Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Serdadu Siber Bolsonaro

Facebook memblokir jaringan akun media sosial penyebar pesan politik yang memecah belah rakyat Brasil. Memperkuat dugaan keterlibatan keluarga Presiden Jair Bolsonaro.

11 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Presiden Brazil, Jair Bolsonaro terlihat di dalam Istana Alvorada mengisolasi diri setelah positif Corona, di Brasilia, 8 Juli 2020./Reuters/Ueslei Mercelino

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Akun-akun penyebar informasi palsu terhubung dengan orang-orang di Partai Liberal Sosial dan anggota keluarga Presiden Jair Bolsonaro.

  • Polisi Brasil menyelidiki keterlibatan keluarga Bolsonaro dalam pengerahan

  • Laporan Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard dari University of Oxford pada 2019 menemukan kampanye menggunakan

FACEBOOK Inc menghapus jaringan akun media sosial penyebar pesan politik yang memecah belah rakyat Brasil. Meski ada usaha untuk menyarukan siapa yang berada di balik jaringan ini, perusahaan media sosial milik Mark Zuckerberg itu menemukan akun-akun tersebut terhubung dengan orang-orang di Partai Liberal Sosial—partai asal Presiden Jair Bolsonaro—serta dua putra Bolsonaro, yakni anggota Kongres, Eduardo Bolsonaro, dan senator Flavio Bolsonaro. Jaringan itu juga terhubung dengan sejumlah anggota staf dua legislator dari partai tersebut, Anderson Moraes dan Alana Passos.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jaringan yang diblokir itu terdiri atas 24 akun, 14 laman, dan 1 grup Facebook serta 38 akun Instagram. Semuanya dinilai mengandung “perilaku tak autentik yang terkoordinasi” yang melanggar aturan main Facebook. Sebagian akun itu bahkan telah aktif sejak 2018.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nathaniel Gleicher, Kepala Kebijakan Keamanan Siber Facebook, menyatakan timnya menemukan para politikus itu tidak mengelola akun tersebut. “Apa yang bisa kami buktikan adalah bahwa para pegawai di kantor-kantor mereka terlibat dalam platform kami dalam bentuk perilaku semacam itu,” tuturnya kepada Reuters pada Rabu, 8 Juli lalu.

Temuan ini memperkuat tuduhan bahwa Jair Bolsonaro dan para pendukungnya telah membentuk “tentara siber” yang menjalankan kampanye online yang terkoordinasi untuk memberangus lawan-lawan sang Presiden. Menurut laporan Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard dari University of Oxford, Inggris, pada 2019, tentara siber adalah aktor pemerintahan dan partai politik yang bertugas memanipulasi opini publik melalui media sosial. Aktor-aktor ini bergantung pada “propaganda terkomputasi”, yang menggunakan otomatisasi, algoritma, dan analisis big data.

Bradshaw menemukan kampanye semacam itu terjadi di 70 negara pada 2019, bertambah dari 48 pada 2018 dan 28 pada 2017. Negara tersebut antara lain Australia, Brasil, Cina, India, Iran, Indonesia, Korea Utara dan Selatan, Kamboja, Myanmar, Filipina, Rusia, Inggris, Amerika Serikat, Venezuela, serta Vietnam.

Di Negeri Samba, menurut Bradshaw, jaringan itu melibatkan politikus, partai politik, kontraktor swasta, anggota masyarakat, dan pemengaruh alias influencer. Mereka menggunakan bot—program komputer untuk melakukan pekerjaan secara otomatis—dan manusia untuk menyebarkan pesan yang bersifat mendukung klien, menyerang lawan, memecah belah, dan membungkam pihak tertentu. Ongkos untuk kontraktor swasta, kata Bradshaw, berkisar 24 ribu-10 juta real atau Rp 65 juta-27 miliar.

Senat dan Mahkamah Agung Brasil juga sedang menyelidiki penyebaran berita palsu ini. Pada Mei lalu, polisi menggerebek rumah dan kantor para sekutu Bolsonaro. Sang Presiden menilai investigasi itu tidak konstitusional dan malah akan melahirkan sensor karena mengawasi apa dikatakan orang di Internet.

Para peneliti Digital Forensic Research Lab di Atlantic Council, yang mengidentifikasi jaringan yang dibekukan Facebook, mengatakan mereka menemukan lima anggota staf dan bekas anggota staf partai politik yang mendaftarkan dan mengoperasikan akun-akun itu. Menurut Luiza Bandeira, salah seorang peneliti, sebagian akun menyaru sebagai orang Brasil palsu dan membuat lapak berita baru untuk menyebarkan “pandangan hiper-partisan” yang mendukung Bolsonaro dan menyerang para pengkritiknya. Sasaran mereka mencakup para legislator oposisi, bekas menteri, dan anggota Mahkamah Agung.

Belakangan, akun-akun itu juga menggaungkan berbagai klaim Bolsonaro bahwa risiko pandemi Covid-19 terlalu dibesar-besarkan. Bolsonaro sudah lama menolak mematuhi protokol kesehatan yang direkomendasikan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Dia menilai Covid-19 hanyalah “flu enteng” dan menentang kebijakan para gubernur negara bagian yang menutup daerah masing-masing untuk memutus penyebaran virus corona, meskipun wabah telah mengakibatkan 66 ribu orang meninggal dan ia sendiri positif terinfeksi Covid-19.

“Kami sudah lama tahu bahwa bila orang-orang tak setuju dengan Bolsonaro, mereka akan menjadi sasaran mesin ini, yang menggunakan disinformasi untuk mengejek dan mendiskreditkan mereka,” ucap Bandeira. “Kini sebagian serangan ini berasal dari orang-orang yang berhubungan langsung dengan keluarga Bolsonaro.”

Tim peneliti Kelompok Studi Disinformasi di Media Sosial (EDReS) di Campinas State University membuat saluran pengaduan di WhatsApp untuk memetakan dan memerangi berita palsu tentang Covid-19 di media sosial sejak Maret lalu. Dalam sebulan, mereka telah menghimpun 8.000 kontak dan 30 ribu informasi anonim yang kemudian disaring oleh kecerdasan buatan untuk dianalisis.

Bahkan sebelum analisis kelar mereka telah menemukan hubungan langsung antara disinformasi dan pidato-pidato Bolsonaro. Menurut Leandro Tessler, salah seorang peneliti, penyebaran konten palsu yang berasal dari lingkaran dekat Presiden dilakukan melalui bot yang berperan menyebarkan pesan secara masif.

Dia mencontohkan penyebaran informasi “virus Cina”, yang menyebut Covid-19 adalah rencana Cina untuk menghancurkan pasar keuangan global, membeli perusahaan dengan harga murah, dan menguasai dunia. “Kabar-kabar itu membuat kita seperti dalam film kartun,” ujarnya kepada Brasil de Fato.

Informasi palsu tersebut mulanya dicuitkan oleh Eduardo Bolsonaro, anggota Kongres yang juga putra Jair Bolsonaro. Hari berikutnya, Agência Pública mengidentifikasi 94 ribu cuitan dan cuitan ulang komentar itu oleh bot di Twitter.

April lalu, surat kabar Brasil, Folha de S.Paulo, mengungkap investigasi rahasia Mahkamah Agung. Polisi menemukan Carlos Bolsonaro, putra Bolsonaro, sebagai salah satu pengelola jaringan penyebar berita bohong. Itu sebabnya Bolsonaro meminta Menteri Kehakiman Sergio Moro mengganti Kepala Kepolisian Federal Maurício Valeixo. Moro menolak permintaan itu dan mundur dari kursi menteri.

Dalam sebuah konferensi pers, Moro menunjukkan pesan Bolsonaro di telepon selulernya yang mengindikasikan keinginan Presiden mengganti Valeixo. Moro memperlihatkan pula pesan dari Carla Zambelli, politikus terkenal Partai Liberal Sosial, yang juga memintanya mengganti Valeixo dengan imbalan kursi Ketua Mahkamah Agung. Moro menyebut hal ini sebagai campur tangan Presiden dalam kepolisian. Bolsonaro membantah tuduhan tersebut dan mengatakan Valeixo sendiri yang ingin mundur.

Menteri Mahkamah Agung Federal Alexandre de Moraes memutuskan Kepolisian Federal harus mempertahankan tim penyelidik kasus ini. Satu dari empat anggota tim adalah Igor Romário de Paula, yang dulu mengkoordinasi Operasi Lava Jato di Curitiba yang dipimpin Sergio Moro pada 2014. Operasi Lava Jato atau Operasi Cuci Mobil adalah penyelidikan polisi terhadap dugaan korupsi dan pencucian uang di perusahaan minyak negara, Petrobas. Operasi ini berujung pada pemenjaraan sejumlah politikus dan pengusaha, termasuk bekas presiden Luiz Inácio Lula da Silva.

Investigasi jaringan penyebar berita palsu itu dimulai pada Maret tahun lalu oleh Ketua Mahkamah Agung Federal Dias Toffoli. Polisi menyelidiki dugaan keterlibatan Carlos Bolsonaro dan saudaranya, Eduardo, dalam memimpin “tentara siber” untuk menekan dan mengancam pejabat publik. Polisi dikabarkan telah memperoleh sejumlah bukti dan pengakuan serta sedang menyiapkan rencana penuntutan.

Setelah laporan Folha terbit, Carlos Bolsonaro membantah dugaan keterlibatannya dalam jaringan tersebut. “Skema kriminal... berita palsu. Judul itu sendiri sepenuhnya lelucon! Lebih mudah menunjukkan manipulasi yang dilakukan oleh media arus utama,” katanya dalam komentar yang disebar di media sosial.

IWAN KURNIAWAN (REUTERS, FOLHA DE S. PAULO, BRASIL DE FATO)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus