Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
KPK disebut menghentikan kasus BLBI setelah meminta pendapat Wakil Menteri Hukum Eddy Hiariej.
Penetapan tersangka Sjamsul Nursalim berjalan alot.
Sejumlah teror dialami pimpinan dan penyidik KPK saat menangani kasus BLBI.
DIUSUT oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sejak 2013, kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) akhirnya resmi menguap pada Kamis, 1 April lalu. Hari itu KPK resmi mengumumkan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) untuk kasus korupsi BLBI. Dua orang yang terjerat kasus itu, Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih, tak lagi menyandang status tersangka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelaksana tugas juru bicara KPK, Ali Fikri, mengatakan ada tiga kali gelar perkara sebelum lembaganya mengeluarkan keputusan tersebut. Lima pemimpin, direktur penuntutan, dan pejabat struktural di lembaga antirasuah bersepakat menghentikan kasus yang merugikan negara hingga Rp 4,58 triliun itu. “Tidak ada upaya lain yang bisa dilakukan KPK,” kata Ali, awal April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang narasumber yang mengetahui proses penerbitan SP3 BLBI menyebutkan bahwa pimpinan KPK sepakat menghentikan perkara tersebut setelah mendengar pendapat Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej. Sumber yang sama menyebutkan, Eddy berpendapat bahwa kasus Sjamsul dan Itjih bisa dihentikan karena tak ada lagi penyelenggara negara dalam perkara BLBI yang ditangani KPK.
Pada 9 Juli 2019, Mahkamah Agung membebaskan bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin Arsyad Temenggung. Padahal sebelumnya, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat vonis Syafruddin dari 13 tahun penjara dan denda Rp 700 juta menjadi 15 tahun bui dan denda Rp 1 miliar. Hampir setahun berselang, pada Juni 2020, Mahkamah menolak peninjauan kembali yang diajukan KPK.
Kepada Tempo, Eddy Hiariej mengaku mengikuti gelar perkara bersama dua ahli pidana lain pada September 2020. “Saya dimintai pendapat sebagai guru besar hukum pidana, jauh sebelum diangkat sebagai Wakil Menteri Hukum,” katanya. Menurut Eddy, dia mengajukan pendapat berdasarkan putusan kasasi yang membebaskan Syafruddin dengan alasan perbuatannya tidak melawan hukum.
Ia merujuk doktrin hukum pidana yang menyebutkan jika salah satu pelaku peserta dibebaskan karena alasan pembenar, seluruh pelaku peserta lainnya juga harus dibebaskan dengan alasan serupa. Eddy menambahkan, karena Syafruddin dilepaskan oleh MA karena alasan pembenar, “Sjamsul Nursalim sebagai pelaku peserta selayaknya dihentikan prosesnya dengan merujuk pada putusan MA,” kata Eddy.
Syafruddin Temenggung menjadi tersangka kasus BLBI pertama yang ditetapkan oleh KPK. Pada Maret 2017, lima pemimpin KPK, Deputi Penindakan, Direktur Penuntutan, dan sejumlah penyidik menyepakati dengan bulat penetapan tersangka tersebut. Syafruddin menjadi tersangka karena mengeluarkan surat keterangan lunas untuk Sjamsul Nursalim, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang menerima dana BLBI Rp 47,2 triliun. Sjamsul dianggap telah melunasi sisa utang Rp 4,8 triliun pada April 2004. Namun KPK menengarai utang yang terbayar hanya Rp 1 triliun.
Sebagian penyidik menilai Sjamsul juga layak menjadi tersangka. Namun sebagian lagi menolak. Keputusan itu dianggap terburu-buru dan dikhawatirkan mengganggu strategi penyidikan. “Pertimbangannya saat itu karena Sjamsul belum pernah diperiksa sama sekali,” ujar Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, Laode Muhammad Syarif, Sabtu, 17 April lalu.
Sjamsul Nursalim (kanan) bersama Itjih Nursalim pada acara pembukaan Sogo Department Store di Plaza Indonesia, Jakarta, 1990./TEMPO/ Ronald Agusta
Sjamsul tak kunjung menyambut undangan pemeriksaan KPK. Sejak 2001, ia menetap di Singapura. Penyidik khawatir akan interpretasi putusan Nomor 21 Tahun 2014 Mahkamah Konstitusi tentang kewajiban memeriksa seseorang sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Menyiasati kendala itu, kata Syarif, KPK sudah melayangkan surat pemanggilan sebanyak tiga kali ke kediaman Sjamsul di Jakarta dan Singapura. Tapi tak satu pun yang mendapat respons. Penetapan status Sjamsul akhirnya mangkrak.
Pimpinan KPK dan penyidik kembali membahas status Sjamsul pada Agustus 2018. Saat itu, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta sedang mengadili Syafruddin Temenggung. Tak ada perdebatan panjang. Mereka bersepakat Sjamsul dan istrinya, Itjih, layak ditetapkan sebagai tersangka. Salah satu pertimbangannya adalah kesaksian mantan Deputi Aset Manajemen Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BBPN), Mohammad Syahrial, mengenai rapat di kantor BPPN pada 2003.
Saat bersaksi di persidangan Syafruddin, Syahrial mengungkap peran Itjih dalam dua rapat di kantor BPPN pada Oktober 2003 yang membahas nasib penyelesaian utang Rp 4,8 triliun petambak Dipasena kepada BDNI. Aset itu diserahkan ke BPPN sebagai bagian dari pemenuhan kewajiban Sjamsul. Dalam rapat itu, utang petambak ke BDNI yang dijamin PT Dipasena Citra Darmaja dan PT Wachyuni Mandira, dua perusahaan milik Sjamsul, dinyatakan lancar meski belakangan terbukti macet.
Keyakinan KPK makin tebal saat Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis Syafruddin bersalah. KPK akhirnya mengumumkan Sjamsul dan Itjih sebagai tersangka pada 10 Juni 2019. Namun, sekitar 22 bulan kemudian, status tersangka itu lenyap setelah KPK menerbitkan SP3. Sjamsul dan Itjih pun sama sekali tak pernah tersentuh oleh pemeriksaan KPK.
•••
PERJALANAN kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia di Komisi Pemberantasan Korupsi selalu menemui jalan terjal. Wakil Ketua KPK periode 2011-2015, Bambang Widjojanto, mengatakan kasus itu sebenarnya telah dipantau oleh pimpinan periode sebelumnya. Menurut Bambang, pengumpulan informasi perkara BLBI memakan waktu karena unsur pidana tak kunjung ditemukan.
Penyelidikan perkara Sjamsul Nursalim di KPK juga sempat terganjal sejumlah kasus hukum yang menjerat Bambang dan koleganya. Bambang mundur setelah ditetapkan sebagai tersangka pada Januari 2015 karena dinyatakan mengarahkan kesaksian palsu saat menjadi pengacara di persidangan Mahkamah Konstitusi pada 2010. Sebulan kemudian, giliran Ketua KPK Abraham Samad yang menjadi tersangka kasus pemalsuan dokumen.
Pimpinan KPK jilid ketiga kemudian mewariskan penyelidikan kasus BLBI ke tangan Agus Rahardjo, Ketua KPK periode 2015-2019, dan empat pemimpin lain. Di tangan mereka, Sjamsul menjadi tersangka. Namun penyidikan BLBI tak berjalan lancar karena personel KPK mengalami sejumlah teror. Seorang penegak hukum mengatakan seorang penyidik pernah kehilangan laptop berisi dokumen penyidikan BLBI.
Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, Laode Muhammad Syarif, tak menyangkal peristiwa itu. Menurut dia, sejumlah tekanan memang dialami pimpinan ataupun penyidik kala itu. “Itu bagian dari risiko profesi,” tuturnya.
KPK juga merasa tak mendapat dukungan dari lembaga hukum lain. Syarif menyorot putusan kasasi yang membebaskan Syafruddin Arsyad Temenggung. Vonis tersebut dianggap bermasalah karena salah seorang anggota majelis hakim, Syamsul Rakan Chaniago, diduga menemui pengacara Syafruddin, Ahmad Yani, sepekan sebelum putusan bebas. Baik Syamsul maupun Yani membenarkan adanya pertemuan itu. Namun keduanya membantah membahas perkara BLBI.
Jaksa KPK memasukkan kronologi pertemuan itu ke memori permohonan peninjauan kembali yang diajukan ke Mahkamah Agung. Namun, pada Juni 2020, Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan KPK.
RIKY FERDIANTO
----------
Catatan Redaksi: Artikel ini telah diperbarui pada Ahad, 18 April 2021 pukul 09.08. Perubahan terjadi dengan menambahkan keterangan dari Eddy Hiariej.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo