Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Badai #MeToo Menggulung Korea

Gerakan perlawanan terhadap pelecehan seksual terus bergemuruh di Korea Selatan. Calon wali kota dan calon presiden pun mundur.

8 April 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Cina menghukum mati seorang godfather Kota Tambang. Langkah keras Xi Jinping dalam memberangus koruptor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG perempuan eksekutif Hyundai Motor, pabrik otomotif terbesar Korea Selatan, mundur dari jabatannya, Rabu pekan lalu. Dia dituduh telah memaksa perempuan bawahannya berjoget dengan para lelaki anggota staf perusahaan itu. Demikian dilaporkan kantor berita Korea, Yonhap.

Dalam pernyataannya, Hyundai Motor mengatakan bahwa isu yang dilaporkan media itu tidak mencerminkan kebijakan perusahaan. "Kami akan mengambil tindakan yang tepat terhadap setiap penyimpangan atau pelanggaran oleh individu dalam perusahaan yang tidak memastikan kesetaraan di tempat kerja," begitu menurut Hyundai Motor.

Ini perkembangan mutakhir dari gelombang gerakan #MeToo, tagar di media sosial untuk mendukung korban pelecehan seks. Hal ini dipicu oleh kasus Larry Nassar, dokter olahraga yang didakwa melecehkan 155 perempuan di Michigan, Amerika Serikat, tahun lalu. Gerakan ini pun merebak ke seluruh dunia hingga sampai di Korea Selatan.

Sejak tagar itu populer di Korea pada Januari lalu, sejumlah perempuan membuat pengakuan terbuka tentang pelecehan seksual yang mereka alami. Satu per satu para terduga pelaku pelecehan mundur dari ruang publik. Polisi juga memburu sebagian dari mereka.

Chung Bong-ju, bekas anggota parlemen nasional Korea, termasuk yang tergulung kasus ini. "Saya akan mundur dari pencalonan Wali Kota Seoul dan menghentikan semua kegiatan publik," tulis Bong-ju di akun Twitternya, Rabu dua pekan lalu.

Awal Maret lalu, media lokal Pressian mengangkat pengakuan seorang perempuan yang pernah dicium Bong-ju di sebuah kafe hotel di Yeouido, Seoul, 23 Desember 2011. Saat itu sang perempuan masih mahasiswa.

Pada mulanya, Bong-ju mengklaim tidak bersalah dan tidak pernah ke hotel itu atau bertemu dengan sang perempuan di hari tersebut. Politikus 57 tahun itu malah mengajukan tuntutan hukum terhadap enam wartawan yang dinilainya telah membuat tuduhan palsu melalui beritanya. Belakangan, Bong-ju mencabut tuntutannya karena mengaku menemukan catatan kartu kredit penggunaan hotel itu pada hari insiden. Namun politikus yang pernah dipenjara karena melanggar undang-undang pemilihan umum itu tetap menyatakan "tak ingat soal insiden tersebut".

Bong-ju tak bisa berkutik ketika perempuan itu menggelar konferensi pers pada Selasa dua pekan lalu dan menunjukkan kepada wartawan catatan check-in-nya di hotel. Bong-ju pun mundur dari pemilihan Wali Kota Seoul, yang akan berlangsung pada Juni nanti.

Tokoh lain yang tertelan gelombang #MeToo adalah An Hee-jung, mantan Gubernur Provinsi Chungcheong Selatan yang menjadi kandidat presiden dari Partai Demokratik. Dia dituduh telah memerkosa dua perempuan dalam sejumlah kejadian. Dua perempuan itu menggugat Hee-jung ke pengadilan.

Salah satu korbannya itu adalah Kim Ji-eun, sekretaris Hee-jung ketika ia menjadi gubernur. Ji-eun muncul dalam siaran televisi pada awal Maret dan mengungkapkan bahwa dia diperkosa Hee-jung sebanyak empat kali selama Juni 2017-Februari 2018. Perempuan lain, yang bekerja di lembaga strategi politik Hee-jung, mengaku diperkosa Hee-jung sebanyak tujuh kali selama lebih dari setahun sejak 2015. "Saya tak pernah bisa menolaknya. Saya selalu harus mematuhi perintahnya," kata Ji-eun.

Kantor An Hee-jung buru-buru mengeluarkan pernyataan: kalau benar Hee-jung berhubungan seks dengan Kim Ji-eun, itu terjadi karena kemauan kedua pihak. Tapi Hee-jung kemudian mencabut pernyataan itu dan mengakui tuduhan Ji-eun. "Sekretaris kantor saya salah. Segalanya itu salah saya," ujarnya. Hee-jung akhirnya mundur dari pencalonan presiden. Tapi kemudian sikapnya berubah lagi dan mengatakan bahwa dia tak pernah berhubungan seks secara paksa dengan dua perempuan itu.

Selama ini An Hee-jung muncul sebagai sosok suami yang baik di media sosial. Hee-jung kerap memajang foto-foto dia bersama istrinya dengan pesan-pesan yang romantis. Dia lalu memamerkan foto-fotonya bersama para perempuan itu sebagai bukti hubungan tersebut tanpa paksaan. Hee-jung mengakui bahwa dia memang berselingkuh dengan para perempuan itu, tapi tak pernah memerkosa mereka. "Saya pikir hubungan itu konsensual, tapi mereka mengklaim tak demikian. Saya mohon maaf kepada mereka," katanya.

Terlepas dari pernyataan Hee-jung yang berubah-ubah itu, kasusnya terus bergulir di Pengadilan Wilayah Barat Seoul. Rabu pekan lalu, jaksa kasus ini mengajukan permohonan penahanan terhadap Hee-jung dengan alasan ia dapat kabur atau menghilangkan alat bukti.

Sementara itu, Kim Ji-eun malah dirisak oleh sejumlah orang. Dia dan keluarganya dituduh telah berafiliasi dengan kelompok politik tertentu dengan motif yang mencurigakan. Ji-eun dan kelompok itu dituduh berencana menghancurkan karier An Hee-jung. Ji-eun membantahnya. "Saya cuma orang biasa. Saya dan keluarga saya tak ada hubungannya dengan kelompok politik mana pun," ujarnya.

Gelombang #MeToo juga menelan Jo Min-ki, dosen dan bintang film terkenal Korea. Dia dituduh melecehkan mahasiswanya di Cheongju University, tempat ia mengajar sejak 2010. Min-ki membantah tuduhan itu, tapi bersedia bekerja sama dengan polisi. Namun awal Maret lalu, tiga hari sebelum diperiksa polisi, Min-ki bunuh diri di apartemennya.

Seniman lain yang juga terseret gerakan ini adalah sutradara teater terkenal Lee Youn-taek. Dia diduga melecehkan 17 perempuan dalam 62 kasus selama 1999-2016. "Lee Youn-taek membantah sebagian tuduhan, tapi mengakui sebagian lain," kata polisi, seperti dikutip Chisun Ilbo. Tapi, menurut polisi, dakwaan pemerkosaan tak bisa diterapkan semua. Hukum yang memungkinkan penyelidikan atas kejahatan seksual tanpa pengaduan korban baru berlaku sejak 2013, sedangkan banyak kasus itu terjadi sebelumnya.

Pria 66 tahun itu mendekam di tahanan sejak akhir Maret sambil menunggu kasusnya disidangkan. "Saya akan mengungkap kebenarannya di pengadilan karena ada kebenaran dan pemelintiran (dalam pengakuan para korban)," ujar Youn-taek. "Saya mohon maaf dan dengan senang hati akan menerima hukuman apa pun."

Presiden Korea Selatan Moon Jae-in mendukung gerakan ini. "Kita harus mengambil kesempatan ini, meskipun memalukan dan pedih, untuk mengungkap kenyataan dan menemukan solusinya," katanya, Februari lalu.

Sebanyak 30 persen kursi kabinet Moon Jae-in diisi perempuan; jumlah terbanyak dalam sejarah Korea. Pemerintah Korea juga mengumumkan langkah-langkah untuk menjatuhkan hukuman yang lebih keras terhadap perilaku seksual yang tidak senonoh di tempat kerja.

Lee Eun-eui, perempuan pengacara yang dianggap salah satu tokoh kunci #MeToo, mengatakan gerakan ini memungkinkan perempuan untuk angkat suara. "Masyarakat Korea tidak biasa mendengar kisah dari sudut pandang para korban," ujarnya kepada USA Today. "Tapi kini telah terjadi."

Eun-eui dulu bekerja di Samsung. Perempuan 44 tahun itu menyeret raksasa teknologi Korea tersebut ke pengadilan setelah melaporkan bahwa bosnya telah melecehkannya. Eun-eui menang dan mendapat ganti rugi sekitar Rp 468 juta pada 2010. Dia lalu keluar dari perusahaan itu dan masuk sekolah hukum.

Setelah lulus sebagai advokat pada 2015, Eun-eui buka praktik sendiri karena sebagian besar firma hukum tidak akan mempekerjakan "peniup peluit" seperti dia. Popularitas Eun-eui saat menang melawan Samsung menarik banyak perempuan mengadu kepadanya. Sekitar 70 persen kasusnya adalah pelecehan dan kekerasan seksual dengan klien Park Yoo-chun, bintang K-Pop yang tersandung kasus pemerkosaan.

Lee Eun-eui menilai positif gerakan #MeToo, tapi dia mengingatkan bahwa gerakan ini pada akhirnya akan reda karena sistem hukum Korea masih kuno dalam masalah kekerasan seksual. Korban, misalnya, harus membuktikan seberapa kuat dia sudah melawan penyerangnya. Selain itu, budaya perusahaan di negeri tersebut masih didominasi konglomerat besar yang menyingkirkan "peniup peluit" seperti Eun-eui.

"Fenomena #MeToo memang dramatis, tapi di pengadilan dan secara legal ia tidak sedramatis yang kita kira," katanya. "Mungkin ada aturan dan kebijakan baru, tapi kesadaran hakim tak bisa diubah dengan mudah."

Iwan Kurniawan Reuters, Korea Herald, Korea Joongang Daily, Chisun Ilbo, Usa Today

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus