Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Istomo Gatot berjalan tergesa-gesa menuju pintu keluar Terminal 2 D Bandar Udara Soekarno-Hatta. Hari itu, Rabu tiga pekan lalu, dia baru saja turun dari pesawat Etihad Airways rute Abu Dhabi-Jakarta. Kendati tak muda lagi, 74 tahun, langkahnya terhitung masih tegap. Tangan kanannya menyeret koper ukuran sedang berwarna cokelat. Kepalanya tertutup peci hitam.
Sesaat setelah ia melewati pemeriksaan sinar-X, petugas segera memintanya berhenti. Ia kemudian diajak menepi. Dari hasil pemindaian, aparat melihat ada "benda asing" tergolek di dalam kopernya. "Wajahnya gelisah, mencurigakan," kata seÂorang penyidik Bea-Cukai Bandara Soekarno-Hatta kepada Tempo pekan lalu. "Kami sudah memantaunya sejak turun dari pesawat," ujar penyidik itu.
Istomo pun lalu digelandang ke pos Bea-Cukai. Di sana kopernya dibuka. Namun tak ditemukan benda yang mencurigakan itu. Isi koper layaknya bawaan orang bepergian: beberapa lembar baju dan celana. Tak menyerah, petugas menyisir bagian dalam tas itu lagi. Setiap lapisan tas dibuka, dan, akhirnya, di dalam lapisan tas terbawah, yang dicari pun terlihat: empat bungkus plastik. "Isinya seperti kristal bening," kata seorang petugas. Para petugas curiga kristal ini tak lain adalah sabu-sabu. Istomo langsung ditahan.
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan benda yang dibawa Istomo narkoba. "Positif metamfetamin," ujar Kepala Bea-Cukai Soekarno-Hatta, Okto Irianto. Total beratnya 3,026 kilogram, dengan nilai diperkirakan Rp 4 miliar. Bea-Cukai lalu mengontak Badan Narkotika Nasional dan Markas Besar Kepolisian RI untuk menyelidiki kasus ini. Istomo lalu dijebloskan ke tahanan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri.
Dari pemeriksaan, aparat mendapat identitas Istomo sebagai pensiunan Kepala Subbidang Organisasi Tata Laksana pada 1998. Kepada Tempo, Kepala Hubungan Masyarakat PT Kereta Api Indonesia (KAI) Sugeng Priyono mengaku Istomo pernah bekerja di perusahaan tersebut. "Dia bekerja saat PT Kereta Api Indonesia belum berubah nama, masih Perusahaan Jawatan Kereta Api," kata Sugeng.
Diperiksa berkali-kali, siang-malam, Istomo menyangkal dirinya penyelundup sabu-sabu. Ia menyatakan dirinya dijebak jaringan sindikat narkotik. "Saya tertipu," katanya kepada penyidik.
Istomo bercerita, awalnya ia mengenal seseorang yang mengaku warga India lewat jaringan media sosial. Kawan di dunia maya tersebut menyatakan bekerja sebagai agen keuangan dan bisa memberi bantuan lunak untuk segala hal yang berhubungan dengan kegiatan sosial. Sebagai pengurus Yayasan Panti Asuhan Al-Mutaqin, ujar Istomo, ia pun tertarik. Panti asuhannya, kata dia, terletak di Lawang, Malang, Jawa Timur. "Yayasan saya butuh banyak dana untuk panti asuhan," ujarnya.
Beberapa kali berkomunikasi, lewat e-mail dan Skype, orang India tersebut menyatakan bisa memberi bantuan Istomo dana US$ 250 ribu atau sekitar Rp 2,5 miliar. Syaratnya, Istomo sendiri yang datang ke India meneken perjanjian penggelonÂtoran dana itu.
Maka, pada 14 November, Istomo pun terbang ke India. Rutenya: Surabaya-Jakarta-Abu Dhabi-India. Menurut dia, di sana ia bertemu dengan orang yang akan memberinya uang itu dan meneken sebuah perjanjian tertulis. Isinya, dana yang dijanjikan akan ditransfer ke rekeningnya jika ia sudah tiba di Indonesia. Pada 20 November 2013, Istomo pulang dengan pesawat Etihad Airways (EY 474) rute Abu Dhabi-Jakarta.
Tapi aparat tak mempercayai cerita itu. Ketua tim penyelidik Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri, Ajun Komisaris Besar Haryono, memastikan Istomo bagian dari kurir narkotik internasional. "Dia melakukan perjalanan panjang ke India hanya untuk mengambil paket narkoba," katanya. Polisi mencurigai Istomo sengaja melakukan perjalanan dengan rute panjang untuk mengalihkan perhatian. "Sebelum melakukan perjalanan, dia telah membuat janji bertemu dengan orang yang memiliki narkoba tersebut," ujar Haryono.
Suara berbeda muncul dari Badan Narkotika Nasional (BNN). Juru bicara BNN, Sumirat Dwiyanto, menduga Istomo telah terjebak menjadi kurir jaringan narkotik internasional melalui jaringan media sosial. BNN, ujar Sumirat, sudah mencurigai adanya sindikat yang memakai modus ini. Mereka, kata Sumirat, memakai Skype, e-mail, ataupun Facebook untuk menjebak mangsanya. Sindikat yang mulai muncul pada 2012 ini, menurut Sumirat, mengirim pesan ke semua orang untuk menawarkan dana bantuan untuk yayasan mereka. "Sindikat ini semakin marak pada 2013 ini," katanya.
Pekan lalu Tempo menelusuri daerah Lawang, mencari Yayasan Yatim Piatu Al-Mutaqin. Dua hari mengubek-ubek kecamatan ini, tak ada nama Yayasan Al-Mutaqin. Pihak kecamatan dan kepolisian menyatakan tak ada yayasan dengan nama itu di wilayahnya. Satu-satunya yayasan yang mirip dengan nama yang disebut Istomo adalah Yayasan Al-Mustaqim. Yayasan yang terletak di Jalan Ketindan tersebut mengelola pondok pesantren dan panti asuhan. Tapi, kepada Tempo, seorang pengurusnya, Andre, menyatakan di yayasannya tak ada nama Istomo. "Saya tidak pernah mendengar nama itu," katanya.
Menurut sumber Tempo di Malang, Istomo pernah menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Malang periode 2004-2009. Pada 2008, ia pernah ditipu seseorang yang mengakui akan memberi uang warisan miliaran rupiah. "Dia sudah menghabiskan banyak uang. Utang sana-sini untuk memenuhi syarat supaya mendapat warisan itu," ujar sumber tersebut.
Penyidik Bareskrim kini terus meneluÂsuri kasus ini untuk melacak siapa saja anggota jaringan Istomo dan pria yang ditemui Istomo di India itu di Indonesia.
Yuliawati, Joniansyah (Tangerang), Abdi Purmono, Muhammad Syaraffah (Malang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo