Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pembunuhan, penyiksaan, dan kekerasan seksual menyeruak dalam konflik di Tigray, Etiopia.
Hampir dua ribu orang tewas sejak perang pecah pada November tahun lalu.
Ada dugaan praktik genosida terhadap etnis minoritas Tigray.
PEREMPUAN 27 tahun itu ditarik keluar oleh sejumlah pria dari bus yang ditumpanginya dalam perjalanan dari Mekelle, ibu kota wilayah Tigray di utara Ethiopia, menuju Kota Adigrat. Ibu dua anak itu dianiaya. Setelah sebelas hari disekap dan diperkosa, dia dibuang dalam kondisi sekarat di semak-semak. Penduduk desa yang menemukannya langsung melarikannya ke rumah sakit. Dari tubuhnya, para dokter mengeluarkan batu dan dua paku sepanjang 8 sentimeter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Serangan brutal terhadap perempuan itu terjadi pada Februari lalu. Dia menyebut pelakunya adalah 23 serdadu Eritrea. Kisahnya masuk laporan berisi 829 kasus kekerasan seksual yang dikumpulkan dari lima rumah sakit di Tigray. Laporan ini juga menjadi laporan pertama yang dirilis pemerintah interim Tigray mengenai kasus kekerasan seksual meski kabar kejahatan tersebut sudah beredar sejak perang pecah di daerah itu pada awal November tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pejabat Departemen Kesehatan di Tigray, Fasika Amdeselassie, mengatakan ada beberapa korban yang disekap hingga berminggu-minggu. Sebagian besar korban yang bisa diselamatkan dalam kondisi hamil atau menderita luka fisik parah yang membuat mereka harus menjalani perawatan intensif. Mereka menyebut pelaku pemerkosaan adalah tentara Ethiopia dan Eritrea. "Mereka dijadikan budak seks," kata Fasika seperti dilaporkan Reuters pada Jumat, 16 April lalu. "Para penjahatnya harus diinvestigasi."
Kasus kekerasan itu juga disampaikan dalam laporan Mark Lowcock dalam Sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 15 April lalu. Ketua Tim Bantuan Kemanusiaan PBB itu menyatakan kekerasan seksual telah dijadikan senjata perang dalam krisis di Tigray. Situasi kian runyam karena akses bantuan tersendat sementara orang-orang kelaparan. "Kondisinya tak membaik," ucapnya.
Perang berkobar di Tigray setelah Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed meluncurkan operasi militer di wilayah tersebut pada 4 November 2020. Operasi itu bertujuan menekan partai politik lokal Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF), yang juga oposisi terbesar sang Perdana Menteri. Abiy menuding milisi TPLF menyerang pangkalan militer pemerintah di Tigray.
Konflik memanas setelah Eritrea dilaporkan mengirim pasukan melintasi perbatasan di utara wilayah Tigray. Mereka juga ditengarai melakukan kejahatan kemanusiaan di sana. Sementara itu, pasukan Ethiopia mendapat bantuan dari milisi etnis Amhara, yang akhirnya menguasai sebagian wilayah barat Tigray yang ditinggalkan serdadu TPLF.
Organisasi sipil Amnesty Internasional melaporkan pasukan Eritrea terlibat dalam pembunuhan ratusan orang di Kota Aksum. Menurut laporan AFP, lebih dari 100 penduduk di Desa Dengolat tewas dibunuh. Adapun laporan PBB menyebutkan dua kamp pengungsi dari Eritrea di Tigray dihancurkan.
Tim peneliti Ghent University, Belgia, melaporkan hampir 2.000 orang tewas dalam konflik itu. Dokumen mereka yang dipublikasikan pada akhir Maret lalu menyebutkan lebih dari 150 pembantaian dilakukan tentara, paramiliter, dan kelompok pemberontak di Tigray. Data hasil pemeriksaan silang laporan keluarga korban dengan berita media massa dan sumber lain itu menjadi rekaman publik terlengkap mengenai pembunuhan massal terhadap warga sipil selama perang.
Pemerintah Ethiopia dan Eritrea sempat membantah kehadiran tentara Eritrea di Tigray. Namun, dalam sidang parlemen Ethiopia pada 23 Maret lalu, Abiy akhirnya membenarkannya. Dua hari kemudian, dia terbang ke Eritrea untuk bertemu dengan Presiden Eritrea Isaias Afwerki. Di akun Twitter-nya, Abiy menyatakan pemerintah Eritrea bersepakat menarik pasukannya dari perbatasan Ethiopia. "Tentara Nasional Ethiopia akan mengambil alih penjagaan di wilayah perbatasan," tuturnya seperti dilaporkan Africanews.
Sengketa perbatasan dan jalur perdagangan menyeruak ketika Eritrea memerdekakan diri dari Ethiopia pada 1993. Sejak itu, pasukan Eritrea berseteru dengan TPLF, yang dibantu tentara dan senjata Ethiopia. Diperkirakan 80 ribu orang tewas dalam peperangan yang berakhir pada Desember 2000 itu. Meski demikian, bara konflik tak kunjung padam.
Situasi berubah setelah Abiy Ahmed terpilih sebagai perdana menteri pada 2018. Dominasi politik TPLF runtuh. Abiy juga meneken deklarasi damai dengan Presiden Isaias Afwerki. Upaya Abiy mengakhiri perang itu membuatnya diganjar Hadiah Nobel Perdamaian pada 2019.
Meningkatnya kekisruhan politik antara koalisi Abiy dan TPLF juga menjadi pemicu perang. TPLF menuding Abiy mengambil keuntungan dari pemilihan umum parlemen pada September 2020 yang sempat ditunda karena pandemi Covid-19. Parlemen Ethiopia juga menghentikan pendanaan untuk Tigray sehingga membuat TPLF meradang.
Menurut pemimpin TPLF, Debretsion Gebremichael, pasukan Ethiopia dan Eritrea melancarkan genosida di Tigray. Kasus pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, dan kelaparan meluas di daerah itu. Seperti dilaporkan BBC pada 31 Januari lalu, Debretsion merilis pernyataan itu dalam rekaman audio berdurasi 20 menit yang dimuat di akun Facebook TPLF. Itu adalah pernyataan publik pertamanya setelah melarikan diri dari Kota Mekelle pada 28 November 2020. Debretsion kini masuk daftar buruan pemerintah Ethiopia karena dianggap melakukan pengkhianatan.
Pemerintah Ethiopia menyebut klaim Debretsion tak berdasar. Juru bicara Perdana Menteri Abiy, Billene Seyoum, menyebut Debretsion dan kelompoknya sebagai pelaku kriminal. "Mereka berusaha mencari perhatian dunia dengan membuat klaim ada genosida sejak November tahun lalu untuk menutupi kejahatan keji TPLF," ujar Billene.
Hingga kini, perang di negara di kawasan Afrika Timur itu belum juga reda dan kekerasan terhadap penduduk Tigray terus berlangsung. Warga etnis Tigray adalah kelompok minoritas dengan populasi sekitar 6 juta jiwa atau 6 persen dari total penduduk Ethiopia. Konflik itu kini membuat sekitar 2 juta orang kehilangan rumah dan lebih dari 60 ribu lainnya mengungsi ke luar negeri.
Laporan Associated Press pada 7 April lalu menyebutkan ribuan warga Tigray telah lari dari kampung mereka ke kamp pengungsi di Sudan. Mereka yang selamat memiliki luka-luka pukulan atau terkena pelor. Mereka juga mengungkapkan bahwa ada upaya pembersihan penduduk etnis Tigray dengan penerbitan kartu identitas baru yang dikeluarkan oleh otoritas etnis Amhara.
Seid Mussa Omar, seorang perawat, mengatakan otoritas Amhara membakar kartu identitasnya sebagai warga Tigray. Seid mendapat kartu identitas baru yang ditulis dalam bahasa Amhara dan dicap dengan stempel Amhara. Menurut dia, dari 400 pegawai di rumah sakit tempatnya bekerja, hanya tersisa sepuluh orang Tigray. Sisanya sudah kabur atau malah terbunuh. "Ini genosida. Target mereka adalah memusnahkan orang Tigray."
GABRIEL WAHYU TITIYOGA (REUTERS, THE GUARDIAN, AFRICA NEWS, FINANCIAL TIMES, DEUTSCHE WELLE)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo