Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Malaysiakini dan pemimpin redaksinya digugat ke pengadilan karena komentar pembacanya.
Ini kasus pidana kedua yang dihadapi Malaysiakini.
Preseden berbahaya bagi kebebasan pers dan kebebasan bersuara.
STEVEN Gan tiba di Pengadilan Tinggi Federal Malaysia di kawasan Putrajaya, Malaysia, Kamis pagi, 2 Juli lalu. Pemimpin Redaksi Malaysiakini itu hendak menghadiri sidang kasus dugaan penghinaan terhadap pengadilan yang diajukan Jaksa Agung Idrus Harun terhadap medianya yang dijadwalkan pada pukul 09.30. Idrus mempersoalkan komentar pembaca atas berita di Malaysiakini dan menggunakan Undang-Undang Komunikasi dan Telekomunikasi serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk menyeret Steven dan medianya ke meja hijau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum sidang dimulai, Steven menyatakan bahwa seharusnya Malaysiakini tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas komentar pembacanya. Apalagi komentar itu sudah dihapus sebelum gugatan dilayangkan. Ia berharap hakim menolak gugatan Jaksa Agung. “Putusan apa pun yang akan mereka ambil akan berdampak luar biasa. Tidak hanya kepada Malaysiakini, tapi juga bagi media dan jutaan warga Malaysia pengguna media sosial,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat sidang dimulai, tiga wakil Malaysiakini tampak masuk ruangan sidang, termasuk CEO Malaysiakini Premesh Chandran. Sidang juga dihadiri peninjau dari organisasi wartawan, media, dan pengacara, yaitu Gerakan Media Merdeka (Geramm), Center for Independent Journalism, Dewan Advokat, dan International Federation of Journalists (IFJ).
Harapan Steven tak menjadi kenyataan. Kepala Pengadilan Tinggi Federal Malaysia Rohana Yusuf, pemimpin sidang tersebut, menyatakan Jaksa Agung memiliki bukti permulaan yang cukup untuk memulai sidang kasus ini. Sidang berikutnya ditetapkan pada 13 Juli. Seusai sidang, Steven mengatakan bahwa pengacara Malaysiakini akan membawa kasus ini ke Pengadilan Federal karena menghilangkan kesempatannya untuk meminta banding.
Ini kasus pidana kedua yang dihadapi media online yang didirikan Steven bersama Premesh Chandran pada November 1999 itu. Kasus pertamanya adalah soal dugaan penghinaan terhadap Jaksa Agung Mohamed Apandi Ali pada 2018. Pemicunya adalah pernyataan mantan Wakil Ketua Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) Batu Kawan, Khairuddin Abu Hassan, pada 2016 yang meminta Apandi mundur dari jabatannya.
Video pernyataan Khairuddin itu ditayangkan di stasiun televisi milik Malaysiakini, KiniTV. Steven dan Premesh dituduh menggunakan posisi mereka untuk mengunggah video yang dinilai merugikan Jaksa Agung. Kasus ini tak berlanjut dan Khairuddin tidak didakwa karena pernyataannya. Hakim juga membebaskan Steven dan Premesh dalam sidang pada 20 September 2018.
Kasus yang dihadapi Malaysiakini sekarang dipicu oleh komentar pembaca atas berita berjudul “Ketua Pengadilan memerintahkan semua pengadilan beroperasi penuh mulai 1 Juli”, yang tayang pada 9 Juni lalu. Berita itu berisi pengumuman yang disampaikan oleh Tengku Maimun Tuan Mat, Ketua Hakim Negara, pemimpin tertinggi badan yudikatif Malaysia. Dalam berita itu, Tengku Maimun menginstruksikan semua pengadilan beroperasi karena pemerintah menyatakan negara sudah masuk tahap pemulihan dari pandemi Covid-19 mulai 10 Juni.
Berita itu setidaknya mendulang 22 komentar dari pembaca dengan memakai akun anonim. Beberapa komentar itulah yang kemudian menjadi dasar bagi Jaksa Agung untuk menyeret Malaysiakini dan Steven ke pengadilan. “Beberapa komentar pembaca menuduh lembaga peradilan melakukan korupsi,” kata Steven. Tapi, “Komentar itu telah kami hapus.”
Sebagian dari tanggapan pembaca itu sudah tidak ada lagi di situs Malaysiakini. Dalam berkas gugatannya, Jaksa Agung menyebutkan lima komentar yang dibuat oleh akun “Ayah Punya Kata”, “GrayDeer0609”, “Legit”, “Semua Boleh - Bodoh pun Boleh”, dan “Victim”. Kelimanya sama-sama berbicara tentang sisi lain dari pengadilan dan hukum di Malaysia. Akun Ayah Punya Kata menulis soal pengadilan tinggi yang membebaskan penjahat tanpa pengadilan. GrayDeer0609 menulis soal “hukum rimba” di Malaysia karena vonis bebas terhadap mantan Ketua Menteri Sabah, Tan Sri Musa Aman.
Akun Semua Boleh - Bodoh pun Boleh menulis tentang politikus yang dijerat dengan 46 dakwaan korupsi tapi dibebaskan pengadilan. Tak ada penjelasan mengenai 46 dakwaan itu. Besar kemungkinan itu terkait dengan kasus korupsi Tan Sri Musa Aman. Musa didakwa jaksa dengan 46 tuntutan pidana karena dugaan menerima gratifikasi senilai US$ 63 juta dan pencucian uang senilai hampir US$ 40 juta. Musa akhirnya dibebaskan dalam sidang pada 9 Juni.
Lima komentar itulah yang menjadi dasar Jaksa Agung Idrus Harun menggugat Malaysiakini. Menurut Idrus, komentar itu berisi tuduhan bahwa “peradilan melakukan kesalahan, terlibat dalam korupsi, tidak menegakkan keadilan, dan itu membahayakan integritasnya”. Ia menilai komentar-komentar ini mengancam kepercayaan publik terhadap peradilan dan Malaysiakini bersalah karena memfasilitasi publikasi komentar yang bernada menyerang pengadilan.
Gayathry Venkiteswaran, pengajar di University of Nottingham, Malaysia, menilai komentar pembaca itu adalah keprihatinan sah masyarakat tentang iklim politik saat ini dan respons pengadilan menanggapi pandemi Covid-19. Mantan Direktur Eksekutif Southeast Asian Press Alliance (SEAPA) ini mengingatkan, pada 1980-an, lembaga peradilan Malaysia pernah menjadi sasaran kritik sehingga perlu ada kewaspadaan untuk memastikan agar lembaga itu independen. “Komentar itu mewakili keprihatinan publik tentang lembaga-lembaga utama di negara ini,” ucapnya kepada Tempo, Rabu, 1 Juli lalu.
Gayathry mengatakan Malaysiakini juga pernah digugat akibat komentar pembacanya pada 2014. Penggugatnya adalah Perdana Menteri Malaysia Datuk Seri Najib Razak dan partainya, UMNO, karena ada komentar pembaca atas berita di Malaysiakini tentang Najib. Gugatan ini akhirnya dibatalkan. Ia menilai gugatan terhadap komentar pembaca atau media yang memuatnya berbahaya bagi demokrasi. “Publik memiliki hak untuk mengekspresikan pandangan mereka dan media adalah platform untuk mengangkatnya,” ujarnya.
Selain itu, kata Gayathry, Malaysiakini pernah menggugat pemerintah ke pengadilan saat permohonannya untuk meminta izin menerbitkan koran ditolak pada 2010. Di Malaysia, penerbitan koran harus mendapatkan izin Kementerian Dalam Negeri. Gugatan itu diterima pengadilan. Upaya kementerian untuk mengajukan permohonan banding ditolak pengadilan pada 2013.
Dua putusan itu memang tak lantas membuat Malaysiakini mendapatkan izin. Sebab, saat mereka mengajukan kembali permohonan izin pada 2014, Kementerian Dalam Negeri kembali menolaknya. Alasan penolakan, seperti dimuat Malaysiakini.com, adalah portal berita ini dinilai “sering menimbulkan kontroversi” dengan menerbitkan berita yang bisa “menyusahkan rakyat” dan “dapat menyebabkan kebencian terhadap para pemimpin nasional”.
Gugatan terbaru terhadap Malaysiakini, dengan sangkaan menghina pengadilan, mengundang kritik dari dalam dan luar negeri. IFJ, organisasi yang beranggotakan 600 ribu jurnalis di seluruh dunia, menyesalkan pemidanaan ini. “Persidangan pengadilan federal akan memberikan preseden berbahaya yang menghambat kebebasan pers jika kasus ini tidak dikesampingkan,” begitu menurut organisasi yang berbasis di Brussel, Belgia, itu dalam siaran persnya.
“Tindakan pengadilan ini menjadi satu lagi hambatan dan tantangan bagi media, yang juga sedang bergelut menghadapi dampak pandemi Covid-19,” ucap Koordinator Geramm Radzie Razak kepada Tempo. Menurut Radzie, langkah Jaksa Agung itu mengukuhkan pandangan umum bahwa pemerintahan baru Malaysia di bawah koalisi Perikatan Nasional tidak menerima perbedaan pendapat. Gayathry Venkiteswaran menyebut fenomena ini sebagai tanda “kembalinya pemerintahan otoriter”.
ABDUL MANAN, ALYAA ALHADJRI (KUALA LUMPUR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo