Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Peta Pembuka Kesadaran

Peta hijau Jakarta diluncurkan pekan lalu. Satu upaya mempertahankan ruang hijau di sebuah kota besar yang dijejali tembok beton.

26 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA bukan lagi tempat hunian yang nyaman. Seiring dengan itu, kualitas lingkungannya juga semakin memprihatinkan. Nyonya Lien, 68 tahun, harus kecewa dengan apa yang dilihatnya akhir pekan lalu. Ibu rumah tangga di bilangan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, ini waktu itu berjoging menyusuri Kali Cempaka Putih. Ia terbiasa berolahraga pagi dan saat itu ingin melakukannya di sepanjang aliran sungai.

Tapi, sesampai di Jalan Yos Sudarso, aliran air terhenti gara-gara tembok beton. Sungai dibelokkan ke kanan, menuju wilayah Sumur Batu. Celakanya, di sini sungai kecil itu menyempit dan ujung-ujungnya berubah menjadi got. Bayangkan, sungai dikerdilkan menjadi selokan! Melihat ini, Lien balik arah. Niatnya menikmati sungai hilang sudah.

Pengalaman Lien yang tak sedap ini hanya konsekuensi dari penataan kota DKI Jakarta. Lihatlah Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta Periode 2000-2010. Di sini ruang terbuka nan hijau dipangkas menjadi hanya 13,94 persen dari luas kota. Padahal, dalam rencana periode 1985-2005, ruang yang biasa disebut paru-paru kota itu diberi jatah 25,85 persen. Kualitas lingkungan merosot sehingga Jakarta menjadi gersang dan rentan terhadap ancaman banjir.

Penciutan paru-paru kota juga membuat warga Jakarta semakin mendambakan lingkungan yang sarat dedaunan dan dialiri air sungai. Tak aneh, di mana banyak pepohonan, di situ banyak warga berkumpul. Situ Menteng, misalnya, tak pernah sepi dari pengunjung.

Untuk mencari wilayah hijau itulah, Selasa minggu lalu, di sebuah toko buku di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, diluncurkan Peta Hijau Jakarta edisi kedua. Dicetak sebanyak 5.000 lembar, peta ini berisi informasi kawasan untuk hidup berkelanjutan di Kebayoran Baru dan Kemang, ditambah peta ruang terbuka hijau di DKI Jakarta. Wilayah yang ditandai dalam peta ini, menurut seorang penggagasnya, Marco Kusumawijaya, merupakan lokasi-lokasi untuk berperilaku secara bertanggung jawab, kaya secara budaya, dan sadar lingkungan.

Peta ini dibuat dengan sistem dan lambang universal yang digunakan di lebih dari 170 tempat di dunia. Sistemnya dikembangkan oleh Green Map System pimpinan Wendy Brawer di New York, Amerika Serikat. Wendy, sang arsitek lanskap, mendapat ide peta hijau ketika dilempari batu oleh seekor orang utan di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta, pada 1989.

Peta hijau Jakarta pertama kali masuk daftar peta hijau dunia awal tahun lalu. Yayasan Aikon Media Publik dan Marco Kusumawijaya nekat mendaftarkannya, padahal ketika itu petanya sendiri belum dibuat. Toh, Jakarta menjadi kota ke-156 dan ibu kota ke-20 yang memiliki peta hijau.

Setelah mendaftarkannya, barulah Aikon, Marco, dan banyak relawan lain berusaha menerbitkan edisi perdana. Sebulan kemudian, dengan banyak kekurangan, terbitlah edisi perintis peta hijau Jakarta. Kehadirannya tanpa publikasi sama sekali. Peta yang menggambarkan kawasan Kemang ini menyembul di halaman tengah majalah Aikon. Kelahiran edisi awal tersebut menjadi tonggak kehadiran komunitas peta hijau di negeri ini. Empat bulan kemudian, muncul peta hijau Yogyakarta yang menampilkan kawasan Jero Beteng.

Edisi pertama kemudian disusul edisi kedua peta hijau Jakarta. Edisi kali ini merupakan peta hijau ke-119 di dunia yang beroleh kehormatan diterbitkan dalam Konferensi Global I Peta Hijau di Bellagio, Italia, awal Desember lalu. Peta ini disiapkan selama setahun, melibatkan tak kurang dari 66 orang relawan.

Selain bersifat informatif, peta ini bertujuan menggugah kepedulian warga terhadap lahan hijau di sekitarnya. Dalam jangka panjang, peta ini bisa berfungsi sebagai indikator pengelolaan lingkungan. Sebab, jika peta ini dibuat setiap tahun, akan terlihat berubahnya kawasan hijau. Sayangnya, indikator wilayah yang buruk lingkungan masih belum muncul di peta ini. "Kami masih harus memikirkan konsekuensi hukum dari penandaan indikator buruk ini," ujar Nila Y. Indriyawati, seorang relawan.

Karena itu, di atas peta ini belum bisa ditemukan ikon yang mencirikan wilayah dengan penataan sampah yang buruk atau wilayah yang menjadi sumber pencemaran. Kekurangan ini lalu diakali dengan memberikan keterangan atas wilayah bersangkutan.

Terlepas dari kekurangannya, peta ini akan sangat bermakna bagi upaya meningkatkan kesadaran akan pentingnya hidup berkelanjutan. Langkah awal ditandai dengan menumbuhkan kecintaan terhadap alam. Selanjutnya, kesadaran itu diwujudkan dalam perbuatan nyata, misalnya dengan mempertahankan luas lahan hijau dan meningkatkan kualitasnya. Tentu diharapkan dalam peta edisi berikutnya, Jakarta akan terlihat lebih hijau dan semakin ramah lingkungan.

Agus Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus