Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mercedes, Jam Karet, Kaset

Sidang operasi kilat mengadili mahasiswa-mahasiswa dari Surabaya, Bandung, Yogya & Medan yang dituduh menghina presiden. di Yogya timbul bisnis kaset rekaman sidang. (nas)

24 Februari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SURABAYA tampaknya yang tercepat dalam proses penyidangan perkara yang disebut "Sidang Operasi Kilat": mengadili Ketua dan Sekretaris Umum DM ITS yang dituduh menghina Kepala Negara. Para saksi hampir semuanya sudah didengar keterangannya. "Saksi mahasiswa umumnya tidak memberatkan," kata Pamudji dari tim pembela. Yang mengecewakan tim pembela adalah ketidakhadiran para wartawan sejak pemeriksaan saksi dimulai. Soal ini malahan ditanyakan pada Majelis Hakim, apakah memang kehadiran wartawan dilarang. Majelis Hakim menjawab sidang tetap terbuka untuk umum. Lantaran wartawan tidak nongol, mereka terlambat tahu kedua tertuduh sudah sejak pekan lalu dikeluarkan dari tahanan sementara menjadi tahanan luar. Menurut rencana 27 Pebruari Jaksa akan membacakan rekwisitornya untuk perkara Sekum Moh. Sholeh. Di kota lain umumnya sidang baru sampai tingkat pembacaan eksepsi. Di Bandung 4 tertuduh mulai disidangkan 7 Pebruari lalu yang tetap mendapat perhatian besar pengunjung. Dalam sidang yang mengadili Lala Mustofa, ketua DM Universitas Islam Bandung (Unisba), sekitar 30 menit dilewatkan untuk debat antara Tim Pembela, Jaksa dan Majelis Hakim mengenai cara pemanggilan tcrtuduh. Menurut pembela, panggilan pihak kejaksaan tidak memenuhi syarat karena disampaikan lewat temannya ketika bertemu di kampus hingga persidangan untuk hari itu dianggapnya tidak sah. Setelah diskors 5 menit, Majelis Hakim memutuskan sidang tetap akan diteruskan dan pembela naik banding. Jaksa kemudian membacakan tuduhannya yang didengarkan Lala sambil duduk setelah diijinkan hakim karena terdakwa berdalih "bila berdiri pasti akan pingsan. " Mengenakan jaket mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) warna biru tua, datang dengan Mercedes 220 S bersama para pembelanya, tertuduh Maqdir Ismail (25 tahun) 12 Pebruari lalu mulai disidangkan Pengadilan Negeri Yogyakarta. Kedatangannya terlambat sekitar 10 menit setelah Ketua Majelis Hakim membuka sidang. Karena setelah berkali-kali dipanggil ternyata tertuduh belum juga muncul, sidang diskors 15 menit untuk mempertimbangkan usul jaksa, agar tertuduh ditahan untuk tidak mengganggu kelancaran sidang. Tertuduh menjelaskan, keterlambatannya karena harus menunggu salah satu pembelanya, Marhaban Zainun. Marhaban sendiri mengakui kesalahannya danminta maaf. Tapi agaknya majelis mempunyai pertimbangan sendiri, dan sebeium sidang ditutup diumumkan bahwa pengadilan mengabulkan permintaan jaksa untuk menahan tertuduh. Tapi di Medan tertuduh Jose Rizal 'menegur' Majelis Hakim agar "tidak memakai jam karet." Tertuduh minta sidang dimulai tepat pada jam 09.00, dan tidak berlarut mulai pada 11.30. Majelis Hakim mengangguk, sekalipun tak mengomentari teguran itu. Akibat sampingan dari penyidangan ini tampaknya menimbulkan bisnis baru di Yogya: jual beli rekaman kaset sidang. Mungkin ini karena koran Yogya untuk sementara tidak menyiarkan berita penyidangan ini, dan hanya koran kampus Gelora Mahasiswa UGM yang memuatnya agak lengkap. Lancar Masalah "pembatasan pemberitaan pers" mengenai "Sidang Operasi Kilat" tampaknya dicoba dijernihkan melalui pertemuan antara PWI dan Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika serta para pimpinan media massa di Jakarta Senin pagi lalu. Pertemuan menilai tidak ada larangan untuk memberitakan sidang pengadilan terbuka itu. Pers tetap dibenarkan memberitakannya dengan mematuhi norma dan ketentuan yang tercantum dalam kode etik jurnalistik. Penilaian tersebut dikemukakan agar tidak terjadi kesimpangsiuran penafsiran mengenai pemberitaan pers tentang masalah itu. Kesimpangsiuran penafsiran itu memang kelihatan. Pekan lalu misalnya, hanya harian Pelita yang memberitakan dimulainya penyidangan perkara beberapa tertuduh dari Universitas Indonesia di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selain menerbitkan buletin berita penyidangan pengadilan ini, kalangan mahasiswa juga berusaha memperoleh penjernihan mengenai masalah pemberitaan pers pada beberapa pejabat, antara lain mereka menemui pimpinan DPR, pimpinan Fraksi Karya Pembangunan serta Menpen Ali Murtopo. "Kami hanya ingin bertanya pada pak Ali mengenai kedudukan pers dalam kebijaksanaan pemberitaan peradilan ini," kata Mathias Thayeb dari ITB seusai pertemuannya yang 1 jam dengan Menpen. Wakil Ketua DPR Kartidjo serta pimpinan FKP pada delegasi ini berjanji untuk mengadakan pendekatan dengan Pemerintah atau lembaga yang menangani pers. "Masalah keterbukaan pengadilan sebenarnya masalah kita semua. Mahasiswa datang atau tidak ke sini, kita akan berusaha untuk itu," kata Sekretaris FKP Sarwono Kusumaatmadja pada TEMPO. Permintaan mahasiswa itu dinilainya wajar, hingga FKP juga menanggapinya dengan wajar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus