Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKOLAH itu ada di Distrik Daxing, pinggiran selatan Beijing, Cina. Lukisan bunga warna-warni menghiasi tembok luarnya, membuat bangunan sekolah yang bekas pabrik itu tampak lebih "ramah". Ketika Tempo bertandang ke sana, akhir Juni lalu, sekitar 600 siswa sedang berkumpul di halaman untuk melakukan senam pagi sebelum pelajaran dimulai.
Ini bukan sekolah biasa. Namanya Sekolah Dandelion atau dalam bahasa Mandarin disebut Pu-Gong-Ying. Lembaga pendidikan setingkat sekolah menengah pertama ini menampung anak-anak pekerja migran di Beijing. Sejak berdiri pada 2005, sekolah swasta ini menggratiskan biaya pendidikan untuk sebagian besar muridnya.
Ada ratusan ribu pekerja migran di Beijing. Mereka datang dari desa-desa di sekitar ibu kota Cina itu dan menjadi buruh kasar, pekerja bangunan, pedagang kaki lima, dan berbagai pekerjaan sektor informal lainnya. Sayangnya, sistem pencatatan kependudukan Cina—lazim dikenal dengan sebutan Hukou—tidak mengakomodasi mereka.
Di Cina, penduduk hanya bisa terdaftar di daerah asalnya. Meski sudah bekerja di Beijing, misalnya, sistem Hukou tidak bisa menerbitkan kartu registrasi untuk para pekerja migran di sana. Walhasil, mereka pun jadi "warga liar" di Ibu Kota. Mereka tidak berhak mendapat fasilitas kesehatan, pensiun, perumahan, dan pelayanan publik apa pun.
Anak-anak mereka juga tidak bisa masuk sekolah, termasuk di sekolah swasta sekalipun. Pekerja migran yang telantar di kota-kota besar Cina ini sekarang jadi masalah sosial tersendiri. Total jumlahnya diperkirakan 80 juta orang.
Problem inilah yang hendak dijawab oleh Sekolah Dandelion. "Bersekolah di sini adalah kesempatan mereka untuk mengubah hidup," kata Cheng Jianfang, direktur akademik sekolah ini. Saking miskinnya murid Dandelion, sebagian besar harus ditampung gratis di asrama sekolah. "Rumah mereka terlalu jauh atau tak layak huni," kata Jianfang. Setelah tiga tahun di Dandelion, diharapkan siswa bisa melanjutkan ke sekolah kejuruan agar siap bekerja.
Sejak awal berdirinya, Sekolah Dandelion disokong oleh deretan panjang dermawan. Merekalah yang menjadi orang tua asuh untuk anak-anak pekerja migran di sana. Semua fasilitas pendidikan, dari komputer sampai buku, juga berasal dari sumbangan berbagai yayasan amal.
Seiring dengan semakin majunya perekonomian Cina, jumlah orang kaya di sana memang bertambah berkali-kali lipat. Pada daftar miliarder dunia versi majalah Forbes tahun ini, ada 122 orang superkaya di Cina. Jumlah itu terbanyak kedua sejagat, setelah Amerika Serikat.
Para konglomerat itu kini memulai gerakan sosial baru lewat program filantropi yang masif. "Mereka ingin berbuat sesuatu untuk masyarakat," kata Wang Zhenyao, Ketua Institut Riset Filantropi Cina, kepada Tempo di Beijing. Institut ini khusus meneliti kecenderungan pola filantropi dan merekomendasikan regulasi yang tepat untuk mengatur keberadaan mereka.
Menurut Zhenyao, sekarang saja sudah ada lebih dari 3.000 yayasan amal di Cina. Tak hanya menyokong sekolah untuk kaum papa seperti Dandelion di Daxing, mereka juga ada di garis depan penyumbang jika terjadi bencana alam, membantu pendirian pusat pelayanan kesehatan dan panti jompo, serta membagikan beasiswa pendidikan.
Dalam lima tahun terakhir, filantropi—gerakan amal untuk membantu sesama—memang sedang jadi tren baru di Cina. "Awalnya adalah gempa bumi di Sichuan," kata Zhenyao. Pada Mei 2008, sebuah lindu raksasa berkekuatan 7,9 skala Richter menggetarkan Provinsi Sichuan di bagian barat Cina. Gempa itu menewaskan lebih dari 90 ribu orang dan mengubah hidup jutaan orang.
"Waktu itu, untuk pertama kalinya, bantuan terbesar datang dari dalam negeri. Sebelumnya, sumbangan bencana lebih banyak datang dari Hong Kong atau Taiwan," tutur Zhenyao. Sejak itu secara bertahap regulasi untuk pemberian donasi, pendirian yayasan filantropi, dan transparansi pengelolaan dana amal mulai terbentuk.
Gempa di Sichuan itu juga mengorbitkan nama Dezhi Lu. Saudagar asal Shenzhen itu adalah salah satu pionir gerakan filantropi di Tiongkok. Pada 2008, setelah gempa, dia mendirikan yayasan amal Huamin. Tak tanggung-tanggung, dia menyumbangkan miliaran yuan dari kekayaannya untuk berbagai proyek pendidikan dan kesehatan.
Ditemui Tempo di sebuah diskusi di Beijing, Juni lalu, Dezhi tak mengesankan sebagai pengusaha tajir. Dia hanya mengenakan setelan katun cokelat dengan rompi bernada senada. Yang memuat dia berbeda mungkin hanya deretan ajudan dan pengawal pribadi di sekelilingnya. "Saya hanya ingin uang yang saya kumpulkan bermanfaat untuk tujuan yang mulia," kata Dezhi dengan nada ringan, ketika ditanya apa motifnya jadi filantropis.
Dia lalu bercerita bagaimana dia membangun kerajaan bisnisnya dari nol. "Pada satu titik saya percaya, orang kaya harus mengembalikan kekayaannya kepada masyarakat untuk menyempurnakan kemanusiaan," katanya serius dalam bahasa Mandarin. Seorang staf menerjemahkan ucapannya dengan sigap. Semakin pundi-pundinya tebal, Dezhi justru merasa kian punya kewajiban moral untuk berkontribusi pada publik.
Orang seperti Dezhi kini semakin banyak di Cina. Bintang film kung fu Jet Li, misalnya, sudah punya yayasan amal sendiri. Juga banyak orang kaya lain. Wang Zhenyao meyakini para filantropis ini akan kian berperan dalam perumusan kebijakan publik pada masa mendatang. "Apalagi Cina sekarang sedang berada dalam proses reformasi sosial, jadi akan ada banyak tantangan," katanya.
Dia lalu menunjuk perubahan demografi Cina sebagai salah satu tantangan terbesar negara itu. Sekarang saja tingkat fertilitas di Cina per tahun sudah menurun jadi 1,4 bayi per ibu. Menurut sensus 2010, satu dari 10 warga Cina berusia di atas 65 tahun. "Populasi Tiongkok sudah menua. Ini tentu jadi beban tersendiri untuk ekonomi kami," kata Wang Feng, ekonom dari Pusat Kajian Kebijakan Publik Brookings-Tsinghua, di Beijing.
Pada saat bersamaan, pertumbuhan ekonomi Cina kian lambat. Tahun ini ekonomi Tiongkok hanya tumbuh 7,5 persen, jauh di bawah pertumbuhan dua digit yang biasa mereka nikmati lima tahun lalu. Perlambatan ini disebabkan oleh menurunnya nilai ekspor Cina yang terpukul krisis di Amerika dan Eropa. "Untuk memastikan pendapatan penduduk tak merosot, Cina harus mengubah model pembangunan ekonominya dengan lebih menekankan konsumsi domestik," kata Wang Feng lagi.
Karena itulah pemerintah kini membuka pintu lebar-lebar untuk para filantropis. Donasi mereka bisa jadi pelengkap untuk program-program sosial negara dan membantu menutup celah kecemburuan sosial akibat kesenjangan kaya-miskin.
Dezhi Lu dan rekan-rekannya juga diuntungkan oleh merosot drastisnya kepercayaan publik pada lembaga sosial bentukan pemerintah. Salah satu penyebabnya adalah skandal Guo Meimei pada 2011. Gadis yang bekerja di Palang Merah Cina itu tertangkap basah di media sosial memamerkan kekayaannya berupa mobil sport mewah sampai perhiasan intan berlian. Publik pun marah dan menuduh Meimei memanfaatkan donasi warga untuk keperluan pribadi. Sejak itu orang Cina lebih suka menyumbang untuk yayasan swasta ketimbang Palang Merah.
Wang Zhenyao yakin, skandal Meimei dan semakin kuatnya peran lembaga nonpemerintah, seperti yayasan amal, akan jadi aktor tak terduga dalam arus besar perubahan di Cina. "Anda tak akan menyangka bahwa kelak perubahan sosial justru dimulai dari gerakan filantropi seperti ini," katanya penuh harap.
Wahyu Dhyatmika (Beijing)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo