Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Para Perempuan di Palagan Aleppo

Konflik bersenjata di Suriah yang berlarut-larut menyeret perempuan ke dalam pertempuran. Dendam dan menjaga diri dari kejahatan perang menjadi alasan ikut memanggul senjata.

9 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAIN hitam menutup hampir seluruh wajah. Penampilan Nora Husari makin gahar dengan mengenakan pakaian dan sarung tangan berkelir sama, serta rompi antipeluru bermotif loreng. Di bahu tersampir Avtomat Kalashnikova 1947 alias AK-47, senapan terkenal buatan Rusia. Di Distrik Salah el-Din, di utara Kota Aleppo, Suriah, perempuan itu ikut memanggul senjata melawan pemerintah Bashar al-Assad. Ia bergabung dengan Brigade Al-Tawhid, yang bernaung di bawah Free Syrian Army (FSA) atau Tentara Pembebasan Suriah.

"Saya melihat anak-anak dan perempuan menangis di depan mata saya karena Bashar al-Assad membunuh ayah, saudara, atau suami mereka," kata Husari mengungkapkan alasannya turut berperang. "Hal itu membuat hati saya sakit. Semakin lama saya semakin benci pada rezim sehingga saya memutuskan berperang." Husari bukan pemanis. Dia bertugas di garis depan sebagai sniper alias penembak jitu. Husari mengklaim setidaknya telah membunuh delapan tentara pemerintah. Apa yang dilakukan ini jauh dari bayangannya. Sebelum perang, Husari berprofesi sebagai penata rambut, merawat kuku, dan memanjakan perempuan di salon kecantikan di Aleppo, kota yang kini berantakan karena menjadi medan pertempuran dalam dua setengah tahun terakhir.

Komandan regu Husari adalah Um Mohammed, ibu empat anak dan istri pejuang Tentara Pembebasan yang juga berperang di Salah el-Din. Um Mohammed mengatakan berperang untuk menghalangi tentara rezim Assad menguasai wilayahnya dan mencegah kejahatan perang terhadap perempuan, seperti pemerkosaan. "Perempuan selalu menjadi korban. Kami tak mau mengalaminya," kata Um Mohammed.

Tingginya angka pemerkosaan memang menjadi faktor utama terjadinya eksodus pengungsi perempuan dan anak-anak ke negara tetangga, seperti Yordania dan Libanon. Organisasi International Rescue Committee (IRC) dalam laporan bertajuk "Syria: A Regional Crisis", Januari lalu, menyebutkan kasus pemerkosaan sebagai hal yang signifikan dan mengganggu dalam perang Suriah. "Dalam tiga penilaian IRC di Libanon dan Yordania, rakyat Suriah menjadikan pemerkosaan sebagai alasan utama keluarga mereka meninggalkan negeri ini," kata laporan tersebut. Sayangnya, lembaga yang berbasis di Amerika itu tidak menyebut angka. Mengenai jumlah, Komisi Rekonsiliasi Nasional Suriah (KRNS) memperkirakan, sejak perang pecah, kasus pemerkosaan di Damaskus mencapai 37 ribu. Data tersebut hanya di ibu kota Suriah itu, belum di kota-kota lain.

Konflik bersenjata di Suriah, yang pecah sejak Maret 2011, kini menyeret perempuan dalam pertempuran. Di sisi lain Aleppo, tentara FSA mengenal perempuan yang dipanggil Guevara, diambil dari Ernesto "Che" Guevara, revolusioner Kuba kelahiran Argentina. Tak ada yang tahu pasti nama sebenarnya perempuan 36 tahun itu. Tapi, di jalanan Aleppo, dia dikenal dengan sebutan "penembak jitu perempuan".

Kepada Telegraph, Guevara mengaku sebagai mantan guru bahasa Inggris sekolah dasar di Aleppo. Kini posnya adalah rumah-rumah setengah hancur di Aleppo. Melalui lubang sebesar kepalan tangan, ia membidik musuh dengan senapan FN buatan Belgia. Sasarannya adalah tentara Suriah yang melakukan patroli. Namun perang tak menghilangkan sisi femininnya. Alis mata terlihat rapi, blush dan eyeliner tipis melengkapi penampilannya. Pakaian tempurnya dilengkapi sepatu bot dengan hak serta gelang emas melingkar di pergelangan tangan kirinya. Guevara mengatakan ia memilih menjadi sniper setelah dua anaknya, putri berusia 7 tahun dan putra berusia 10 tahun, tewas terbunuh beberapa bulan lalu. Saat itu, rumahnya hancur digempur jet tempur pemerintah. "Saya tak akan pernah melupakan darah anak saya. Saya sudah berjanji membalas dendam," kata mantan mahasiswi Universitas Aleppo itu.

Menurut Direktur Pusat Kajian Timur Tengah Universitas Oklahoma Joshua Landis, pejuang perempuan di Suriah sebenarnya masih jarang. Sebab, sebagian besar warganya beraliran konservatif. "Ada beberapa pejuang wanita di antara kaum pemberontak. Tapi jumlah mereka masih sedikit," kata Landis. Rami Abdel Rahman, Direktur Syrian Observatory for Human Rights, organisasi di London yang memantau kondisi Suriah, mengatakan tak semua wilayah perempuan ikut berperang. Ia memperkirakan jumlahnya berkisar 5.000 orang. Selain di Aleppo, terdapat unit tentara perempuan di Latakia, kota pelabuhan di pinggir Laut Mediterania. Di kota ini terdapat Brigade Khawla binti Al-Azwar, diambil dari nama pejuang wanita pada zaman Nabi Muhammad, di bawah pimpinan Hanin Farez. Perempuan 45 tahun yang lebih dikenal dengan Ummi Hassan itu mengepalai 30-an tentara perempuan.

Pemerintah Assad juga punya paramiliter khusus perempuan yang dinamai Lioness for National Defense. Mereka biasanya ditempatkan di pos penjagaan. Langkah ini kabarnya dilakukan lantaran banyak pos yang kosong karena ditinggal membelot dan jumlah tentaranya yang kian menyusut. Disebutkan sekitar lima persen dari tentara pemerintah yang berjaga di pos penjagaan kini diisi perempuan. Mereka dilatih menembak, pertolongan pertama, dan pelatihan dasar militer di sebuah kamp di Wadi al-Dahab, Homs. Reuters menulis, mereka mendapat bayaran 15 ribu pound Suriah atau sekitar Rp 1,6 juta per pekan—bukan angka yang kecil untuk situasi Suriah saat ini. "Dan mereka jauh lebih galak dibanding tentara laki-laki," kata Basil al-Hamwi, Komandan Batalion Knight of the Right, sayap FSA, di Hama.

Tapi tak semua menerima kehadiran tentara perempuan. Tak sedikit yang sinis. Seorang mantan komandan militer Suriah yang membelot dan kini memimpin 2.500 personel FSA skeptis dengan kehadiran tentara perempuan. "Bisa Anda bayangkan perempuan berperang di sana?" kata pria yang menyebut dirinya Abu Hamza, 37 tahun. "Di Suriah, apa yang bisa mereka lakukan? Bahkan banyak laki-laki yang tak sanggup bertahan."

Abu Hamza bukan meremehkan. Palagan Suriah tak kunjung menunjukkan ujung. Selama 29 bulan, sudah lebih dari 100 ribu orang tewas dari kedua belah pihak. Hingga kini tak satu pun kubu, baik Assad maupun pemberontak, yang benar-benar menunjukkan tanda-tanda akan menang. Pemberontak menguasai wilayah pedesaan di bagian utara dan timur, sementara Assad sukses mempertahankan Ibu Kota Damaskus, kawasan pantai barat, dan sebagian Aleppo, kota terbesar di negara itu.

Tudingan penggunaan senjata kimia di Ghouta, wilayah pertanian di Rif Dimashq, sebelah timur Damaskus, 21 Agustus lalu, kian menambah ruwet. Serangan yang disebut intelijen Amerika menewaskan 1.429 orang, termasuk 426 anak-anak, itu menjadi bekal untuk menyerang Suriah. Presiden Amerika Barack Obama hanya tinggal menunggu lampu hijau dari Senat, yang rencananya bersidang pada awal pekan ini. Komisi Luar Negeri Senat bahkan sudah membuat rancangan resolusi. Isinya pembatasan serangan Amerika selama 60 hari, yang bisa diperpanjang 30 hari, dan tidak ada pengiriman tentara ke wilayah Suriah.

Jadi atau tidak Amerika menyerang, Um Mohammed dan Husari tetap akan berperang. "Peran perempuan sangat besar di revolusi ini. Mereka tak akan sukses tanpa kami," kata Husari.

Raju Febrian (NY Times, Huffingtonpost, Telegraph, NBCNEWS)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus