Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jarum jam menunjukkan pukul 21.23 ketika ratusan pekerja asal Asia Selatan berkumpul di persimpangan Race Course Road dan Hampshire Road, Singapura, Ahad pekan lalu. Dengan membabi-buta mereka merusak sebuah bus dan menyerang sopirnya dengan tongkat. Beberapa menit kemudian, mereka merusak bus, menjungkir-balikkan mobil polisi, dan membakar ambulans yang merapat ke lokasi kejadian.
Aksi massa berlanjut. Mereka menyerang polisi untuk menumpahkan amarah atas tewasnya pekerja konstruksi Sakthivel Kumaravelu, 33 tahun. Pria asal India itu tewas ditabrak bus di persimpangan jalan menuju kawasan Little India ketika hendak pulang ke asrama di wilayah tersebut selepas kerja.
Kerusuhan mereda menjelang pukul 23.00, setelah kepolisian mengerahkan 300 personel ke lokasi kejadian. Paling tidak 27 polisi terluka dan 25 kendaraan rusak atau terbakar, 16 di antaranya mobil polisi. "Kami sangat menyesalkan peristiwa itu karena Singapura ini tergolong aman," kata pedagang cendera mata, A. Morphy, kepada Tempo di kawasan Little India, Selasa pekan lalu.
Ini merupakan kerusuhan terbesar dalam 44 tahun terakhir di Singapura. Sebelumnya, kerusuhan antaretnis pecah di negara itu pada 1969, yang menewaskan empat orang dan melukai lebih dari 80 orang. Kala itu, keributan dipicu oleh kerusuhan antaretnis di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 13 Mei 1969, lantaran warga tak puas atas hasil pilihan raya. Kerusuhan itu kemudian merembet ke Singapura meski tak ada sangkut-pautnya dengan Negeri Singa.
Seorang pedagang cendera mata di Little India yang mengaku bernama Vijay mengatakan berbuat onar bukanlah kebiasaan warga Singapura. Menurut dia, ketika Kumaravelu tertabrak bus, sejumlah rekan korban sedang minum-minum di kedai Tamil Nadu Special-Kudai Canteen tak jauh dari lokasi kejadian. Ketika massa menyerang polisi dan membakar kendaraan, kata Vijay, mereka seolah-olah sedang kerasukan setan. "Mereka diberi kesempatan bekerja di Singapura. Seharusnya uang yang didapat tak dibelanjakan untuk barang-barang yang tak penting," ujar Vijay, yang ditemui Tempo di kedai itu.
Seorang saksi mata lainnya mengatakan sebagian penyerang memegang botol bir dan minuman keras. Beberapa orang melempari polisi dengan botol-botol itu. "Kacau sekali. Saya berjalan melintasi kerumunan orang di restoran-restoran itu. Mereka bersorak ketika ada yang menyerang bus," ujar pria itu, seperti dilansir International Business Times, Selasa pekan lalu.
Karena itulah pemerintah Singapura akan melarang sementara penjualan dan konsumsi alkohol di Little India. Pemerintah menganggap konsumsi alkohol sebagai salah satu faktor pemicu kerusuhan.
Vijay, yang lahir dan besar di Singapura, berjualan patung Buddha dan miniatur candi dari kayu. Ia mengatakan pekerja asal India dan Bangladesh umumnya menjadi pekerja kasar, seperti buruh di sektor konstruksi dan perbaikan jalan serta kernet kendaraan pengangkut barang. Akibat kerusuhan itu, ia merugi karena polisi memerintahkan toko-toko di kawasan tersebut tutup. Setelah buka kembali keesokan hari, omzetnya turun dari biasanya Sin$ 500 per hari menjadi hanya Sin$ 300, meski aktivitas di kawasan itu mulai normal.
Seorang pekerja asal India, Akalmash Moorphy, mengatakan upah buruh atau kuli kasar rata-rata Sin$ 900 atau sekitar Rp 8,6 juta per bulan. Bagi Moorphy, upah itu cukup untuk kebutuhannya sehari-hari. Untuk tempat tinggal, ia bersama dua temannya menyewa kamar Sin$ 450 per bulan dari seorang warga Singapura keturunan India di Serangoon. Seorang pengawas, kata dia, gajinya Sin$ 2.000 (sekitar Rp 19,2 juta) per bulan. "Tidak ada diskriminasi. Kebanyakan yang menampung kami juga orang India," ucap Moorphy, yang bekerja di Singapura sejak 2008.
Ketika Tempo menyambangi lokasi kejadian, tak ada lagi bangkai mobil yang dibakar massa. Jalanan di lokasi kejadian sudah tampak bersih. Aktivitas perdagangan di Little India juga berjalan normal. Seorang pekerja asal Inggris, William Bert, merasa tidak takut berbelanja di kawasan itu. "Saya dan istri selalu membeli kaus dan jins di sini," ujarnya.
Seorang pejabat kepolisian Singapura mengatakan pihaknya telah memeriksa 27 orang yang diduga terlibat kerusuhan, yang terdiri atas 24 warga India, dua warga Bangladesh, dan sopir bus berkebangsaan Singapura yang menabrak korban. Sopir berusia 55 tahun itu didakwa lalai sehingga menyebabkan nyawa orang melayang. Pejabat hubungan media kepolisian Singapura, Lau Kian Keong, sedang tidak berada di tempat ketika Tempo menyambanginya di Rochor Neighborhood Police Center di Little India, Selasa pekan lalu. "Saya sedang cuti dan baru masuk kerja pada 16 Desember," dia menjawab Tempo melalui surat elektronik.
Rabu pekan lalu, jaksa Singapura menyatakan akan mendakwa 24 pekerja asal India karena ikut serta dalam kerusuhan. Para tersangka yang berumur antara 22 dan 40 tahun tersebut, yang sebagian besar berbicara dalam bahasa Tamil, terancam hukuman 10 tahun penjara ditambah hukuman cambuk.
Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong memerintahkan Kementerian Dalam Negeri membentuk komite khusus untuk menyelidiki kasus itu serta mencari cara mengatur dengan lebih baik wilayah yang dihuni pekerja migran. "Kita tidak boleh membiarkan insiden buruk ini merusak pandangan kita terhadap komunitas pekerja asing di sini," kata Lee.
Presiden kelompok pembela pekerja migran, Transient Workers Count Too, Russel Heng, mengecam ketakutan tak beralasan sebagian warga Singapura terhadap pekerja asing. "Saya menemukan komentar di Internet yang menyerang pekerja asing," ujarnya.
Kelompok ini menyatakan upah pokok bulanan pekerja konstruksi-yang didominasi warga India, Bangladesh, Sri Lanka- Sin$ 460-700. Jumlah itu sangat kecil bila dibandingkan dengan upah rata-rata warga Singapura yang Sin$ 4.433 per bulan.
Seperempat dari 5,4 juta populasi Singapura saat ini adalah buruh migran. Sejumlah aktivis khawatir kerusuhan di Little India merupakan puncak gunung es kebencian sebagian orang Singapura terhadap pekerja migran. Mereka menyatakan kesenjangan dalam masyarakat bawah Singapura tak bisa diabaikan karena dapat memicu kerusuhan lebih besar. "Ketidaksetaraan yang telah mengakar di Singapura memiliki konsekuensi mengerikan dan mereka mulai menunjukkannya," kata blogger Roy Ngerng, seperti dikutip Associated Press.
Kelompok oposisi utama Singapura, Partai Solidaritas Nasional (NSP), juga mendesak pemerintah mengurai akar masalah pekerja migran. Menurut Sekjen NSP Jeannette Chong-Aruldoss, masalah buruh migran bisa muncul dengan cara yang lebih buruk bila tak diatasi. Ia mengatakan Singapura tak hanya perlu memeriksa ulang tingkat ketergantungan negara itu pada tenaga kerja asing. "Kami juga perlu segera memeriksa seberapa baik kami memperlakukan pekerja asing yang datang ke Singapura untuk mencari nafkah," katanya.
Sapto Yunus, Rumbadi Dalle (Singapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo