Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“BANYAK bayi akan mati,” kata dokter Ahmed Al-Shaer, Wakil Kepala Unit Inkubator Rumah Sakit Al-Helal Al-Emirati di Rafah, Gaza, dalam video yang dirilis UNFPA, badan kesehatan seksual dan reproduksi Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada Senin, 1 April 2024. “Kami sudah sampai pada tahap harus memilih bayi mana yang akan hidup. Ventilator di unit ini seharusnya untuk empat bayi, tapi kini dipakai untuk 75-80 bayi pada saat bersamaan.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmed menunjukkan boks-boks berisi bayi dengan mulut yang saling tersambung melalui slang-slang ventilator. Dia menjelaskan, inkubator di sana juga tidak menyediakan pemanas. Oksigen, susu, dan obat khusus bayi pun tak tersedia. “Obat-obatan untuk bayi baru lahir dan bayi prematur tak tersedia, seperti surfaktan dan antibodi yang dimasukkan melalui pembuluh darah vena (IVIG),” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum perang Hamas-Israel pecah pada 7 Oktober 2023, unit inkubator di rumah sakit itu hanya punya tempat tidur untuk 10 bayi. Tapi sekarang tempat itu sangat penuh dan harus menampung hampir 70 bayi. “Sekarang bahkan tak ada tempat bagi ibu-ibu untuk menyusui anak-anak mereka,” kata Ahmed. “Bayi-bayi ini dapat meninggal di inkubator dan tak ada yang tahu berapa lama lagi bertahan.”
Rumah sakit di dekat perbatasan Gaza dan Mesir itu bahkan dihajar bom dari drone Israel pada awal Maret 2024. Sedikitnya 11 orang tewas dan 50 orang cedera dalam serangan yang menyasar tenda-tenda pengungsian sekitar rumah sakit tersebut.
UNFPA melaporkan bahwa, setelah lima bulan dihajar bom Israel, Gaza tidak dapat dikenali lagi. Sebanyak 75 persen bangunan hancur, termasuk rumah, sekolah, rumah sakit, dan klinik. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), hanya 12 dari 36 rumah sakit di Gaza yang masih berfungsi, itu pun hanya sebagian.
Hingga 1 Maret 2024, Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza melaporkan 30.228 orang meninggal dan 71.377 lainnya luka-luka. Ribuan orang masih dinyatakan hilang. Sebanyak 70 persen yang meninggal adalah perempuan dan anak-anak. Di Rafah terdapat lebih dari 1,4 juta pengungsi, termasuk puluhan ribu perempuan hamil, ibu baru melahirkan, dan bayi baru lahir. Banyak dari mereka beberapa kali terpaksa berpindah untuk menghindari serangan Israel yang membabi buta. Menurut UNFPA, per 1 Maret 2024, ada 541.567 perempuan usia reproduktif di Gaza dan 5.522 orang di antaranya diperkirakan melahirkan pada April ini.
Shatha Elnakib, peneliti dari Johns Hopkins University School of Public Health, Amerika Serikat, bersama rekannya dari London School of Hygiene & Tropical Medicine, Inggris, serta UNFPA dan WHO memaparkan keprihatinan mereka mengenai nasib para perempuan hamil. “Perempuan hamil atau menyusui memerlukan asupan air dan kalori yang lebih tinggi untuk memastikan kehamilan dan kelahiran yang sehat. Di Gaza, lebih dari separuh perempuan hamil menderita anemia; anemia pada kehamilan dapat meningkatkan risiko kelahiran prematur dan berat badan lahir rendah,” tulis mereka di jurnal The Lancet pada 11 Januari 2024. “Jika tidak diobati, para perempuan ini akan mengalami peningkatan komplikasi selama kehamilan dan anak-anak mereka berisiko mengalami keterlambatan perkembangan.”
Seorang wanita membawa bayi setelah serangan udara Israel terhadap sebuah gedung di Rafah, selatan Jalur Gaza, 2 April 2024. Reuters/Mohammed Salem
Perempuan yang hamil dan terpapar konflik bersenjata, kata Elnakib dan kawan-kawan, memiliki tingkat risiko keguguran, bayi lahir mati, prematuritas, kelainan bawaan, dan dampak buruk lain yang lebih tinggi. Karena itu, mereka menyerukan komunitas internasional segera bertindak untuk melindungi kaum sipil di Gaza, khususnya perempuan hamil dan baru melahirkan yang paling rentan.
“Saya sangat lelah. Seorang ibu hamil tentu saja lelah selama hamil di rumahnya sendiri, apalagi dengan kehidupan seperti saat ini,” ucap Haneen, ibu hamil delapan bulan saat diperiksa dokter di Rumah Sakit Al-Helal Al-Emirati, dalam laporan UNFPA. “Kurangnya kamar mandi dan barang-barang penting, semuanya membuat situasi menjadi tidak tertahankan.”
Karena hanya Rumah Sakit Al-Helal Emirati yang penuh sesak ini yang masih mampu memberikan layanan kesehatan di wilayah tersebut, banyak perempuan hamil memeriksakan kesehatan mereka. Kondisi Kompleks Medis Nasser di Khan Younis, Gaza selatan, lebih buruk. Setelah kompleks itu hancur dihajar bom Israel pada pertengahan Februari 2024, WHO memutuskan mengevakuasi pasien kritis ke sebuah rumah sakit lapangan di Rafah.
“Pusat kehamilan kami berbasis di tanah. Kami harus berada di kamp agar lebih dekat dengan para perempuan dan mengurangi tekanan pada rumah sakit,” kata Mohamed Ragab, dokter kandungan dari Kompleks Medis Nasser.
The London School of Hygiene & Tropical Medicine dan Johns Hopkins University telah membuat simulasi mengenai dampak perang bagi kesehatan di Gaza. Mereka memperkirakan, bila eskalasi terus meningkat dalam periode enam bulan, mulai Februari hingga Agustus mendatang, kondisi Gaza akan mengalami kemunduran dari kemajuan yang telah dicapai selama seperempat abad.
Rasio kematian ibu melahirkan di Palestina sebelum perang relatif rendah, hanya 23 kematian per 100 ribu kelahiran hidup sepanjang 2018-2022. Namun, menurut mereka, bila perang terus berlangsung, angkanya akan menjadi 103 kematian per 100 ribu kelahiran hidup, melampaui rekor pada 1995.
Setelah mengunjungi Gaza, Dominic Allen, Wakil UNFPA untuk Negara Palestina, mengatakan situasinya “sangat buruk” karena orang-orang yang kurus dan kelaparan menghabiskan hari-hari mereka untuk mencari makanan dan obat-obatan yang persediaannya makin tipis. “Kami benar-benar khawatir terhadap perempuan hamil dan menyusui. Dokter dan bidan di Rumah Sakit Bersalin Al-Sahaba (satu-satunya yang berfungsi di Gaza utara) mengatakan bahwa ibu melahirkan bayi berukuran kecil karena kekurangan gizi, dehidrasi, dan ketakutan,” ujarnya kepada AFP.
Menurut Allen, rumah-rumah sakit membutuhkan bahan bakar karena kehabisan gas. Untuk melaksanakan operasi saja, mereka kini terpaksa membawa bensin atau solar ke dalam buat menyalakan generator di ruang operasi. “Saya pergi dengan rasa takut mengenai apa yang akan terjadi selanjutnya. Jika Rumah Sakit Al-Emirati menangani hampir 100 kelahiran setiap hari, apa yang akan terjadi pada perempuan hamil dan bayi tersebut? Apa yang akan terjadi pada 1,2 juta orang yang saat ini tinggal dan berlindung di Rafah, kota yang sebelumnya hanya menampung 250 ribu orang,” tuturnya.
Dana Anak PBB (UNICEF), Program Pangan Dunia (WFP), dan WHO telah mengeluarkan pernyataan bersama yang menyerukan akses yang aman, tanpa hambatan, dan berkelanjutan bagi bantuan kemanusiaan ke seluruh Jalur Gaza. Bantuan ini mencakup makanan bergizi, pasokan nutrisi, dan layanan penting bagi anak-anak dan perempuan. Hal ini hanya mungkin dicapai melalui gencatan senjata permanen. Namun, hingga kini, meskipun Dewan Keamanan PBB telah menerbitkan resolusi yang meminta gencatan senjata segera dilakukan di Gaza, Israel tak kunjung menggubrisnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo