Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinyal Pasar

Hasil Tak Pasti, Risiko di Depan Mata

Yopie Hidayat
Kontributor Tempo

4 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH Presiden Joko Widodo marah dalam sidang kabinet, pasar finansial seolah-olah ikut meradang terhadap rupiah. Dalam sepekan setelah video kemarahan itu mulai beredar, Ahad, 28 Juni lalu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat merosot 2,31 persen. Hingga akhir pekan lalu, Jumat, 3 Juli, kurs dolar Amerika sudah melewati Rp 14.550.

Sementara itu, pada kurun yang sama, aura positif tengah bergelayut di pasar finansial global. Ada gelagat ekonomi Amerika tetap pulih lebih cepat kendati jumlah kasus baru Covid-19 bertambah lebih dari 50 ribu per hari. Rupiah justru terperosok di tengah optimisme itu.

Merosotnya rupiah kali ini sepatutnya mendapat perhatian serius investor. Ini tak lepas dari postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara terbaru yang direvisi 25 Juni lalu. Ada defisit yang melonjak menjadi di atas 1 kuadriliun, persisnya Rp 1.039 triliun. Lonjakan ini membuat pemerintah harus mencari utang baru yang berasal dari berbagai sumber. Ada pinjaman dari lembaga multilateral, penjualan obligasi dalam mata uang asing di luar negeri, dan yang terbesar tentu dari penjualan obligasi rupiah di dalam negeri. Bagian yang terakhir ini targetnya mencapai Rp 914 triliun.

Angka-angka spektakuler ini membuat pasar mulai berhitung. Investor tak akan sanggup menyerap semua tawaran obligasi itu. Maka fokus perhatian pasar adalah seberapa besar Bank Indonesia akan masuk membeli obligasi itu di pasar perdana. Perundingan antara BI dan pemerintah berjalan alot untuk sampai pada kesepakatan itu.

Hingga tulisan ini naik cetak, ada beberapa skenario yang beredar di pasar. Misalnya, BI akan membeli obligasi pemerintah tanpa bunga senilai Rp 397 triliun. Ada pula skema BI memborong obligasi senilai Rp 504 triliun dengan bunga sebesar 1 persen di bawah suku bunga acuan. Secara resmi, belum ada keputusan bersama. Namun pasar sudah mulai bergerak mengantisipasi.

Kebijakan itu memang berkonsekuensi besar. Pembelian obligasi pemerintah oleh BI di pasar perdana setali tiga uang dengan mencetak uang. BI menciptakan likuiditas rupiah yang kemudian dipakai pemerintah untuk membiayai segala keperluannya. Tambahan rupiah yang jumlahnya begitu besar dapat meluruhkan nilainya secara relatif terhadap mata uang lain. Inilah yang terjadi di pasar dalam sepekan itu, rupiah luruh.

Sinyal awal dari pasar ini cukup serius dan berbahaya. Pada 3 Juli itu, nilai rupiah merosot terhadap semua mata uang penting dunia ataupun negara tetangga, dari dolar Amerika, won Korea, hingga baht Thailand. Penurunannya pun cukup tajam, semuanya sekitar 1 persen hanya dalam sehari. Hingga pasar tutup di Jakarta, tren melemah masih berlanjut.

Seberapa jauh pasar akan menekan rupiah, tentu tak ada yang dapat memastikan. Namun pelemahan rupiah bisa menjadi masalah baru jika berlangsung lama dan dalam. Bukan cuma nilai tukar, tekanan pasar karena menggelembungnya utang pemerintah dapat pula memicu penurunan peringkat investasi Indonesia.

Kita tahu, akar persoalannya adalah defisit anggaran yang menggelembung terlampau besar untuk mengatasi pandemi Covid-19. Pemerintah menangani masalah itu dengan berutang secara besar-besaran sehingga BI pun harus turun tangan membeli obligasi di pasar perdana. Dengan kata lain, bank sentral membandari defisit pemerintah.

Pemerintah Indonesia memang mengikuti resep yang dijalankan pemerintah negara-negara maju, tanpa batas membuat utang baru untuk memompa ekonomi agar tetap tumbuh. Cara ini sepertinya berhasil di sana. Namun struktur ekonomi ataupun moneter Indonesia tentu sangat berbeda dengan negara maju yang punya fondasi lebih kuat. Resep yang sama belum tentu membawa hasil serupa.

Selain itu, menimbang keterbatasan birokrasi dalam melaksanakan program, belum tentu niat menggenjot ekonomi bisa tercapai kendati pemerintah berani menanggung ledakan defisit anggaran dengan berutang. Terbukti, Presiden harus marah-marah melihat rendahnya belanja pemerintah yang tak kunjung terlaksana. Melambungkan defisit belum pasti membawa hasil, risikonya yang sudah jelas di depan mata.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus