KUDETA kedua itu dilancarkannya Jumat pekan lalu, dan nama Kolonel Sitiveni Rabuka kembali menghiasi halaman pertama surat kabar di seantero Pasifik. "Sang juru selamat Fiji" beraksi kembali, juga kali ini tanpa kesulitan sedikit pun. Ia menguasai pemerintahan sepenuhnya, sesudah melancarkan kudeta terhadap kabinet PM Timoci Bavadra. Seperti kudeta sebelumnya, Mei 1987, aksi militer kali ini pun disambut meriah oleh penduduk pribumi Fiji. Sepanjang jalan orang-orang baju hijau itu dielu-elukan oleh penduduk yang berdarah Melanesia ini. Sedang nonpribumi asal India bersembunyi dalam rumah masing-masing. Toko-toko yang mayoritas milik keturunan India kebanyakan tutup. Kekhawatiran akan timbulnya bentrokan berdarah mencekam Suva, ibu kota Fiji. Apalagi setelah ledakan bom mengguncang Suva Sabtu malam, menelan korban 1 orang tewas dan 2 cedera berat. Sebelum keadaan menggawat, Rabuka cepat bertindak. Jam malam diberlakukan. Pers dibungkam. Jaringan komunikasi ke luar negeri dibekukan. Para politikus, hakim, dan pemimpin buruh dipenjarakan. Termasuk di dalamnya PM Bavadra dan sejumlah besar bekas anggota kabinetnya. Sementara itu, Gubernur Jenderal Ratu Sir Penaia Ganilau, kepala negara Fiji yang mewakili Ratu Inggris Elizabeth, dikenai tahanan rumah. Ganilau, yang memimpin pemerintahan darurat -- dibentuk setelah kudeta Rabuka pertama, yang menggulingkan PM Bavadra yang dikuasai warga keturunan India -- tampaknya tak berdaya. Dua hari sebelum kudeta, tepatnya Rabu pekan lalu, Ganilau mengumumkan terbentuknya pemerintahan koalisi baru Fiji, yang bakal mencakup semua unsur secara adil. Rencana pemerintahan baru itu akan mulai berlaku Senin pekan ini. Tapi upaya Ganilau rupanya tak berkenan di hati Rabuka, yang jelas-jelas menginginkan supremasi politik bagi pihak pribumi. Kalau ini terlaksana, pendatang India di Fiji kelak akan menjadi warga kelas dua. Orang India kini sebanyak 49% dari 714.000 jiwa penduduk Fiji. Mereka mendominasi perekonomian, sedangkan kekuatan militer berada di bawah kontrol pribumi Fiji. Menghadapi status quo ini, kelompok militer menyusun rencana baru mengubah bentuk pemerintahan Fiji menjadi republik. "Sekarang tak ada jalan lain, saya kira kami harus menjadi republik," kata Rabuka. Menurut rencana, pergantian bentuk pemerintahan itu dilakukan 10 Oktober mendatang, bertepatan dengan perayaan kemerdekaan Fiji ke-17 -- dari Inggris. Kepada Ganilau, Kolonel Rabuka sudah menawarkan jabatan presiden pertama Fiji. Untuk itu, Ahad pagi, dengan membawa tabua (gigi ikan paus) -- tradisi etnis Fiji untuk menyatakan hormat -- sang komandan AD menemui gubernur jenderal itu di rumahnya. "Tapi beliau tidak mau menerima jabatan itu," ujar Rabuka kepada wartawan, Senin malam. Tak jelas apakah nantinya Fiji akan keluar dari keanggotaan persemakmuran dan tak lagi menganggap Ratu Elizabeth sebagai kepala negara. Yang pasti, Menlu Inggris Geoffry Howe sudah mengancam, jika Fiji "bedol" dari persemakmuran, "bantuan akan dihentikan". Walaupun mendapat dukungan para kepala suku pribumi Fiji, kudeta Rabuka dikecam Inggris, AS, Australia, dan Selandia Baru. Banyak yang menuduh Rabuka cuma menyalurkan ambisi pribadinya untuk berkuasa. Dikhawatirkan kelak, apabila Fiji akhirnya menjadi republik, akan lenyap juga tradisi demokrasi yang telah lama mengakar di negeri berbau wangl cendana ini. Dan pertikaian rasial pun akan berkecamuk lagi. F.S., Laporan kantor-kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini