Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Terjepit Kredit Empat Gajah

Otoritas Jasa Keuangan mendorong Mayapada menambah modal atau berganti pemegang saham pengendali. Diduga buntut dari konsentrasi kredit kepada kolega pemilik yang dinilai melanggar ketentuan.

11 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aktivitas pelayanan nasabah Bank Mayapada di Mayapada Tower, Jakarta, 10 Juli 2020. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Gejolak Mayapada yang menjadi gunjingan antarlembaga.

  • Berawal dari dugaan penyaluran kredit jumbo ke empat grup.

  • Menanti babak baru rencana penambahan modal dan pergantian pengendali perseroan.

MESKI menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) sejak Desember 2019, Tahir rupanya baru sekali mengikuti rapat lembaganya tersebut. Itu pun rapat pertama dengan pelantiknya, Presiden Joko Widodo. Sisanya, pemilik kelompok usaha Mayapada itu selalu mabal.

Termasuk ketika Wantimpres rapat menggelar rapat virtual dengan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso pada Rabu, 17 Juni lalu. “Saya enggak hadir. Saya lagi jagain Bank Mayapada, juga penanganan Covid-19,” kata Tahir di ruang kerjanya di Mayapada Tower 1, Jakarta, Jumat, 10 Juli lalu. “Saya sebenarnya enggak cocok jadi pejabat.”

Absennya Tahir dalam rapat itu membuat anggota Wantimpres yang lain tanpa canggung membahas kondisi teranyar PT Bank Mayapada Internasional Tbk. Bank dengan total aset Rp 89,2 triliun ini merupakan jantung bisnis Tahir, orang terkaya nomor tujuh di Indonesia versi Forbes—Tahir juga memegang lisensi terbitan ini di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dato Sri Tahir (kiri) saat dilantik menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden 2019-2024 di Istana, Jakarta, pada Desember 2019. Tempo/Subekti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua orang yang mengetahui detail jalannya rapat itu mengungkapkan, anggota Wantimpres, Sidarto Danusubroto, mewanti-wanti OJK bahwa tidak boleh ada bantuan likuiditas dari pemerintah atau bank milik negara kepada Mayapada. Rapat ini sebetulnya membahas stimulus buat usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta industri pada umumnya di masa pandemi Covid-19. Namun Wimboh kadung membuka rapat itu dengan paparan penanganan bank-bank bermasalah.  

Bank Mayapada memang menjadi satu dari tujuh bank yang dianggap bermasalah oleh Badan Pemeriksa Keuangan ketika lembaga auditor negara ini merilis Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2019 pada awal Mei lalu.

Namun tidak seperti yang dialami PT Bank Bukopin Tbk, yang juga masuk daftar tujuh bank bermasalah versi BPK, gejolak di Mayapada tak sampai memicu nasabah beramai-ramai menarik dana simpanan. Penarikan dana memang ada, seperti tercatat dalam laporan posisi keuangan bulanan (unaudited) yang dipublikasikan Mayapada di situs resmi perseroan. Dana pihak ketiga Mayapada pada akhir Juni lalu tercatat sebesar Rp 62,3 triliun, berkurang Rp 10,9 triliun dari posisi akhir Maret lalu. 

Toh, Tahir mengklaim berhasil menahan gelombang rush. “Dua bulan terakhir saya keliling ke daerah-daerah, meyakinkan para nasabah, Mayapada tidak apa-apa,” ujarnya. Yang terbaru, lewat keterbukaan informasi kepada OJK yang ditembuskan ke Bursa Efek Indonesia, Jumat, 3 Juli lalu, Mayapada mengumumkan bahwa Tahir sebagai pemegang saham pengendali terakhir telah menempatkan dana tunai senilai Rp 1 triliun untuk memperkuat permodalan.

•••

GEJOLAK di Mayapada sebenarnya mulai menghangat di kalangan pengusaha ketika industri perbankan diguncang kabar kebijakan pembatasan penarikan dana nasabah oleh manajemen Bank Bukopin pada Mei lalu. Belakangan diketahui, likuiditas Bukopin mengering. Sedangkan rencana penambahan modal lewat penawaran umum terbatas (rights issue) tak kunjung terealisasi dan diwarnai drama antar-pemegang saham.  

Tak banyak diketahui publik, masalah di Bukopin merembet ke Mayapada. Gara-garanya, mantan wakil presiden Jusuf Kalla menyurati Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso pada 29 Mei lalu. Dalam surat itu, awalnya Kalla mengajukan komplain kepada Wimboh karena kerap disebut sebagai pemilik Bukopin. Namun dalam surat itu juga Kalla memprotes cara penanganan OJK terhadap Bukopin, bank yang dimiliki Aksa Mahmud, adik iparnya.

Kalla menganggap OJK tidak adil karena mendorong Bukopin berganti pemilik di tengah mengeringnya likuiditas perseroan. Sedangkan masalah di tubuh MYP—begitu Kalla menulis inisial Mayapada—justru dianggap telah selesai oleh OJK padahal, menurut dia, lebih parah. “Dibutuhkan keadilan dan perlakuan yang adil untuk menjaga keseimbangan ekonomi nasional,” tutur Kalla dalam surat tersebut.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso. Tempo/Jati Mahatmaji

Ditemui di rumahnya di Jakarta Selatan, 25 Juni lalu, Kalla membenarkan kabar bahwa dia menyurati Wimboh. Namun dia menolak menjelaskan isinya. “Saya hanya bilang saya bukan pemilik Bukopin,” ucapnya.

Saat itu juga, desas-desus bahwa Mayapada tersandung masalah penyaluran kredit jumbo ke empat kelompok usaha besar sudah berembus kencang. Laporan IHPS II 2019 yang dirilis BPK pada Mei lalu tak menyebutnya secara detail. Rincian persoalan ini ada dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas Pelaksanaan Pengawasan Bank Umum 2017-2019 pada OJK dan Instansi Terkait yang dirilis pada 31 Desember 2019. Hasil audit bernomor 135/LHP/XV/12/2019 itu dilengkapi lagi setelah mendapat tanggapan dari OJK pada 24 Februari lalu.

Hasil audit itu mencatat adanya konsentrasi pemberian kredit Bank Mayapada kepada empat grup senilai Rp 23,56 triliun yang ditengarai melanggar ketentuan batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Duit terbesar, Rp 12,39 triliun, seperti tercatat dalam laporan BPK, mengalir ke perusahaan-perusahaan yang terafiliasi dengan grup Hanson International milik Benny Tjokrosaputro. Selanjutnya, ada kredit senilai Rp 4,74 triliun kepada grup Intiland milik Hendro Gondokusumo dan Rp 3,13 triliun kepada kelompok usaha Saligading Bersama milik Musyanif. Adapun nilai kredit ke grup Mayapada, milik Tahir, tertulis Rp 3,3 triliun.

Ketiga pengusaha pemilik grup tadi tercatat pernah bergabung dengan Tahir dalam sejumlah kegiatan pemberian bantuan, seperti sumbangan bus untuk Provinsi DKI Jakarta pada 2014. Mereka juga menemani Tahir dalam proyek derma lain, seperti The Indonesia Health Fund bersama Bill Gates pada tahun yang sama.

Meski terungkap dalam hasil audit BPK, catatan penyaluran kredit yang terkonsentrasi ke empat grup tersebut sebenarnya bersumber dari temuan OJK. Temuan ini tertuang dalam Catatan Dinas OJK No.CD-54A/PB.331/2019 tertanggal 12 Desember 2019 ihwal Rencana Pemeriksaan Khusus 2019 PT Bank Mayapada Internasional Tbk. Namun pemeriksaan khusus tersebut masih berlangsung ketika BPK mengakhiri audit terhadap OJK pada Februari 2020.

Ditemui di ruang kerjanya pada Jumat, 10 Juli lalu, Tahir membantah kabar bahwa Bank Mayapada melanggar BMPK. Menurut dia, utang tiga kelompok usaha itu hanya ratusan miliar rupiah. “Otak saya sudah rusak kalau kasih satu grup sampai triliunan,” katanya.

Di atas kertas, utang empat kelompok usaha itu memang tidak ada yang menyentuh angka triliunan rupiah. Laporan keuangan PT Intiland Development Tbk (DILD), misalnya, hanya mencatat utang jangka pendek sebesar Rp 870,4 miliar kepada Bank Mayapada. Laporan keuangan PT Marga Abhinaya Abadi Tbk (MABA) milik Saligading per Desember 2018 juga menuliskan bahwa dua anak usaha perseroan hanya berutang Rp 285 miliar. MABA sendiri punya utang sindikasi kepada Mayapada dan ICBC sebesar Rp 570,3 miliar. Sedangkan laporan keuangan Hanson per September 2019 yang tidak diaudit menyebutkan pinjaman jangka pendek perseroan kepada Mayapada hanya Rp 296 miliar.

Di sisi lain, dalam laporan keuangan 2019, Bank Mayapada mencatat pemberian kredit kepada pihak berelasi (Mayapada Group) hanya Rp 630 miliar. “Jadi jangan bilang Rp 12 triliun. Rp 2-3 triliun saja kredit ke satu grup berarti kepala saya sudah enggak waras,” ujar Tahir.

Petunjuk datang dari orang dekat Benny Tjokrosaputro, pendiri sekaligus pemilik Hanson yang kini menjadi terdakwa kasus korupsi dana investasi PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Menurut orang ini, Benny mengakui punya utang sampai Rp 8 triliun rupiah kepada Mayapada. Namun selama ini, kata sumber Tempo, Benny membuat banyak perusahaan atas nama orang lain agar bisa lolos dari pagar BMPK. Perusahaan-perusahaan nominee itu kemudian mengajukan permintaan utang kepada Mayapada.

Laporan BPK sebenarnya juga mencantumkan catatan bahwa pengelompokan grup ini tidak hanya didasari kepemilikan, tapi juga kesamaan pengurus, hubungan keuangan, serta spesimen tanda tangan pengendali grup di rekening bank lain. Kredit senilai Rp 12,39 triliun yang disinyalir berhubungan dengan grup Hanson itu berasal dari 57 debitor sampling.  

Soal penggunaan perusahaan-perusahaan nominee untuk menggangsir kredit itu rupanya klop dengan hasil pemeriksaan khusus OJK yang rampung digeber setelah periode pemeriksaan BPK berakhir. Seorang pejabat yang mengetahui isi pemeriksaan ini mengungkapkan, pengawas bank di OJK menemukan dan membuktikan adanya konsentrasi kredit kepada empat grup tersebut setelah menggunakan metode follow the money. “Ada permasalahan yang bisa dipersamakan dengan BMPK itu,tutur pejabat tersebut.

Dihubungi kembali pada Sabtu, 11 Juli lalu, Tahir tetap membantah adanya konsentrasi kredit di empat grup tersebut. Ada kemungkinan, Tahir menjelaskan, Mayapada mengucurkan kredit kepada pemilik proyek sampai subkontraktornya. “Mungkin itu yang dianggap OJK satu grup," katanya. "Dan perusahaan-perusahaan nominee Benny itu enggak ada. Itu ngawur."

Di lingkungan bankir dan pelaku pasar modal, Tahir memang dikenal dekat dengan Benny Tjokrosaputro. Hubungan bisnisnya terlihat juga dalam laporan keuangan Hanson. PT Mandiri Mega Jaya (MMJ), anak usaha Hanson, bersama PT Mayapada Bangun Pratama (MBP) berkongsi mendirikan PT Bintang Dwi Lestari (BDL) pada 8 Oktober 2014.

Perkongsian ini juga dicatat oleh PT Maha Properti Indonesia (MPRO), bagian dari Mayapada, yang membawahkan BDL. Sepanjang 2015-2016, BDL pernah berencana membebaskan tanah di Maja, Banten, seluas 7,1 juta meter persegi. Pada November 2019, MPRO mengkonfirmasi BDL sudah berhasil membebaskan 318 hektare lahan di Maja buat proyek hunian. Tahir membantah informasi bahwa dia punya kongsi bisnis dengan Benny. “Saya enggak pernah join. Saya baru tahu PT Mega itu sekarang ini,” ucapnya.

Peran sebagai kreditor sekaligus rekan bisnis juga dilakoni Mayapada dengan Intiland. Keduanya berkongsi mengembangkan kompleks apartemen East Gate di Surabaya, Jawa Timur. Namun lagi-lagi Tahir menampik kabar bahwa ia berkongsi dengan Hendro Gondokusumo, pemilik Intiland, dalam proyek tersebut. “East itu agunan tanah dari kredit macet. Saya minta Hendro mengolah. Saya bukan orang properti,” kata Tahir. “Saya dekat dengan Hendro. Dia memang kerjanya properti.”

Di lokasi yang sama dengan East Gate, ada pula PT Anugrah Berkah Mandiri (ABMA), anak usaha MABA—bagian dari grup Saligading—yang mengembangkan East CBD, superblok seluas 30 hektare. “Musyanif (Saligading) di sana mungkin iya. Tapi saya urusannya sama Hendro,” ujar Tahir.

•••

TIDAK seperti yang dialami Bukopin, yang memicu geger karena bocornya surat korespondensi OJK dengan para pemegang saham soal masalah likuiditas bank, penanganan terhadap Mayapada berlangsung senyap. Seorang pejabat yang mengetahui detail proses masalah ini mengatakan OJK langsung meminta pertanggungjawaban Tahir mengenai temuan konsentrasi kredit tersebut sejak awal 2020. Sejumlah opsi muncul, dari menambah modal hingga mendorong masuknya pemodal baru tapi lama sebagai pengendali pengganti. 

Inilah sebabnya tiba-tiba pada akhir April lalu Bank Mayapada mengumumkan telah membeli tiga properti milik Tahir. Tiga properti itu, Menara Topas di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta; gedung perkantoran Mayapada Complex di Surabaya; dan Gedung Plaza Bali, dibeli dengan harga total Rp 3,5 triliun.

Dalam keterangan perusahaan di Bursa Efek Indonesia, duit pembelian itu disebut berasal dari kas bank, lalu masuk ke kantong Tahir untuk disetorkan lagi oleh Tahir, kali ini dengan judul tambahan modal dari pemegang saham Bank Mayapada. Menurut Tahir, struktur transaksi tersebut hanya inbreng. “Saya kasih gedung yang dulu dipakai Mayapada. Bukan kasih tanah kosong. Diperhitungkan nilainya Rp 3,5 triliun,” katanya. Belakangan, Tahir menambah modal lagi secara bertahap senilai total Rp 1 triliun. “Yang ini tunai.”

Petugas melayani pengaduan masyarakat melalui telepon di Call Center Otoritas Jasa Keuangan, Jakarta, Juli 2016. Tempo/Jati Mahatmaji

Tapi itu pun tidak cukup. Dengan adanya dugaan pelanggaran BMPK kepada empat grup tadi, menurut pejabat tersebut, OJK meminta komitmen lebih dari Tahir. Lantas Tahir menyetorkan asetnya senilai Rp 17,9 triliun ke Bank Mayapada agar diperhitungkan menjadi modal.

Namun setoran aset itu juga menyisakan persoalan. Tahir mengakui ada aset masuk senilai Rp 17,9 triliun ke Bank Mayapada. Namun itu bukan aset pribadinya, melainkan agunan yang diambil alih (AYDA) dari para debitor macet. “Saya tidak punya aset sampai belasan triliun itu. Itu AYDA yang sudah jadi hak milik Mayapada,” tuturnya.

Lantaran skema tambahan modal belum juga beres, OJK mendorong Mayapada menerbitkan saham baru untuk menjaring pemodal. Itulah sebabnya pada 9 Juni lalu Bank Mayapada mengumumkan rencana rights issue dengan memberikan hak memesan efek terlebih dahulu kepada pemegang saham lama. Perusahaan berencana mengeluarkan saham baru sebanyak 2,7 miliar saham seri B atau setara dengan 25 persen dari modal disetor seharga Rp 100 per saham. Rencana ini akan dimintakan persetujuan dalam rapat umum pemegang saham luar biasa pada 16 Juli mendatang.

Cathay Life Insurance Co Ltd, yang telah mengempit 37,33 persen saham di Bank Mayapada, disebut-sebut akan mengambilalih peran Tahir sebagai pemegang saham pengendali Mayapada. Pejabat tadi menyebutkan firma layanan audit KPMG bersama Cathay tengah melakukan uji tuntas pengambilalihan tersebut.

Tahir mengaku belum berbicara dengan Cathay. Namun dia terbuka dengan pengambilalihan itu. “Kalau mereka mau ambil saham, pastinya saham saya, kan? Rights issue kan teknis saja,” ujarnya. 

•••

DI tengah rencana penambahan modal Mayapada, Tahir rupanya tak hanya bergerilya ke para nasabah agar tak menarik dana, tapi juga diduga menjajaki berbagai peluang pendanaan lain ke pemerintah. Tahir, misalnya, menemui Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara Kartika Wirjoatmodjo pada pertengahan Juni lalu. Dalam persamuhan, seperti diceritakan dua sumber Tempo yang mengetahui pertemuan tersebut, Tahir meminta bantuan pemerintah agar menyuntikkan likuiditas ke Mayapada, terutama lewat bank milik negara. Sumber lain yang juga mantan pejabat negara mengungkapkan bahwa Tahir menemui pula Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto.

Dihubungi sejak Jumat, 10 Juli lalu, Kartika dan Airlangga belum menjawab pertanyaan konfirmasi Tempo. Tahir mengakui pertemuannya dengan Tiko—panggilan Kartika—tapi membantah berniat meminta bantuan pemerintah. “Saya tanya soal kondisi perbankan. Kira-kira bisa enggak kerja sama penyaluran kredit dengan Bank Mandiri untuk UMKM,” kata Tahir. “Tapi moga-moga dikasih (bantuan) lewat Anda ini.” 

Adapun dengan Airlangga, Tahir membenarkan beberapa kali bertemu. Tapi sekali lagi dia menegaskan bahwa pertemuan itu tidak bertujuan meminta bantuan. “Saya sering ketemu, tapi bukan urusan pekerjaan,” ucapnya. “Saya sudah berteman sejak dengan ayahnya (Hartarto Sastrosoenarto).”

Sebenarnya, gerakan Tahir ke sejumlah kementerian inilah yang membuat beberapa koleganya di Dewan Pertimbangan Presiden mengingatkan OJK dalam rapat virtual pada 17 Juni lalu.

Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik OJK Anto Prabowo tidak membantah ataupun mengiyakan soal rencana masuknya Cathay, lembaga asuransi asal Taiwan, sebagai calon pemegang saham pengendali Mayapada. “Kalau memang akan investasi, tentu kami lihat peraturan yang harus dipenuhi,” kata Anto, Sabtu, 11 Juli lalu. 

Anto juga enggan menjawab soal rapat virtual antara Wantimpres dan OJK pada 17 Juni lalu. Begitu pula soal upaya penyelesaian masalah Mayapada. Yang jelas, menurut dia semua langkah OJK sudah didiskusikan dengan Komite Sistem Stabilitas Keuangan. “Setiap permasalahan pada lembaga jasa keuangan jadi tanggung jawab pemilik,” tuturnya. Terhadap Mayapada, Anto melanjutkan, “Kami melakukan penegakan dengan cara yang sama. Tidak dibeda-bedakan.”

KHAIRUL ANAM, AISHA SHAIDRA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Khairul Anam

Khairul Anam

Redaktur ekonomi Majalah Tempo. Meliput isu ekonomi dan bisnis sejak 2013. Mengikuti program “Money Trail Training” yang diselenggarakan Finance Uncovered, Free Press Unlimited, Journalismfund.eu di Jakarta pada 2019. Alumni Universitas Negeri Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus