Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
PT Sentul City tetap mengembangkan kawasan di tengah sengketa dengan pemilik lahan dan Satgas BLBI.
Satgas BLBI berupaya merebut aset yang dicaplok PT Sentul City.
Ada peran mafia tanah.
DELAPAN unit buldoser dan ekskavator berwarna biru hilir-mudik di Desa Bojong Koneng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada Jumat, 27 Mei lalu. Semua alat berat itu milik pengembang kawasan Sentul City. “Kami sedang menata aset perusahaan,” ujar Kepala Divisi Hukum PT Sentul City Tbk Faisal Farhan, Sabtu, 28 Mei lalu.
Lokasi proyek tak jauh dari aliran Sungai Citeureup yang mengandung banyak bebatuan cadas. Petugas operator alat berat itu tampak sibuk mencakar punggung bukit untuk merobohkan tanaman, lalu meratakan permukaan tanah.
Alat-alat berat itu sudah beroperasi sejak awal 2022. Manajemen PT Sentul City berencana menata wilayah itu untuk pengembangan kawasan perumahan Sentul City yang dirintis pada 1993.
Masalah muncul lantaran lahan itu dianggap bagian dari aset sitaan obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Dana BLBI sudah mengirim surat peringatan agar tak menyerobot lahan pada 25 Februari lalu. Tapi surat itu tak digubris PT Sentul City. “Kami siap uji kepemilikan di pengadilan,” kata Faisal.
Baca: Lanskap Baru Sentul
Faisal membantah jika pengelolaan kawasan itu dianggap mengokupasi aset BLBI. PT Sentul mengaku memiliki hak atas tanah tersebut ketika masih menggunakan bendera PT Fajar Marga Permai pada 1990.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Foto udara lahan Rumsh Cucating yang bersengketa dengan Sentul City di Jalan Gunung Batu, Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 27 Mei 2022. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lahan seluas 1.100 hektare itu diperoleh dari peralihan hak guna usaha PT Perkebunan Nusantara XI. Hak Sentul belakangan diperkuat lewat tiga surat ketetapan Gubernur Jawa Barat tentang izin lokasi dan pembebasan tanah. Ketiganya terbit pada 1990 dan 1993.
Selain diklaim Sentul City dan Satgas BLBI, lahan itu turut diklaim pihak lain. Tak jauh dari pertigaan Kilometer 0 di Desa Bojong Koneng, setidaknya ada tiga orang yang mengklaim lahan tersebut. Lahan mereka kini rata setelah dibuldoser alat berat Sentul City.
Bagian atas lahan itu diklaim milik Bobot, warga Jakarta, seluas 4.000 meter persegi. “Lahan itu dia beli pada 2011,” ujar Harun Sugih, 48 tahun, warga Bojong Koneng. Ia mengklaim Bobot sudah mengantongi sertifikat hak milik.
Persis di bawah lahan Bobot, terdapat tanah milik Amran. Warga Bogor itu turut mengklaim lahan seluas 3.000 meter persegi yang dibeli pada 2005. Bagian bawah lahan Amran diklaim sebagai lahan milik Paulus, warga Jakarta. Harun bertugas menjaga semua lahan itu. “Berbeda dengan Bobot, dokumen kepemilikan lahan Amran ataupun Paulus hanya akta jual-beli,” ujarnya.
Satgas BLBI menampik klaim PT Sentul City dan Harun. Menurut Kepala Satgas BLBI Rionald Silaban, lahan itu telah tercatat dalam daftar kekayaan negara. Tanah seluas 340 hektare tersebut diperoleh pemerintah selepas menyita aset milik obligor BLBI, Agus Anwar, pada 2009.
Agus merupakan komisaris sekaligus Direktur Bank Istimarat yang gagal menunaikan kewajiban pengembalian bantuan. “Jumlah tunggakannya ketika itu mencapai Rp 635 miliar,” ujar Rionald dalam keterangan persnya pada 31 Maret 2020.
Papan plang lahan sitaan kasus BLBI di Jalan Gunung Batu, Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 27 Mei 2022. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Penyitaan aset Agus Anwar didasarkan pada akta perjanjian penyelesaian kewajiban pemegang saham dan pengakuan utang Nomor 7645/BIDKONS/1103. Agus dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional meneken dokumen kesepakatan itu pada 21 November 2003.
Kesepakatan itulah yang dijadikan dasar sita paksa jaminan pada 18 Februari 2009. Lahan yang kini disita pemerintah itu dulu dikuasai PT Bumisuri Adilestari.
PT Bumisuri menguasai lahan itu selepas mendapatkan surat pelepasan hak dari sejumlah penggarap secara berangsur sejak 1994. Ketika aset itu disita pemerintah, tercatat ada 888 dokumen yang diserahkan.
Sebelas di antaranya berstatus hak milik, 15 surat berbentuk akta jual-beli, dan 874 lain merupakan surat pernyataan pelepasan hak. Sejak diambil alih PT Sentul City, Rionald mengklaim sudah memerintahkan juru sita Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan lelang agar menyita ulang aset negara tersebut.
Penyitaan ulang dilakukan pada Kamis, 31 Maret lalu, dan dihadiri petinggi Satgas BLBI dengan pengawalan puluhan polisi, personel Tentara Nasional Indonesia, polisi pamong praja, dan aparatur pemerintah setempat. Plang yang sebelumnya menancap atas nama PT Sentul City Tbk berganti dengan plang peringatan Satgas BLBI yang tersebar di 10 titik.
Kuasa hukum Agus Anwar, Ali Imran Ganie, lekas menyurati Menteri Keuangan Sri Mulyani setelah penyegelan ulang. Lewat surat tertanggal 11 April 2022, Imran menyatakan kliennya berkomitmen mendukung urusan keperdataan yang tengah ditempuh Kementerian Keuangan. “Penyelesaian kewajiban Bank Istimarat telah selesai setelah Panitia Urusan Piutang Negara cabang DKI Jakarta menerbitkan surat bernomor No. SPPNL-16/PUPNC.10.01/2021 tertanggal 20 Desember 2021,” tutur Ali.
Faisal Farhan mengatakan penyitaan ulang tak menyurutkan langkah perusahaan untuk mengembangkan kawasan Sentul City. Di Kecamatan Babakan Madang, lahan PT Sentul City membentang dari Desa Cipambuan, Citaringgul, Kadumanggu, Babakan Madang, Sumur Batu, Karang Tengah, Bojong Koneng, hingga Cijayanti. Rencananya, PT Sentul menyulap daerah tersebut menjadi pusat destinasi wisata dan hunian terintegrasi yang memadukan kompleks perumahan, perhotelan, pusat perdagangan, serta fasilitas pendukung lain.
Sentul mengklaim mendapatkan sebagian tanah selepas mengakuisisi 99,9 persen saham milik PT Graha Sejahtera Abadi pada awal 2018 senilai Rp 2 triliun. Dengan cara itu, mereka memperoleh lahan tambahan seluas 273 hektare.
Basaria Panjaitan [TEMPO/Imam Sukamto]
Obsesi Sentul mengembangkan kawasan itu kini melampaui luas lahan yang mereka peroleh dari PT Perkebunan Nusantara XI. “PT Sentul kini memiliki master plan yang telah disetujui pemerintah daerah Kabupaten Bogor pada 2011 untuk mengembangkan kawasan secara bertahap,” ucap Farhan.
Dalam keterangan resminya, Komisaris Utama PT Sentul City Tbk Basaria Panjaitan menyatakan lahan Sentul kini membentang seluas 3.165 hektare. Dari jumlah itu, baru 1.165 hektare yang sudah digarap.
Manajemen Sentul menyiapkan strategi kolaborasi guna pengembangan kawasan. Di antaranya dengan menggandeng para investor melalui pola jual-beli putus atau joint venture. “Kami berhasil menggandeng perusahaan asal Malaysia, Genting Group,” tutur Basaria.
Pada 2014, keinginan perusahaan mengembangkan kawasan Sentul sempat terganjal perkara korupsi yang menyeret Kwee Tjahjadi Kumala alias Swie Teng selaku Komisaris PT Bukit Jonggol Asri dan Presiden Direktur PT Bukit Sentul—nama lawas PT Sentul City. Kasus ini juga melibatkan Bupati Bogor Rachmat Yasin.
Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap keduanya karena kasus suap tukar guling kawasan hutan seluas 2.754 hektare di Jonggol. Pengadilan memvonis Yasin dan Swie Teng masing-masing dengan hukuman 5 tahun 6 bulan penjara.
•••
SALAH satu lokasi plang peringatan Satuan Tugas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia masih terpacak tak jauh dari pertigaan Kilometer 0 di Desa Bojong Koneng, Sentul. Lokasi ini mulai ramai dikunjungi wisatawan sejak beberapa tahun terakhir. Para pesepeda spesialis medan tanjakan kerap menyambangi lokasi itu saban akhir pekan.
Fasilitas rumah penginapan dan kafe tumbuh menjamur di sekitar kawasan itu. Nuansa liburan makin terasa karena kawasan tersebut menyajikan pemandangan alam perbukitan dengan hawa sejuk. Tak jauh dari lokasi itu terdapat air terjun Curug Bidadari yang mengalir dari balik punggung bukit.
Syafthen Zaidt, 65 tahun, merupakan salah seorang pengusaha yang ikut mengembangkan kawasan Sentul. Pemilik bengkel mobil di Jakarta Selatan itu mengelola sebuah rumah penginapan di atas tanah seluas 8.300 meter persegi di Desa Bojong Koneng.
Penginapan dengan 12 kamar dan dilengkapi fasilitas kolam renang miliknya berjarak sekitar 200 meter dari batas lahan yang disengketakan PT Sentul City dengan Satgas BLBI. “Kami bersengketa dengan Sentul City sejak tahun lalu,” ujarnya ketika ditemui pada Jumat, 27 Mei lalu.
Kepala Divisi Hukum Sentul City Faisal Farhan. (ANTARA/HO-Sentul City)
Sengketa bermula ketika Syafthen menerima surat somasi dari manajemen PT Sentul City pada 28 Juli 2021. Surat itu menyatakan Sentul City sebagai pemilik sertifikat hak guna bangunan (SHGB) atas tanah tersebut.
Syafthen lekas menyurati Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor guna menanyakan legalitas klaim tersebut. Namun tak ada jawaban yang mereka peroleh hingga kasus itu berujung gugatan hukum.
Pria yang akrab dipanggil Caca itu menduga ada kemiripan modus saat PT Sentul City menggusur bangunan milik Rocky Gerung dan lahan sejumlah penduduk lain pada September 2021. PT Sentul diduga menggunakan alas hak yang sama untuk menggusur mereka, yaitu SHGB bernomor B 2415 dan 2415.
Rumah penginapan yang dikelola Syafthen, Rumah Cucating, hanya berjarak sekitar 100 meter dari rumah Rocky Gerung. Manajemen PT Sentul City sempat menggeruduk sebagian bangunan Rumah Cucating pada 9 November 2021.
Syafthen lantas mengajukan gugatan perdata lewat Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung. Pengacara Syafthen, Rony Hutajulu, mengatakan gugatan diajukan atas nama Sri Wiwik Prihatin, istri Syafthen, terhadap keputusan Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor yang menyetujui perpanjangan SHGB nomor B 2415 dan 2415 pada 2013 yang diberikan ke PT Sentul City.
Persetujuan itu dianggap bermasalah karena tidak mempertimbangkan kondisi di lapangan. “BPN tak pernah melakukan survei di lapangan,” ujar Rony.
Dokumen persetujuan SHGB tersebut menyatakan bahwa risalah pemeriksaan tanah tertanggal 27 November 2013 itu masih dikuasai Sentul City selaku pemohon. Faktanya, menurut Rony, lahan itu sudah lama dikuasai oleh banyak penggarap. Rumah Cucating hanyalah satu di antaranya.
Rumah Cucating dibangun Syafthen tak lama setelah proses alih kepemilikan dari kakak iparnya, Abdul Wahab, kepada Sri Wiwik pada 1997. Lahan itu dibeli Abdul Wahab dari penggarap pada 1984. “Pajak tanah itu kami bayar rutin,” ucap Syafthen.
Majelis hakim PTUN Bandung sempat menjadwalkan sidang lapangan untuk memeriksa klaim tersebut. Dalam sidang yang digelar di lokasi sengketa pada Jumat, 11 Maret lalu, Sri Wiwik dan PT Sentul City diminta menunjukkan batas lahan masing-masing.
Namun pemeriksaan itu tak cukup meyakinkan hakim untuk mengabulkan gugatan Sri Wiwik. Dalam amar putusan yang dibacakan pada Rabu, 17 Mei lalu, majelis hakim yang diketuai Hastin Kurnia Dewi menyatakan gugatan tak bisa diterima (niet ontvankelijke verklaard) karena tak memenuhi syarat formil.
Rony menilai janggal putusan itu. Sebab, hakim tak menguji materi perkara dan hanya mempersoalkan legal standing Sri Wiwik selaku pemilik lahan garapan. Padahal mereka memenangi gugatan atas lahan yang sama saat berhadapan dengan seseorang bernama Rainold di Pengadilan Negeri Cibinong pada 28 Juni 2018. “Putusan Pengadilan Negeri Cibinong sudah berkekuatan hukum tetap,” katanya.
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor Sepyo Achanto merespons permintaan wawancara Tempo dengan meminta menghubungi Kepala Seksi Pengendalian dan Penanganan Sengketa Sri Dewi Marlina Putri. Sri meminta surat permintaan wawancara dan daftar pertanyaan tentang sengketa tanah Sentul City dengan Syafthen. Setelah dikirim, Sri tak merespons surat tersebut hingga Sabtu, 28 Mei lalu.
Kepala Divisi Hukum Sentul City Faisal Farhan mengapresiasi putusan PTUN Bandung. Ia membantah anggapan Wiwik yang menilai SHBG 2415 cacat administrasi. Sebab, dokumen itu telah dikuatkan pengadilan lewat putusan PTUN Bandung pada 2021. “Itu hanya opini pribadi Sri Wiwik,” kata Faisal.
Ia menduga lahan di sekitar kawasan Sentul selama ini diperjualbelikan mafia tanah. Banyak di antara mereka yang menguasai lahan tanpa dokumen yang sah secara hukum.
Ia mencontohkan gugatan hukum terhadap PT Sentul City kerap berasal dari para pendatang, bukan penduduk asli Sentul. “Sri Wiwik adalah pendatang, bukan penduduk asli,” ucapnya.
Faisal mengklaim PT Sentul City justru membantu proses pembuatan sertifikat tanah milik penduduk sekitar yang berjumlah 913 orang. “Kepala keluarga warga asli Desa Bojong Koneng dan Desa Cijayanti nanti akan mendapatkan sertifikat hak milik,” ujarnya.
Namun tindakan ini dianggap diskriminatif oleh para pemilik yang pernah membeli tanah dari warga sekitar. Mereka berencana menggugat PT Sentul City dengan modal surat eigendom peralihan lahan dari PT Perkebunan Nusantara XI kepada PT Fajar Marga Permai. “Tunggu tanggal mainnya,” tutur Widi Syailendra, pengacara yang ditunjuk sekelompok pemilik tanah di Desa Bojong Koneng.
MAHFUZULLOH AL MURTADHO (BOGOR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo