Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hampir 10 tahun lalu, kelahiran Jakarta 5 Maret 1939, H. Benyamin S., meninggal di Jakarta tepatnya pada 5 September 1995. Kepergian untuk selamanya Bang Ben (panggilan akrab Benyamin) itu meninggalkan duka. Bagi Jakarta atau warga Betawi khususnya, dan juga di seluruh Indonesia. Karena cucu Haji Ung (Ji'ung) itu dalam keadaan "amat digemari" lewat sinetron seri Si Doel Anak Sekolahan (SDAS), bagian pertama (1994) maupun SDAS-2 (1995).
SDAS-1 (1994) mendapat rating 64, tertinggi hingga saat itu. Bahkan SDAS-3 (1996) hanya meraih 60, sekadar mendekati rekor. Mungkin karena yang pertama dan kedua masih diperkuat Benyamin, sedangkan di bagian ketiga itu Benyamin tidak lagi (telah tutup-usia), kecuali pemunculan sekilas dalam kilas-balik. Nama Benyamin yang redup dalam film (bioskop) terangkat lagi melalui layar kaca (sinetron). Malah jadi "motor" SDAS.
Bang Ben menorehkan nama sejak 1960-an. Semula membawakan lagu-lagu (pop) Barat, tapi terbentur oleh larangan Presiden Soekarno yang menolak "ngak-ngik-ngok" ala The Beatles. Pemusik dan penyanyi pindah ke lagu (pop) Indonesia, sebagian lagi "lari" ke keroncong. Di kala pemerintah pendudukan Jepang melarang segala yang berbau Barat (1942-1945), musik keroncong mengalami masa jaya, biarpun sebentar.
Tapi Benyamin "menjejak bumi", dia bawakan lagu irama Betawi/gambang kromong. Suatu langkah yang penuh tantangan, karena dicibir orang. Bang Ben tetap di wilayah "musik kampungan" itu. Malah kemudian menciptakan lagu gambang (modern), diiringi musik tradisi yang diperkuat organ, trompet, gitar listrik, dan lain-lain. Maka, lagu gambang (modern) Benyamin tidak hanya disukai warga Betawi, tapi juga masyarakat luas.
"Ledakan" pertama terjadi lewat Si Jampang (1969), disusul oleh Kompor Meleduk (1970), Ondel-ondel (1971), dan lain-lain. Padahal, di awal 1960-an malah muncul pembawa lagu Betawi ala gambang kromong, Lilis Suryani, yang berpasangan dengan Suhairi Mufti. Mereka diminati publik berkat lagu Sayur Asem, Hujan Gerimis, dan lain-lain. Tapi Bang Ben berhasil "menyalip" melalui Tukang Kredit (1970) dan sebagainya.
Sukses sebagai penyanyi, Benyamin lalu dilirik orang film mulai 1970. Tapi, dalam tujuh film pertama, memang ia masih di-"tempel"-kan belaka. Baru dalam film kedelapan ia mendapat peran utama, sebagai Jamal yang miskin dalam Intan Berduri (1972), didampingi Rima Melati, aktris terbaik versi pemilihan oleh PWI Jakarta 1970-1971, dalam Noda Tak Berampun (1970). Pendamping lainnya adalah pemain berpengalaman (waktu itu) seperti M. Mansyur Syah (1936-1980), Aminah Cendrakasih, dan Rima Melati.
Festival Film Indonesia (FFI) pertama tahun 1973 didominasi oleh produksi Aries dan disutradarai Wim Umboh (1933-1996), Perkawinan (1972), yang memborong delapan Piala Citra untuk film, sutradara, skenario, tata suara, tata artistik, editing, sinematografi, dan ilustrasi musik. Tak dipermasalahkan. Rekor Perkawinan baru dipecahkan film garapan Teguh Karya (1933-2001), Ibunda, yang menggaet sembilan Citra pada FFI 1986.
Kemenangan tiga pemain pada FFI 1973 tidak pula jadi persoalan. Mereka adalah aktor pembantu Dicky Zulkarnaen (1939-1995) dalam Pemberang, aktris pembantu Sofia W.D. (1925-1986) dalam Mutiara dalam Lumpur, dan aktris utama Rima Melati dalam Intan Berduri (produksi Sarinande) yang digarap Turino Djunaedy.
Tapi Benyamin, yang menang sebagai aktor utama dalam Intan Berduri, kok menimbulkan "ribut-ribut"? Yang menggugat itu barangkali lupa bahwa penyanyi itu melakukan acting. Tak sedikit penyanyi yang punya kemampuan acting. Salah satu buktinya adalah biduan Amerika Frank Sinatra, yang merebut Oscar sebagai aktor pembantu dalam From Here to Eternity (1953). Nyatanya Bang Ben bisa mengimbangi Rima sehingga permainan mereka sama-sama menonjol dan barengan menggondol Citra.
Produser-sutradara Turino memilih Benyamin dan Rima Melati semula karena pertimbangan komersial. Rima (ketika itu) aktris populer, sedangkan Bang Ben adalah biduan pembawa lagu (irama) Betawi yang sedang naik daun, termasuk waktu membawakan lagu Nonton Bioskop yang kocak itu. Tapi, si "tampang kampungan" itu tak mau hanya jual tampang (mejeng), melainkan betul-betul main, dan tidak juga melawak. Intan itu lebih berat ke drama.
Apalagi bila dibandingkan dengan penampilan Bang Ben dalam film-film lain: Biang Kerok (1973), Musuh Bebuyutan (1974), Buaye Gile (1975), dan lain-lain. Dalam film-film lain itu Bang Ben adalah sosok Betawi yang hanya ngocol. Dilengkapi juga dengan hidangan lagu yang umumnya menggelitik. Ya, dalam Intan Berduri, tak ada lawakan maupun nyanyian.
Intan Berduri menampilkan Benyamin sebagai Jamal yang miskin, bersama istrinya Saleha (Rima). Pada suatu saat, bubu (alat penangkap ikan) "mengeluarkan" sebongkah intan. Lantas Jamal mendadak kaya, padahal baru menjual "seupil" batu mulia itu. Tapi uang ternyata tidak membikin hati tenteram, Jamal jadi bingung dan takut. Apalagi muncul polisi (Alwi Oslan dan A. Rafiq) ditambah pengacara (Farouk Afero, 1939-2003) yang mengatur hidup Jamal dan Saleha.
Lantas Jamal hidup bagaikan konglomerat. Tadinya melarat. Tapi Jamal tidak betah. Dia ingin bebas biarpun miskin. Sekarang katanya "senang", tapi Jamal merana karena tak diizinkan lagi ngegado jengkol. Makanan itu mengaitkan Jamal dengan Betawi. Namun, Intan Berduri bukan cerita (di) Betawi. Jamal dan para tetangganya berdialek Betawi, tapi yang terlihat adalah kehidupan rakyat kecil. Bisa saja terjadi di mana pun.
Begitu hasil penelitian menunjukkan bahwa intan penemuan Jamal itu masih mentah, tak berharga, Jamal dan Saleha lantas tak punya harga lagi di mata sang pengacara. Kontan suami-istri itu diusir. Kembali ke kampung, jadi orang miskin lagi. Mengharukan. Melihat permainan mereka, Citra itu pantas bagi Benyamin dan Rima.
Lalu, sebagai pemain (film), Benyamin melanjutkan "film-film Benyamin"-nya yang sebagian disutradarai dedengkot Betawi, Nawi Ismail (1918-1990). Misalnya Biang Kerok Beruntung (1973), Buaye Gile (1974), Samson Betawi (1975), Tarsan Pensiunan (1976), dan lain-lain. Padahal Benyamin punya potensi yang kemudian digali oleh sesama Betawi, Sjuman Djaya (1933-1985). Bang Ben dipasangkan dengan Rima Melati lagi dalam Pinangan (1976) dan Si Doel Anak Modern (1970), yang didampingi Christine Hakim, pemenang Citra dalam Cinta Pertama (1973) pada FFI 1974.
Sjuman adalah penggarap Si Doel Anak Betawi (1973) berdasar novel Aman. Yang jadi Si Doel (kecil) adalah Rano Karno, sedangkan Benyamin nongol sebentar sebagai "babe"-nya. Setelah dewasa, Si Doel yang (sok) modern adalah Bang Ben. Permainannya lebih "hidup" dibanding dalam Intan. Maklum, dia makin berpengalaman. Intan adalah film yang ke-8, sedangkan Si Doel yang ke-35.
Intan memang tampaknya tidak dimaksud sebagai cerita Betawi, tapi kebetawian amat menonjol dalam Si Doel versi 1973 maupun "sambungan"-nya pada 1976. Sementara dalam Intan (1972) tak sempat ceplas-ceplos, dalam Si Doel (1976) Benyamin amat "riuh" dan diimbangi dengan enak oleh Christine yang jadi pacarnya, Kristin alias Nonon. Hasilnya, Bang Ben meraih Citra lagi. Semacam "jawaban" bahwa kemenangannya dulu dalam Intan sebetulnya wajar-wajar saja.
Mengapa Christine tak dihargai Citra pula? Peraturan (baru) pada FFI tahun itu menyebutkan bahwa pemain harus mengisi sendiri suaranya. Suara Christine dalam Si Doel diganti oleh aktris lain, maka dia meraih Citra 1977 itu dalam film lain, Sesuatu yang Indah, yang suaranya ia isi sendiri.
Nonon adalah gacoan (pacar) Si Doel waktu masih sekolah di kampung. Pergi ke kota, maka Nonon jadi Kristin setelah berprofesi sebagai peragawati dan pacaran dengan anak band yang kribo, Achmad (Achmad Albar). Si Doel menyusul ke kota setelah menjual tanah warisan. Juga akibat bujukan Sapii (Farouk) dan Sinyo (Wahab Abdi), yang berbisnis jual-beli tanah dengan Pak Haji (Nico Pelamonia).
Si Doel malah asyik dengan Nonon .. eh Kristin. Dia pun ber-kribo demi bersaing dengan Achmad. Sementara Si Doel ngebet, Kristin alias Nonon menganggapnya sebagai teman yang lucu saja. Gara-gara bertengkar dengan Achmad, jadilah Nonon makin dekat dengan Si Doel. Tapi cinta segi tiga itu diselesaikan ngambang karena yang mau dikedepankan Sjuman adalah segi negatif dari kemodernan.
Benyamin kembali dalam "film-film Benyamin". Sebut saja Hippies Lokal (1976), Raja Copet (1977), Betty Bencong Slebor (1978), dan lain-lain, yang rata-rata sarat dengan lagu karya/nyanyian Bang Ben. Jenuh juga akhirnya. Setelah agak lama, baru muncul lagi dalam Koboi Insyaf (1986). Kemudian dalam peran pembantu dalam Si Kabayan Saba Metropolitan (1992). Memang film (bioskop) sedang terpuruk, produksi menurun dan anjlok. Sebaliknya, sinetron menggeliat dan ramai.
Orang film pada pindah ke layar kaca (TV). Termasuk Si Doel "kecil" Rano Karno yang meneruskan perusahaan bapaknya, Sukarno M. Noor (1931-1986), yaitu Karno's Filmyang mendadak meroket setelah menayangkan sinetron SDAS mulai 1994. Pendukungnya, selain Rano, adalah Benyamin. SDAS juga mengangkat nama-nama Mandra (Topeng Betawi), Basuki (sebagai Mas Karyo), Suti Karno (Atun), Pak Tile (1933-1998) sebagai Engkong, Cornelia Agatha (Sarah), dan lain-lain.
Betawi amat kental dalam SDAS, yang sukses berkat ceritanya yang "membumi", sementara kebanyakan sinetron lain "jual mimpi". Dialog spontan jadi kekuatan utamanya. Dalam hal ini "babe" Benyamin berperan besar. Tak mengherankan bila Almarhum dianugerahi piala khusus dari panitia Festival Sinetron Indonesia (FSI) 1995 "sebagai tokoh legendaris yang banyak jasanya dalam pengembangan sinetron".
Sedangkan SDAS-2 juga mendapat penghargaan khusus sebagai sinetron yang (banyak) diminati pemirsa. Panitia Forum/Festival Film Bandung (FFB) juga memberi penghargaan kepada Benyamin (pada bulan April 1996) " atas pengabdiannya pada dunia film sebagai seorang aktor jenaka dengan bakat alamnya yang unggul". Dan penampilannya sebagai Sabeni dalam SDAS (1994 dan 1995) membuatnya begitu lekat di hati penonton TV. Lepas dari keaktorannya, Benyamin juga adalah penyanyi dengan corak dan gaya yang tidak ada duanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo