mahasiswa masuk
organisasi kami," kata Rully Panggabean, mahasiswa Fak. Hukum
Universitas Parahiangan, ketua PMB kini. Tapi entah mengapa
tahun lalu PMB tidak mengadakan penerimaan anggota baru.
Lalu Damas (Daya Mahasiswa Sunda), yang dibentuk pada 1956.
Organisasi ini mempunyai cabang di luar kota Bandung, antara
lain di Bogor dan Jakarta. Di Bandung, kini tercatat sekitar dua
ribu anggota. Yang lucu, anggotanya tak hanya berasal dari suku
Sunda, tapi juga Batak, Ambon, dan WNI keturunan Cina. "Pokoknya
siapa saja boleh masuk, dengan syarat mencintai seni budaya
Sunda," kata Harianto, ketua Damas cabang Bandung. Kegiatannya?
Ya, terutama berkisar soal-soal seni budaya Sunda itulah.
Jadi mengapa kini organisasi mahasiswa lokal pun sepi -- bahkan
beberapa organisasi tidak membuka pendaftaran baru tahun lalu?
Ada yang melontarkan pendapat, itu karena pengaruh organisasi
mahasiswa ekstra, termasuk yang lokal, tak lagi terasa di
kampus.
Dari segi lain, Harianto, ketua Damas Bandung, melihat bahwa
"mahasiswa sekarang ingin bebas dari segala ikatan, yang mereka
pikirkan cuma ingin cepat selesai kuliah." Sinyalemen ini
agaknya tak terlalu meleset. "Yang penting belajar dulu sampai
lulus," kata Vivi Prihandayani, mahasiswa Fak. Psikologi UGM,
yang menolak masuk organisasi mahasiswa ekstra apa pun.
Memang, peraturan akademik tampaknya semakin ketat. Mahasiswa
diharuskan menyelesaikan kuliah dalam waktu tertentu. Tak lagi
dikenal istilah "mahasiswa abadi." Kini, bila mahasiswa tak
selesai kuiah dalam batas waktu tertentu, harus keluar.
Soalnya kini, benar perlukah organisasi mahasiswa lokal
dihidupkan? Endah Purnama Sari, mahasiswa Fak. Sastra Unpad,
anggota CSB, khawatir, "jangan-jangan nanti semua organisasi
mahasiswa ekstra harus berlindung di bawah KNPI." Harap dicatat,
Endah ini juga pengurus KNPI Kodya Bandung sebagai wakil Seksi
Koperasi dan Wiraswasta. Padahal, "bagaimana berorganisasi yang
baik, bagaimana berdiskusi yang baik, paling tidak bisa
dikembarkan dalam organisasi lokal itu," kata Harianto dari
Damas, Bandung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini