Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Benteng Terakhir Ibu Presiden

Putra Gloria Arroyo ke luar dari parlemen. Suaminya menyingkir ke Amerika Serikat demi "meringankan beban" Arroyo. Namun, kursi Presiden Arroyo malah kian terseret ke tepi jurang.

4 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Susan Roces tiba-tiba menjadi bintang. Janda mendiang Fernando Poe, lawan terkuat Arroyo pada pemilihan umum 2004, itu hampir tak pernah absen dari gulungan pengunjuk rasa yang marak di Manila sepanjang pekan lalu. Bukan cuma di Ibu Kota Manila, bekas aktris itu juga terlihat dalam unjuk rasa di San Juan. Ia menjadi lakon utama dari rangkaian aksi massa yang menuntut Presiden Gloria Macapagal Arroyo turun takhta. Wajahnya menjadi bidikan utama para juru kamera.

Ketika kampanye pemilihan presiden 2004 sedang riuh-riuhnya, hampir semua media Manila menulis Susan Roces sebagai calon ibu negara supermodis. Ketika itu ia sama sekali ogah bicara politik. Ia cuma mau diwawancarai soal perfilman. Kini ia berubah dari aktris serba wangi ke jabatan baru: politisi jalanan. "Arroyo harus turun dari kursi presiden sesegera mungkin." Begitu bunyi siaran pers Susan yang dilansir di San Juan pada Rabu pekan lalu.

Hari-hari ini, keberanian mencaci maki Arroyo merasuki puluhan ribu rakyat Filipina. Jalanan utama kota-kota besar di negeri itu saban hari disesaki para pendemo. Patung Arroyo, yang kadang dibikin agak seksi, dibakar di mana-mana. Jumat lalu, sekitar 20 ribu orang yang tumplek di Makati, pusat kota Manila, memekik bak koor massal, "Kami ingin Gloria turuuun!"

Aksi massa kian meriah terutama setelah sang Presiden mengakui dosa-dosanya. Selasa lalu, dengan muka sembab, ia tampil di televisi nasional. Arroyo, yang memeluk agama Katolik itu, seperti sedang berada di ruang pengakuan dosa. Ia mengaku pernah bertelepon-ria dengan Virgillio Garcillano dari Komisi Pemilihan Umum Filipina (Comelec) sebelum hari pencoblosan dalam pemilu 2004. Namun, Arroyo membantah pembicaraan itu mengarah pada upaya memenangkan dirinya.

Besoknya, dalam acara tatap muka dengan sejumlah taipan Filipina, Arroyo mengumumkan bahwa suaminya, Jose Manuel Arroyo, segera hijrah ke Amerika Serikat. Kepergian itu, katanya, untuk meringankan langkah politik Arroyo. Tapi itu versi Ibu Presiden. Ribuan orang yang turun ke jalanan punya jalan pikiran sendiri. Kepergian Miguel adalah pengakuan bahwa dugaan penyuapan yang dilakukan sejumlah pengusaha judi kepada keluarga presiden betul adanya.

Kasus penyuapan itu bermula dari nyanyian seorang wanita bernama Sandra Cam di Kongres. Wanita ini mengaku telah menyuap Miguel "Mikey" Arroyo, putra Presiden, dan Ignacio, sepupu Arroyo, dari uang para taipan jueteng, semacam judi togel, di Filipina. Suami Arroyo, Jose Manuel, juga disebut-sebut terseret kasus ini.

Arroyo berharap pengakuan dan kepergian sang suami bisa mencuci dosa-dosanya, memetik keibaan publik, juga simpati gereja yang ikut menentukan hitam-putihnya politik negeri itu. Celakanya, pengakuan di televisi justru membuat Gloria kehilangan kemuliaan. Buktinya, aksi massa malah kian meriah setelah dia buka suara di televisi.

Kini, benteng terakhir Presiden Arroyo tinggal parlemen. Menurut konstitusi negeri itu, seorang presiden hanya mungkin dijatuhkan melalui parlemen. Oliver Lozano, seorang pengacara terkemuka di negeri itu, telah mengirim mosi pemecatan Arroyo ke parlemen. Rival politik Arroyo di lembaga itu sudah pula meneruskan mosi itu ke persidangan. "Ini satu-satunya cara untuk menyelesaikan krisis," kata Rodante Marcoleta, musuh politik Arroyo di lembaga ini. Jika kaum oposisi memilih bertarung di parlemen, mereka bakal terperangkap dalam permainan yang sepenuhnya bisa dikontrol Arroyo.

Namun, sejarah kejatuhan presiden di negeri itu tak sepenuhnya ditentukan oleh parlemen. Aksi rakyat di jalanan punya peran sangat penting. Ferdinand Marcos jatuh pada 1986. Joseph Estrada tersungkur pada 2001. Semua itu tak lepas dari peran aksi rakyat di jalanan. Tuan-tuan anggota parlemen pun tergopoh-gopoh menggelar sidang pemecatan presiden begitu kerumunan massa tumpah di halaman kantor mereka.

Resep lama itu tampaknya akan menjadi pilihan favorit oposisi menjungkirkan Arroyo. Pekan ini, mereka berencana menurunkan sejuta massa di Manila. Massa tidak akan berkumpul di satu tempat, tapi memecah di pusat-pusat perdagangan. Kaum imigran dan kaum miskin kota, yang digalang oleh pengikut Joseph Estrada, sudah melempar ancaman akan menurunkan massa dalam jumlah besar jika Arroyo kukuh bertahan. Estrada memang populer di kalangan miskin kota.

Di sejumlah kota lain, musuh politik Arroyo siaga penuh. Sepanjang pekan lalu, jalan-jalan utama di Cebu riuh dan sesak oleh mereka. Pekan ini jumlahnya bakal membengkak. Di San Juan, aksi massa bakal dimotori oleh keluarga Ferdinand Poe. Siaran pers Nyonya Susan Roces, Rabu pekan lalu telah menyihir ribuan orang yang meluber ke jalanan. Roces, kabarnya, akan tur ke beberapa kota untuk mendorong aksi massa. Kubu oposisi sudah bertekad: "Rangkaian aksi massa akan diteruskan sampai Arroyo rontok."

Jika reli unjuk rasa terus mendidih, ekonomi Filipina bakal ikut melorot. Nilai tukar peso terus anjlok dalam sebulan terakhir, bakal lebih terperosok lagi. Sebagian investor asing urung menanam uangnya. Toko-toko dan pusat perbelanjaan mewah mulai memilih menutup pintu saban kali ada demo.

Bayangan kelam itu mendorong Corazon Aquino turun tangan. Bekas Presiden Filipina yang dikenal sebagai penyokong Arroyo itu, Kamis pekan lalu, menelepon Susan Roces. "Saya menjelaskan kepadanya bahwa saya mendukung proses yang konstitusional, karena itu jalan terbaik," kata Corazon dalam satu wawancara televisi. Dia juga meyakinkan publik bahwa Gereja masih di belakang Arroyo.

Hingga kini, Gereja, sebagaimana juga militer, belum menjatuhkan sikap dalam krisis politik yang sudah marak selama sebulan. Gereja Katolik belum membunyikan lonceng restu bagi umat untuk turun ke jalan-jalan, sebagaimana yang terjadi pada kejatuhan Marcos dan Estrada. Tapi Gereja sudah menjawab pengakuan Arroyo. "Permintaan maaf tak bisa menghilangkan penegakan keadilan dan kebenaran," kata Gaudencio Rosales, pemimpin umat Katolik yang berpengaruh Manila.

Lampu merah agaknya mulai berkedip bagi Gloria Arroyo.

Wenseslaus Manggut (Sun Star.com, The Manilatimes.net)


Hari-hari Arroyo

30 Juni 1998 Gloria Arroyo terpilih sebagai wakil presiden, membantu Presiden Joseph Estrada.

20 Januari 2001 Mahkamah Agung memakzulkan Estrada dan mengangkat Arroyo pada hari itu juga sebagai Presiden Filipina yang ke-14. Putri mantan presiden Diosdado Macapagal ini menjabat sampai 2004.

1 Mei 2001 Ribuan pendukung Estrada menggelar demonstrasi di depan Istana Malacanãng, meminta pembebasan dan pembersihan nama Estrada.

31 Desember 2002 Arroyo mengumumkan tak akan mengikuti Pemilu 2004 setelah hasil jajak pendapat menunjukkan popularitasnya terus menurun. Beberapa bulan kemudian, Arroyo berubah pikiran.

27 Juli 2003 Sejumlah perwira militer muda dan masyarakat sipil melakukan usaha kudeta dengan mengambil alih sebuah mal dan hotel di kawasan distrik Makati, Metro Manila. Peristiwa itu, konon, didalangi oleh Estrada yang melibatkan sejumlah perwira muda. Penyelidikan yang dilakukan Komisi Feliciano menunjukkan, gerakan itu terencana, bukan spontanitas—namun, hubungannya dengan Estrada tak pernah terbukti.

Agustus 2003 Suami Presiden, Jose Miguel (Mike) Arroyo, dituduh korupsi oleh Senator Panfilo Lacson. Senator ini salah satu lawan Arroyo dalam pemilu 2004. Lacson menuduh Mike mengumpulkan dana kampanye dengan membuka rekening dengan nama fiktif "Jose Pidal". Tuduhan ini tak berlanjut ke pengadilan.

10 Mei 2004 Arroyo menang dalam pemilu atas mantan aktor laga Fernando Poe Jr., yang juga sahabat karib Estrada.

10 Juni 2005 Mantan Wakil Direktur Biro Investigasi Nasional, Samuel Ong, menyatakan memiliki rekaman perbincangan antara Presiden Arroyo dan petugas Komisi Pemilihan Umum Filipina (Comelec). Menurut Ong, hasil pembicaraan itu menimbulkan kesan bahwa Arroyo bukanlah pemenang pemilu 2004.

27 Juni 2005 Arroyo mengaku melakukan pembicaraan dengan petugas Comelec, namun membantah mempengaruhi hasil pemilu.

29 Juni 2005 Arroyo mengumumkan bahwa suaminya, Mike, anak lelakinya, Juan Miguel (Mikey), dan seorang iparnya akan pindah ke luar negeri untuk "jangka waktu yang belum ditentukan". Beredar dugaan, kepergian ini berkaitan dengan kasus Jueteng, yakni kasus dana lotere ilegal yang diduga diterima klan Arroyo dari para bandar judi.

Akmal Nasery Basral (BBC, Wikipedia)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus